
©Istimewa
TULISAN ini digarap secara mendalam, selepas saya mengikuti Kapita Selekta (09-02) bertemakan HAM dan Kebebasan Berekspresi di Sekolah Hak Asasi Manusia untuk Mahasiswa (SeHAMA X). Acara tersebut diinisiasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Dalam acara tersebut, Papang Hidayat, Mantan Anggota Amnesty International United Kingdom dan Indonesia, memaparkan materi mengenai kerusuhan yang terjadi di Gedung Capitol, Washington DC, dalam perspektif hukum dan HAM. Khususnya mengenai perhelatan politik antara Donald Trump melawan Joe Biden.
Sejauh pengetahuan saya, klimaks pemilu tersebut terjadi pada 6 Januari 2021. Massa pendukung Trump bersikeras masuk ke dalam Gedung Capitol untuk membatalkan hasil akhir sidang electoral college yang hendak disahkan oleh Kongres. Pascakerusuhan, DPR menilai bahwa insiden tersebut tak bisa dilepaskan dari peran Trump. DPR menilai, klaim Trump bahwa dirinya dicurangi tidak berdasar. Lebih lanjut, pernyataan Trump yang kemudian membuat ribuan massa pendukungnya bergerak menuju Gedung Capitol serta mendesak para legislator untuk mengubah hasil pemilu merupakan biang keladi terjadinya kerusuhan.
Akibatnya, insiden ini sampai menelurkan tanggapan internasional yang mengecam kejadian tersebut. Dalam ranah pers, media arus utama di Indonesia seperti Kompas, juga memberi tanggapan atas insiden tersebut melalui tajuk wacana “Ironi Demokrasi AS” (09-01). Kompas menilai bahwa sikap Trump tidak menunjukkan tradisi pemimpin politik pada umumnya. Saat masa baktinya hampir selesai, bukannya memberi dukungan penuh terhadap presiden terpilih, malah bertindak sebaliknya (Kompas 2021, 6).
Penilaian Kompas rasanya terdengar lazim. Sebab, insiden ini setidaknya telah menelan empat korban jiwa dan kerugian materil lainnya. Pada tulisan ini, saya akan menjawab mengenai mengapa dan bagaimana insiden itu bisa terjadi di Amerika Serikat yang dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi?Â
Bahaya Narsisme Intelektual
Diskursus narsistik biasanya merujuk pada kisah pemuda bernama Narcissus dalam mitologi Yunani. Kisah ini dijadikan Levy, Ellison, dan Reynoso sebagai paragraf awal dalam tulisannya, “A Historical Review of Narcissism and Narcissistic Personality”; yang termuat dalam buku The Handbook of Narcissism and Narcissistic Personality Disorder (2011).Â
Mereka menjelaskan bahwa Narcissus dikagumi banyak orang lantaran parasnya yang menawan. Namun sayangnya, Narcissus menolak untuk dikagumi. Ia terlampau sibuk mengagumi dirinya sendiri. Akibat penolakannya itu, Dewi pembalas dendam, Nemessis, menghukum Narcissus dengan menjawab doa orang-orang yang tersakiti akibat sikapnya. Hukuman itu berupa kecintaan kepada diri sendiri yang tak terbalas—seperti halnya sering ia lakukan pada orang lain.Â
Suatu ketika, Narcissus melihat bayangan dirinya yang dipantulkan oleh sebuah kolam air. Sejak saat itu, kebiasaan tersebut mulai dipelihara olehnya. Sebab, ia terus-menerus berkaca dan mengagumi dirinya secara berlebihan. Ia laksana terjebak di pusaran keagungan diri. Lama-kelamaan, Ia kemudian meninggal di tepi kolam bersama cintanya terhadap diri sendiri yang tidak terbalas (Kenneth N. Levy 2011). Melalui kisah inilah, sikap narsistik dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahaya laten akibat mencintai diri secara berlebihan.Â
Pada era kontemporer, fenomena sikap narsistik dapat ditemukan pada Donald Trump. Berpijak pada pemilu 2020, Trump dinilai mendiseminasi kebenaran versinya terkait hasil akhir electoral college. Trump mengklaim bahwa sebagian suaranya telah dicuri. Ia juga menggerakkan massa pendukungnya menuju Gedung Capitol, yang berakhir pada kerusuhan. Sikap serupa sebenarnya sudah terlihat ketika dirinya mengejek pakar di AS selama kampanye presiden 2016, tepat sebelum dirinya berada di tampuk kekuasaan.Â
Peristiwa tersebut diabadikan Tim Nichols dalam bukunya yang bertajuk Matinya Kepakaran (2018). Menurut pengamatan Nichols, Trump menganggap bahwa pakar dan intelektual mengatur kehidupan orang-orang biasa. Namun, Trump juga beranggapan bahwa cara mereka mengatur kehidupan orang biasa sangatlah buruk. Cara Trump berkampanye pada 2016 adalah dengan melawan pengetahuan yang sudah mapan: Trump mengutip National Enquirer sebagai sumber beritanya, berada di barisan aktivis anti-vaksin, dan mengakui bahwa acara televisi Minggu pagi memberinya sebagian informasi kebijakan luar negeri (Nichols 2018).
