Suara air gemericik membasahi kaca mobil dibarengi dengan pemandangan langit yang mulai menggelap. Mobil tersebut mulai melaju keluar dari pusat keramaian menuju jalur bebas hambatan yang biasa disebut ring-road (jalur bebas yang melingkari Kota Yogyakarta) dengan tujuan akhir Semarang. Kurang lebih tiga jam perjalanan yang biasa ditempuh dari Yogyakarta ke Semarang, namun sore itu berasa panjang karena sang sopir harus mencari celah jalan mana yang bisa dilalui oleh kendaraan untuk menghindari banjir yang menyeruap hampir ke seluruh wilayah Kota Semarang serta mulai memasuki kampung-kampung sempitnya. Hampir dua jam sang sopir menyusuri jalan itu mengikuti mobil didepannya yang beriringan dan berjalan pelan, beberapa kendaraan nampak berhenti di pinggir jalan karena tidak mampu melanjutkan akibat mesin yang tidak bisa dihidupkan.
“Selalu setiap musim hujan, Semarang pasti dilanda banjir baik itu banjir rob juga banjir akibat curah hujan yang tinggi” kata salah satu penumpang kepada sopir travel. Tidak puas dengan statement singkat sang penumpang, sopir pun menimpali balik dengan memasang muka kecut “Kemarin kata teman-teman saya, pompa air sengaja dimatikan mengingat himbauan Lockdown dua hari yang disuarakan oleh Pak Gubernur, ya kalau kaya gini memang resikonya ya macet karena banyak kendaraan tua yang mogok akibat ketinggian air yang mencapai lutut orang dewasa”.
Memang sampai sekarang, belum sepenuhnya wilayah Kota Semarang mengalami penyusutan debit air yang seharusnya bisa mempercepat pemulihan aktivitas ekonomi warga. Beberapa warga masih khawatir akan terjadi banjir susulan yang mungkin jauh lebih besar daripada kemarin. Dalam laporan tirto.id (09/02/2021)1 mendeskripsikan ada tiga jenis banjir yang biasanya mengepung area Semarang, yaitu banjir kiriman dari hulu, banjir lokal, dan banjir rob. Ketiganya selalu dikatakan sebagai satu kesatuan yang sulit untuk dipecahkan bahkan pada era periode kedua Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, seperti yang diakuinya.
Dalam inspeksi yang dilakukan oleh Menteri Pembangunan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono mengatakan penyebab banjir yang terjadi di Semarang disebabkan oleh meluapnya Kali Bringin dan Kali Plumbon Kaligawe yang sudah tidak bisa lagi menampung debit air yang terlampau banyak, selain itu dia juga menambahkan salah satu pompa dari tiga pompa air yang biasa digunakan untuk memindahkan air dari daratan ke sungai dan laut sedang mengalami kerusakan.2
Namun pernyataan yang dilontarkan Menteri PUPR tidak sepenuhnya mampu menggambarkan masalah banjir yang terjadi di Kota Semarang, toh dengan tiga pompa atau mungkin lebih belum menjamin mampu menyelesaikan masalah tahunan ini. Hal inilah yang disinggung oleh akademisi Universitas Gadjah Mada, Pramono Hadi yang menyebut Semarang sebagai kota yang telah mengalami land subsidence atau penurunan muka tanah.3 Peristiwa ini sering terjadi pada daerah yang memiliki kondisi geografis dekat dengan garis pantai atau daerah yang memiliki aktivitas industri padat dan tidak ditopang dengan lahan hijau yang memadai. Bukan hanya itu, Pujiastuti, dkk (2015) menjelaskan kerentanan wilayah terhadap banjir juga seringkali diakibatkan oleh pembangunan tata ruang yang tidak mengkaji secara komprehensif tentang pengelolaan sistem drainase.4 Sistem ini sangat penting untuk dipertimbangkan karena memperhitungkan kalkulasi debit air yang masuk ke wilayah pemukiman serta strategi dalam mengalirkan air ke wilayah resapan maupun sungai yang masih dekat dengan wilayah kota, sehingga kejadian banjir bisa diminimalisir.
Sementara Koalisi Pesisir Semarang-Demak dalam laporannya yang berjudul ‘Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak’ menjelaskan, kasus yang terjadi di Semarang terjadi karena sifat batuan sarang air tanah (aquifer) atau lapisan bawah tanah yang berfungsi menampung air dan mengalirkannya mengalami pemangkasan tanpa disadari sehingga menjadi gerowong atau berlubang ketika air tanah dihisap secara terus menerus serta diperparah dengan beban bangunan diatasnya yang selalu bertambah dan mudah terkompaksi (terjadinya pemadatan tanah yang dilakukan secara mekanik untuk mendukung pembangunan) sehingga berdampak pada menyusutnya ketinggian tanah.
