Jum’at (19-02), Center for Digital Society (CfDS) mengadakan diskusi bertajuk ”Polisi Siber: Pelindung atau Momok?”. Diskusi ini menghadirkan dua pembicara yaitu Muhammad Fatahillah Akbar, Dosen Fakultas Hukum UGM dan Danu Pratama Aulia, Staf Riset dan Mobilisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Diskusi ini dimoderatori oleh Irnasya Shafira selaku Rekanan Riset CfDS UGM.
Diskusi dibuka oleh Muhammad Fatahillah Akbar atau sering disapa Fatah yang memaparkan bahwa buruknya situasi pandemi COVID-19 saat ini memaksa masyarakat untuk memanfaatkan teknologi informasi, utamanya jaringan internet. “Kondisi pandemi memaksa kita semua untuk berpindah menuju ruang digital dalam berinteraksi,” imbuh Fatah. Oleh karena itu, menurutnya, kebutuhan masyarakat Indonesia akan hukum siber semakin tinggi.
Namun, hal tersebut juga memunculkan ketidaksempurnaan baru dalam hukum di Indonesia. “Hukum akan selalu tertinggal dengan zaman”, ungkap Fatah. Ia kemudian menyebut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurutnya, wajar apabila hukum tersebut belum sempurna dan memerlukan perbaikan secara konstan.
Mengenai Polisi Siber, Fatah kembali menjelaskan bahwa badan ini bertugas untuk menciptakan kondisi lingkungan teknologi informasi di Indonesia yang aman, adil, dan memiliki kepastian hukum. Penegak hukum siber telah diaktifkan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 2016. “Polisi Siber berfungsi untuk menegakkan tindak pidana siber berdasarkan UU No. 11 Tahun 2016 atau lebih dikenal dengan UU ITE yang berkaitan dengan computer crime atau computer related crime,” imbuh Fatah.
Menurut Fatah, terdapat beberapa persoalan yang perlu disorot dalam penegakan hukum siber di Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa kasus penegakan hukum siber di indonesia didominasi oleh permasalahan terkait konten, yaitu sebesar 95 persen. Konten yang dipermasalahkan adalah ujaran kebencian, pencemaran nama baik, serta penghinaan individu dan SARA.
Danu juga memaparkan bahwa proses penegakan hukum di ruang lingkup digital terlalu fokus pada kasus-kasus terkait konten. Sedangkan kasus seperti doxing, peretasan, penghapusan data, dan penipuan daring cenderung tidak terselesaikan dengan efektif. “Pengaktifan penegak hukum siber harus dibarengi dengan peningkatan efektifitas dan kapabilitas dalam menangani kasus seperti ini,” ungkap Danu.
Danu kemudian menunjukkan peningkatan serangan terhadap kebebasan sipil dalam ruang digital. Ia melanjutkan bahwa berdasarkan data yang dihimpun oleh KontraS, serangan terhadap kebebasan berekspresi menduduki peringkat ke-2 sebagai kebebasan yang paling sering dilanggar selama tahun 2020. “Pelanggarannya berbentuk penindakan hukum terhadap kebebasan berekspresi terutama di ruang-ruang digital,” tuturnya.
Sebagai penutup, Danu melihat bahwa negara harus memiliki parameter yang jelas untuk dapat menentukan skala prioritas dalam menangani kasus-kasus yang terjadi di dalam dunia digital. Begitu pula dengan peningkatan kapabilitas dan efektivitas dalam penanganan setiap kasusnya. Danu berpendapat bahwa pengaktifan Polisi Siber tidak memiliki urgensi untuk saat ini karena baik undang-undang maupun penegak hukumnya belum memiliki tugas dan wewenang yang jelas; belum memiliki skala prioritas yang terperinci dan terarah; dan berpotensi untuk mencederai kebebasan sipil.
Penulis: Abiyyu Genta Rijadianto
Penyunting: Anisa Azmi Nurrisky A
Desainer Grafis: Vifebri Fajar Nolaputri