Di sinilah letak kepelikannya. Ketika orang pandir mengultuskan ketidaktahuannya, di sanalah akal sehat berada di ambang mautnya. Sikap narsisme intelektual seperti ini jelas berbahaya apalagi jika individu tersebut memiliki elektabilitas di ruang publik. Melalui pengaruhnya, kestabilan sosial mampu diubahnya menjadi hal sebaliknya: kekacauan-kerusuhan (instabilitas). Penyebabnya, tak lain ialah narsisme intelektual berlebihan.
Media Sosial Kian Memperkeruh Keadaan
Di media sosial, sikap narsistik bagai menemukan tanah subur. Pada era disrupsi seperti sekarang ini, internet diyakini membawa kemudahan berkomunikasi dengan kerabat maupun keluarga. Meskipun demikian, ia kadang menjebak penggunanya dengan bias informasi. Internet bukan hanya tidak difungsikan sebagai penengah keraguan pengguna, tetapi juga untuk mengonfirmasi ketidaktahuannya. Ketidaktahuan yang terkonfirmasi tersebut kemudian dijadikan pengguna sebagai senjata guna mengikuti pertarungan wacana di ruang publik.
Akibatnya, internet hari ini bak tank infanteri: ia bertubi-tubi menembakkan keragaman informasi, yang pada umumnya tidak kita ketahui asal-muasalnya serta validitasnya. Sandaran untuk menghadapi hal tersebut barangkali hanyalah rasionalitas-sains. Ia bisa menjelma perisai dan membantu kita berjalan di tengah kepungan informasi hari ini.Â
Namun, apabila ingin menggunakan cara ekstrem. Mungkin kita bisa berkaca pada Jaron Lanier, seorang ilmuwan komputer dari Amerika, yang menghantam habis-habisan sisi lain dari media sosial melalui bukunya, Ilusi Media Sosial (2019). Saking kerasnya hantaman tersebut, Lanier sampai berkeyakinan bahwa dengan dihapusnya atau berhentinya kita menggunakan media sosial, kemampuan untuk memiliki akses terhadap pengalaman yang lebih baik akan meningkat pada masa mendatang. Singkatnya, kita harus meninggalkan kepengapan dan kegilaan zaman.
Argumen Lanier berangkat dari pengakuan mantan Wakil Presiden Pertumbuhan Pengguna Facebook, Chamath Palihapitiya. Secara eksplisit, ia mengatakan bahwa dopamin—yang dihasilkan penggunaan media sosial—yang menciptakan vicious cycle telah merusak fungsi masyarakat. Tidak ada percakapan dan kerjasama sipil, bahkan kesalahan dan kebenaran informasi sulit dibedakan. Palihapitiya kemudian mengaku bersalah dan memberi saran supaya kita berhenti menggunakan alat ini. Dirinya juga tidak lagi menggunakan Facebook selama bertahun-tahun (Lanier 2019).
Seperti kita ketahui bersama, saat peristiwa hangat dan sarat kontroversi terjadi di media sosial, setiap orang bebas menanggapinya dengan informasi apa pun. Entah dalam rangka merespons atau memengaruhi orang lain. Akibatnya, ruang publik dibanjiri informasi tak penting yang berangkat dari pemikiran setengah matang. Media sosial mengizinkan satu miliar bunga tumbuh mekar, tetapi sebagian besarnya berbau tak sedap. Bunga tak sedap itu berbentuk seperti tulisan penulis blog yang berangkat dari pikiran iseng; tulisan yang berupaya membenarkan teori konspirasi dari kelompok atau individu yang tak jelas identitasnya; hingga tulisan yang bermuatan informasi bohong.
