
©Ingga/Bal
Selama masa pandemi, demokrasi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, semakin memburuk. Jumlah aksi nirkekerasan di berbagai belahan dunia pun meningkat sebagai respons dari kondisi tersebut. Menanggapi hal tersebut, Institute of International Studies mengadakan sebuah diskusi bertajuk “Membela Demokrasi di Tengah Pandemi – Refleksi Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2020” pada Senin (22-02).Â
Diskusi daring tersebut menghadirkan tiga pembicara, yaitu Diah Kusumaningrum, Dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM; Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina; dan Puri Kencana Putri, Wartawan Kompas. Diskusi ini membahas relevansi aksi nirkekerasan dalam menegakkan demokrasi pada masa pandemi.
Diah menjelaskan bahwa aksi nirkekerasan sendiri merupakan metode berkonflik yang tidak menggunakan kekerasan fisik terhadap orang lain. Melalui penemuannya, Diah mengatakan bahwa selama tahun 2020 terdapat 346 aksi nirkekerasan. Angka tersebut, menurut Diah, meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Pandemi memunculkan ancaman baru terhadap demokrasi sehingga urgensi melawan di tengah pandemi meningkat,” jelas Diah.Â
Namun, Diah juga mengungkapkan bahwa jumlah aksi nirkekerasan tidak sebesar pada masa awal reformasi yang melebihi 700 aksi. Hal ini disebabkan oleh tindakan pemerintah yang semakin represif terhadap nilai-nilai demokrasi melalui regulasi yang mengekang kebebasan berpendapat. “Meskipun ruang-ruang demokrasi sudah mulai terbuka, nampaknya kini ada penyempitan lagi,” tambah Diah.
Senada dengan Diah, Ihsan berpendapat bahwa berdasarkan pengamatannya, aksi nirkekerasan lebih efektif ketimbang aksi kekerasan. Meskipun begitu, Ihsan menyatakan bahwa aksi nirkekerasan harus terus diperbaiki dalam pelaksanaannya. Menurut Ihsan, perubahan metode aksi luring menjadi daring juga membawa beberapa dampak negatif. Ihsan menerangkan bahwa aksi daring membuat aksi nirkekerasan menjadi tersimplifikasi karena terlalu mudah dilakukan. Contoh lainnya adalah tidak tersorotnya pemain lama yang sudah tidak aktif melakukan aktivisme karena tertutup dengan banyaknya pemain baru yang bergabung dalam aktivisme daring. “Selain itu, ada kemungkinan bahwa aksi nirkekerasan baru dilakukan ketika aksi kekerasan sudah terjadi,” tutur Ihsan.
Sejalan dengan Ihsan, Puri menjelaskan bahwa aksi nirkekerasan pada masa pandemi mendapat tantangan, yaitu otoritarianisme digital. Puri menjelaskan bahwa otoritarianisme digital dilakukan oleh kelompok politik sayap kanan dan pemerintah secara kolaboratif. Otoritarianisme digital, menurut Puri, digunakan untuk mengontrol suatu gerakan atau seorang aktivis yang kontra dengan pemerintah. Kontrol yang dimaksud mulai dari pengintaian melalui aplikasi daring, regulasi di ranah digital yang membatasi kebebasan berekspresi, dan penyebaran propaganda melalui media daring. Salah satu contoh yang dibawa Puri adalah penangkapan aktivis Ravio Patra pada 2020 silam. “Praktik otoritarianisme digital sepanjang tahun 2020 mengancam pelaksanaan aksi nirkekerasan,” jelas Puri.
Meskipun demikian, Diah berpendapat bahwa aksi nirkekerasan adalah cara yang tepat untuk mengawal demokrasi di tengah pandemi “Aksi nirkekerasan adalah manifestasi dari kultur demokrasi,” ujar Diah. Menurutnya, aksi nirkekerasan sebagai bentuk perlawanan masyarakat harus disoroti meskipun tidak semua tuntutannya tercapai.Â
Penulis: Renova Zidane Aurelio dan Aldyth Nelwan Airlangga
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Ilustrator: Ingga Amalia