“Bu, kan sebentar lagi Ain mau masuk SMP nih. Ain ngga mau sekolah di tempat teteh sekolah sekarang.” Aku yang merasa namaku disebut secara tidak langsung seketika menoleh kepada bocah yang tingginya hanya setara dengan dadaku.
Aku mendelik tidak terima, menghentikan gerakan tanganku yang sedang memotong daun bawang, lalu membalas dengan tak kalah menyebalkannya.”Sekolah SMP teteh sekarang masuknya juga susah tau. Pakai NEM, dapetnya harus belajar ekstra dulu waktu mau UN. Kalau kamu sekarang sih memang lagi mujur aja. Kebetulan sekolah yang kamu mau, dekat dengan rumah kita, jadi bisa langsung masuk pakai zonasi.”
“Kalau pun masih pakai NEM, Ain juga yakin ko kalau Ain bakal masuk.” Bocah yang lahir dari rahim yang sama denganku itu membalas tak mau kalah.
“Co—
“Hei! Sudah – sudah. Kenapa sih kalian ngga bisa ngga berantem sehari saja. Pusing kepala ibu melihat kalian bertengkar terus.” Omonganku belum sempat selesai ketika ibu memotong dengan ekspresi seolah siap mengeluarkan laser api dari matanya yang bulat.
“Ain-nya duluan, Bu. Teteh lagi anteng potong daun bawang, tiba-tiba dia cari gara-gara. Ya masa teteh harus diam aja?”
“Cari gara-gara gimana? Ain kan cuman bilang gitu, bukan berarti —
“Hei!!! Sudah – sudah. Ain juga, udah tau tetehnya mudah tersinggung, —
“Bu, teteh tuh ngga begitu. Memang Ain-nya saja yang mulutnya minta dicabein.” Kali ini aku yang memotong ucapan ibu. Jelas, aku tidak terima disebut mudah tersinggung.
“Teteh, dengerin ibu! Sudah berapa kali ibu bilang, ngga sopan potong omongan orang tua!” Ibu tidak membentak, hanya sedikit menaikkan nadanya.
Aku tidak menjawab, memilih melanjutkan memotong daun bawang dengan muka sebal dan amarah yang masih tersimpan di dada karena merasa lagi-lagi ibu tidak pernah di pihakku. Hanya karena aku lebih dewasa daripada Ain, bukan berarti, bocah itu bisa seenaknya saja kan? Bukan berarti ibu harus selalu membelanya! Huh. Aku melirik sekilas kepada bocah yang usianya hanya terpaut dua tahun denganku, Ain juga hanya menunduk dan kembali melanjutkan tugasnya mengupas bawang.
“Kalian tuh udah bukan anak TK lagi, bu—
“AW!” Aku memekik keras ketika merasakan bahwa ujung pisau tidak sengaja menggores jariku dan darah seketika mengucur dari jari telunjukku.
“Asstagfirullah!” Ibu seketika menoleh, mematikan api kompor, dan dengan cepat menghampiriku. Ain juga dengan sigap langsung mengambilkan betadine, kapas, dan juga plaster. Dengan lihai, ibu menuntunku ke arah wastafel, membawa jari telunjukku yang tergores untuk dibersihkan dengan air mengalir. “Tahan sebentar ya, teh,” ujar ibu sambal mengusap pelan jariku yang terluka.
Di belakangku, Ain juga mengintip ingin tahu sambil memastikan bahwa ia telah menyiapkan semua obat yang akan kubutuhkan.
Setelah darah sudah berhenti mengalir dari jari-jariku, ibu langsung merawat lukaku dan membelutnya dengan plaster.”Sudah, teteh istirahat dulu, biar ibu yang melanjutkan.” ujarnya lembut masih sambil mengusap-usap bekas lukaku dan meniup-niupnya seolah obat yang paling mujarab berasal dari tiupannya.
Aku menunduk meanahan tangis karena mataku yang terasa panas dan memutuskan ke kamar lalu mengunci pintu. Aku tadinya ingin menangis karena sakit dari goresan pisau yang aku rasakan, tetapi setiap kali sesuatu terjadi padauk, aku menyadari betapa ibu sangat menyayangiku, begitupun dengan Ain. Umurku belum genap 14 tahun saat ini. Ibu sering sekali bilang bahwa wajar bila emosiku belum stabil. Aku seringkali merasa seperti anak terbuang karena apa-apanya selalu aku yang disalahkan, seolah aku lupa betapa sabarnya beliau menghadapi dua anak perempuannya yang sama-sama keras kepalanya.