Oleh sebab itu, kerusuhan di Gedung Capitol bisa dijadikan sebagai contoh dari bahaya narsisme intelektual di media sosial. Pasalnya, akibat pengaruh Trump, massa pendukungnya tidak mengutamakan pikiran rasional dan tidak memikirkan dampak perbuatannya. Mereka ibarat sumbu kompor yang terlanjur tersulut ujaran kekerasan. Ujaran kekerasan yang dibalut dengan sentimentalitas sang demagog—tokoh yang mereka dukung. Melalui pidato serta cuitannya di media sosial (Twitter); Trump membakar kemarahan dan emosi pendukungnya. Sementara itu, pendukungnya mengamininya. Vicious circle itu sebutannya.
Lalu, bagaimana mengantisipasi hal ini supaya tidak terulang?Â
Selain Kemampuan Literasi Media, Kita Perlu Pula Mengubah Cara Bermedia Sosial
Menurut Ardianto, Komala, dan Karlinah dalam Komunikasi Massa (2007), kemampuan literasi media disebut sebagai upaya menciptakan generasi literat yang merupakan jembatan menuju masyarakat makmur: kritis dan peduli. Kritis yang dimaksud adalah kritis terhadap segala informasi yang kita terima. Sedang peduli yang dimaksud adalah awas terhadap dampak dari informasi yang kita lontarkan. Sebab informasi tersebut akan dikonsumsi masyarakat. Dengan demikian, alih-alih bereaksi secara emosional-spontan terhadap suatu informasi, kita harus mencurahkan kepedulian kita kepada akibat dari informasi tersebut (Elvinaro Ardianto, 2007).
Informasi di media sosial memiliki pengaruh cukup besar bagi perkembangan politik dan perubahan sosial di suatu negara. Ada dua hal yang membedakan media sosial dengan pers. Pertama, pers memiliki struktur yang sangat ketat dalam mendapatkan, mengolah, dan mendistribusikan informasi. Dengan kata lain, pers memiliki proses cukup panjang dalam menyiarkan informasi kepada publik. Kedua, di media sosial, informasi lepas begitu saja dari intervensi atau campur tangan struktur. Oleh karena itu, informasi di media sosial rentan mengandung bias dan pada gilirannya dapat menyesatkan pembaca. Untuk itu, selain kita perlu kemampuan literasi media, kita perlu pula mengubah cara kita dalam bermedia sosial. Bagaimana maksudnya?Â
Pertama, kita perlu lebih selektif dalam menyebarkan informasi yang sifatnya privat (prevention of privacy breaches). Hal ini bertujuan supaya kepribadian kita tidak dinilai sebatas informasi yang kita sebar. Kedua, periksa kembali wilayah pertemanan kita. Jangan sampai ada pengguna yang tidak kita tahu asal-muasalnya masih berteman dengan kita. Sebab, hal ini bisa saja menjadi bumerang bagi kita saat ada isu yang menyangkut kemaslahatan personal. Ketiga, cantumkan sumber saat mengunggah informasi (yang sifatnya berdampak pada orang lain) dan lakukan secara konsisten. Mengapa perlu melakukannya secara konsisten? Karena, jika kita (mampu) melakukannya secara konsisten, disadari atau tidak, hal tersebut akan memengaruhi aspek psikologis lingkungan kita supaya mereka melakukan hal senada.
Aan Afriangga
Mahasiswa di Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurnalistik, Universitas Mpu Tantular, Jakarta. Penganut senjaisme akut. Bisa ditemui di dunia maya: @aanafriangga11. Kritik dan saran: aanafriangga18@gmail.com.
Referensi
- Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah. 2007. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. (Edisi Revisi). Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
- Levy, N. Kenneth, William D. Ellison, and Joseph S Reynoso. 2011. “A Historical Review of Narcissism and Narcissistic Personality.” In The Handbook of Narcissism and Narcissistic Personality Disorder: Theoritical, Approaches, Empirical Findings, and Treatments, edited by Joshua D. Miller W. Keith Campbell, 18-31. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
- Kompas. 2021. “Ironi Demokrasi AS.” Tajuk Rencana. Jakarta: Koran Kompas, Januari 9. 6.
- Lanier, Jaron. 2019. Ilusi Media Sosial. Translated by Elvan Adiyan Wijaya. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.
- Nichols, Tom. 2018. Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya. Translated by Ruth Meigi P. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.