Penyusutan muka tanah sering terjadi pada daerah urban yang tidak banyak memiliki resapan air atau lahan hijau yang memadai untuk meminimalisir hisapan air tanah dengan volume yang besar yang biasanya dilakukan oleh industri besar seperti pabrik dan hotel untuk menyediakan fasilitas air bagi karyawan maupun tamu-tamunya. Hal ini biasa kita jumpai pada kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang sebagai daerah yang sudah berlangganan banjir setiap tahun.
Pengekstraksian yang dilakukan oleh industri besar dan hotel pada air tanah telah menjadi isu yang mencuat beberapa tahun terakhir, terutama pada kota-kota yang dibombardir wisatawan yang seringkali menyedot air dengan skala besar dan bahkan tidak memberikan ruang sedikitpun bagi pemukiman warga yang mayoritas masih menggunakan pompa air bertenaga kecil. Persoalan ini juga menjadi diskursus sosial-ekologis yang bukan hanya menyangkut hak masyarakat untuk menikmati sumber daya air secara gratis, tetapi juga menjadi persoalan perebutan sumber daya antara yang kuat dan yang lemah.
Kondisi ini dikenal dengan istilah apropriasi yaitu aktivitas pengambilan sumber daya tanpa melalui mekanisme persetujuan yang melibatkan pihak yang sebelumnya telah menggunakan sumber daya dalam kasus ini air secara kolektif, yaitu masyarakat. Kegiatan apropriasi bukan saja menendang pihak yang lemah dari penguasaan sumber daya air, tetapi juga mengalienasi mereka dari hak untuk mengakses sumber daya air secara setara. Jika hal ini dilakukan secara simultan dan massif maka bukan saja menyebabkan konflik atas pengambilan sumber daya air secara apropriatif, tetapi juga mampu memantik krisis ekologis yang lebih besar seperti tanah longsor, banjir, hingga kekeringan.
Pentingnya Reformulasi Aturan Tata Ruang Perkotaan
Berkaca pada bencana banjir yang sering terjadi di kota-kota besar, para pemangku kebijakan perlu untuk belajar lebih dalam dan mengevaluasi aturan tata ruang yang selama ini masih semrawut. Bahkan pemerintah pusat dan daerah seringkali kalang-kabut akibat ketidaksiapan dalam aktivitas pencegahan maupun penanggulangan banjir di musim penghujan. Merujuk pada uraian diatas, setidaknya ada tiga hal yang harus direformulasikan ulang terkait aturan tata ruang kota untuk mencegah banjir terjadi lagi. Pertama, pemerintah perlu mengatur ulang sistem pengelolaan drainase baik dengan metode polder atau pompa air serta menyiapkan lahan resapan dalam wilayah perkotaan. Kedua, perlunya pengaturan ijin mendirikan bangunan baik untuk industri maupun hotel yang ketat terutama dalam wilayah yang dekat dengan pemukiman padat penduduk, sehingga tidak menimbulkan kerugian. Terakhir, pemerintah juga perlu meredistribusikan sumber daya air secara merata terutama bagi penduduk perkotaan yang kesulitan mengakses air dan melarang penghisapan air dalam skala besar yang berdampak pada penyusutan muka tanah. Jika ketiga syarat ini terpenuhi, kemungkinan besar kita akan sangat jarang menemui banjir dan penderitaan masyarakat lagi di wilayah perkotaan.
[1] https://tirto.id/kerusakan-lingkungan-penyebab-banjir-semarang-bukan-sekadar-hujan-f97j
[2] https://kumparan.com/kumparannews/fakta-fakta-banjir-di-semarang-curah-hujan-ekstrem-warga-manfaatkan-cari-ikan-1v8HCipeMA3
[3] https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/07/090500665/banjir-semarang-apa-penyebabnya-ini-analisis-ahli-hidrologi-ugm-?page=all
[4] Pujiastuti, Ratih, dkk, (2015), Pengaruh Land Subsidence terhadap Genangan Banjir dan Rob di Semarang, Jurnal MKTS: Jurnal Ilmu dan Terapan Bidang Teknik Sipil Volume 21, Nomor 1 Juli,
Penulis: Faiz Abdullah Wafi
Tulisan ini merupakan salah satu karya kontribusi dalam “Bersama Menyeka Duka Ibu Pertiwi”, sebuah proyek galang dana yang bekerja sama dengan Clapeyron, BPPM Balairung, BPPM Equilibrium, Cifound, dan Entropi.
Terdapat tulisan-tulisan kontribusi lainnya yang bisa diakses melalui laman kami.