***
Aku baru sadar bahwa aku tertidur ketika Ain masuk ke kamarku –yang juga merupakan kamarnya.dan menyuruhku makan malam. Ayah sudah siap di meja makan dan bahkan sudah mandi setelah pulang bekerja, begitupun ibu yang duduk di sampingnya. Aku dan Ain duduk di depan mereka berdua. Tidak seperti biasanya, tidak ada yang memulai mengambil piring terlebih dahulu.
Ibu seperti memberi sebuah kode kepada Ain. Dengan malu-malu dan menoleh ke arahku ia berujar, “Teh, Ain minta maaf karena udah ngomong begitu.” Aku hanya berdeham lalu mulai mengambil nasi. Hubunganku dengan Ain memang terbilang sedikit rumit. Kami berdua jelas saling menyayangi, tetapi bertengkar sudah seperti mendarah daging bagi kami. Kami kadang merasa, justru begitulah cara kami berkomunikasi dan menunjukkan kepedulian satu sama lain. Biasanya, malah tidak ada permintaan maaf. Hilang sudah begitu saja rasa kesal satu sama lain, apalagi ditambah ketika melihat salah satu ada yang terluka.
Lalu ibu baru mulai sedikit mengomeliku tapi dengan nada jenaka. Ceritaku yang tergores pisau diceritakan ulang dengan bumbu komedi seolah meledekku dan aku sama sekalih tidak marah, ikut tertawa dan merasa sedikit malu. Ayah mendengarkan sambil tak bisa menahan tawanya mendengar cerita kami hari ini. Ain dan aku sesekali menimpali sama-sama tak mau kalah. Lalu kami tertawa lagi. Berkumpul di ruang tv dengan aku dan Ain yang sambil mengerjakan PR, sedangkan ayah yang sesekali bercerita tentang harinya, dan ibu tertawa. Sampai akhirnya kami mengakhiri sisa hari ini dengan masuk ke kamar masing-masing.
Aku tidak tahu bahwa malam itu, terakhir kalinya aku bisa bertengkar dengan Ain, diomeli Ibu, ataupun mendengar suara tawa ayah. Terakhir kali yang kuingat hanya ayah dan ibu yang membangunkanku dan Ain dengan panik. Aku terbangun sambal merasakan goncangan seperti gempa yang awalnya ku kira efek setelah bangun tidur. Kemudian ayah mulai menuntun kami untuk mencari tempat aman, sambil menggandeng dengan aku dan Ain yang berjalan seperti zombi, satu tanganku yang kosong digenggam oleh ibu. Ayah memipin jalan, menghindari reruntuhan bangunan yang perlahan aku sadari bahwa telah terjadi gempa betulan, lalu tanpa aba-aba bahkan tanpa sempat aku merasa panik, gelombang air yang sangat besar datang dari arah depan seketika melepaskan genggaman taman kami secara paksa. Kami hanyut terbawa arus masing-masing tanpa sempat mengatakan salam perpisahan, tanpa sempat mengatakan bahwa aku menyayangi ayah, ibu, dan Ain sama besarnya dengan mereka menyayangiku. Biar begitu, aku membiarkan air yang kini mulai menenggelamkan seluruh tubuhku karena sudah tidak tersisa sedikitpun tenaga untuk melawan riak air. Biar begitu, dalam gemuruh arus gelombang yang membuat tubuhku seolah menari-nari dalam air, aku tersenyum karena aku tahu kalau mereka sudah tau. Mereka tau betapa aku menyayangi mereka sama besar tanpa sepatah katapun aku sempat berucap. Barangkali, gelombang air ini juga yang menyampaikan apa yang tak sempat kami ucapkan.
Penulis: Anggraini D
Tulisan ini merupakan salah satu karya kontribusi dalam “Bersama Menyeka Duka Ibu Pertiwi”, sebuah proyek galang dana yang bekerja sama dengan Clapeyron, BPPM Balairung, BPPM Equilibrium, Cifound, dan Entropi.
Terdapat tulisan-tulisan kontribusi lainnya yang bisa diakses melalui laman kami.