Sejumlah kasus penjiplakan karya ilmiah atau plagiarisme oleh beberapa pimpinan perguruan tinggi belakangan ini, menunjukkan kekeliruan mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Persekongkolan antara pemangku kuasa yang menjabat di istana dan akademisi, ditengarai menjadi faktor utama berulangnya kasus plagiarisme. Menanggapi hal itu, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengadakan diskusi bertajuk “Kekuasaan dan Plagiarisme di Perguruan Tinggi” pada Kamis (04-02).
Diskusi yang diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting dan kanal Youtube KIKA ini turut menghadirkan empat pembicara, diantaranya Stefanus Pramono, Jurnalis TEMPO; Robertus Robet, Dosen Universitas Negeri Jakarta; Haris Azhar, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera; dan Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Diskusi ini membahas mengenai hubungan kekuasaan dengan praktik plagiarisme yang marak terjadi di beberapa perguruan tinggi Indonesia.
Dalam investigasinya, Pramono menemukan adanya intervensi pejabat istana dalam kasus plagiarisme yang dilakukan oleh Muryanto Amin. Menurutnya, intervensi itu dilakukan guna melanggengkan Muryanto menduduki kursi Rektor Universitas Sumatera Utara. Padahal, Dewan Guru Besar universitas tersebut telah memutuskan Muryanto bersalah dan sudah menjatuhkan sanksi. “Ada kedekatan yang terjalin antara Muryanto dengan pejabat di lingkaran istana, temuan ini juga dibenarkan oleh seorang politisi Partai Golkar,” ungkapnya.
Hal serupa juga terjadi dalam kasus yang menjerat Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Fathur Rokhman dan Rektor Halu Oleo, Muhammad Zamrun Firihu. Pramono mengatakan, terdapat kedekatan antara kedua rektor tersebut dengan salah satu menteri yang menjabat kala itu. “Plagiarisme murni tidak hanya sebatas ketidakjujuran intelektual, nyatanya juga ada praktik jahat akademisi yang memanfaatkan kedekatannya dengan politisi demi memeroleh jabatan strategis,” tandasnya. Oleh karena itu, ia sangat menyayangkan fenomena ini, sebab pejabat institusi negara, yang mestinya menjaga iklim kebebasan akademik, justru malah merusaknya.
Lebih lanjut, Robert memaparkan bahwa saat ini kasus plagiarisme telah bertransformasi menjadi bagian dari transaksi politik. Dalam pandangannya, terdapat tiga dilema dalam tubuh universitas yang melatarbelakangi hal itu. Pertama, universitas memiliki irisan dengan prinsip atau budaya akademik tertentu. Kedua, universitas secara tidak langsung didesak untuk terlibat dalam agenda politik. Ketiga, universitas memiliki hubungan kepentingan ekonomi dengan politisi. “Mulanya para birokrat universitas membutuhkan power resources untuk urusan yang sifatnya konstitutif, tetapi berubah menjadi transaksional politik guna menyokong kebutuhan anggaran universitas,” terangnya.
Akibatnya, universitas mau tidak mau akan menjalin relasi dengan politisi tertentu untuk memuluskan kepentingan yang saling menguntungkan. Sebagai timbal balik, kata Robert, pihak universitas akan memberikan apapun yang dimilikinya, misalnya mengobral gelar guru besar untuk para politisi. Pola hubungan inilah yang kemudian menebal dan mengakibatkan tergerusnya kebebasan akademik. “Tak heran jika karya-karya akademik menjadi murahan, sebab hanya dilakukan dengan standar asal lulus dan lebih mementingkan pertimbangan politik daripada akademik,” tandasnya.
Di sisi lain, Asfinawati menyoroti lemahnya proses penindakan atau sanksi yang diberikan kepada pelaku plagiarisme. Sikap birokrat akademik dan pemerintah yang cenderung abai, menurutnya, menuai banyak kejanggalan. Lebih-lebih, dalam pengamatannya, hukum dijadikan dalih oleh birokrat kampus untuk melegitimasi kasus yang sebelumnya sudah dinyatakan melanggar kode etik akademik.
Asfin mencontohkan pada kasus disertasi Fathur Rokhman, yang terbukti melakukan plagiarisme oleh Dewan Kehormatan UGM. Bukannya dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Rektor Unnes, tetapi dilindungi oleh Rektor UGM dengan alasan tidak ada pelanggaran hukum. “Miris, kebebasan akademik sudah tergadai oleh legitimasi hukum dan dirampas kepentingan penguasa,” tegasnya.
Sebagai solusi, Haris menyarankan agar usaha pengawasan dan pemeriksaan terhadap universitas serius dijalankan. Mengingat lingkungan universitas yang semestinya menjadi sarana kebebasan dalam mencari kebenaran, malah jadi alat kekuasaan. Rekomendasi yang berakar dalam budaya akademik, ucap Haris, harus diutamakan ketimbang lobi-lobi birokrasi dengan politisi untuk mendulang uang dan jabatan. “Kalau kampus lebih mengutamakan sumber uang dan kekuasaan, maka ia sudah bukan universitas lagi, jadi perusahaan saja,” pungkasnya.
Penulis: Annisa Shafa Regina
Penyunting: Haris Setyawan
Fotografer: Dzikrika Rahmatu H