Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnamasari, menjelaskan bahwa kasus pembunuhan sewenang-wenang yang dilakukan polisi berkecenderungan pada pembatasan kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi. “Data YLBHI mencatat, sebanyak 48 persen kasus pembunuhan sewenang-wenang terjadi saat penanganan demonstrasi,” ujar Era dalam diskusi daring bertajuk “Pembunuhan Sewenang-wenang dalam Penegakan Hukum: Potret Extra Judicial Killing di Indonesia” pada Minggu (21-02).
Era kemudian memaparkan rincian data pembunuhan sewenang-wenang oleh polisi saat penanganan demonstrasi. Pada tahun 2019, kasus pembunuhan sewenang-wenang saat demonstrasi berjumlah 62. Sementara pada tahun 2020 tidak ditemukan kasus. Era menilai bahwa penurunan tersebut tidak berarti keadaan sudah membaik. “Sebab, terdapat faktor pandemi yang membatasi gerak orang untuk melakukan demonstrasi,” jelas Era.
Peristiwa penembakan Randy dan Yusuf dalam demonstrasi di Kendari merupakan salah satu bentuk pembunuhan sewenang-wenang saat demonstrasi. Ahmad Taufan Damanik, Komisioner Komnas HAM, mengatakan bahwa Komnas HAM telah menemukan bukti penembakan. “Entah hanya Randy atau dua-duanya, yang jelas, salah satunya sudah pasti ditembak secara semena-mena oleh polisi,” ungkapnya.
Ahmad menduga bahwa kurangnya kapabilitas polisi dalam menangani massa merupakan penyebab maraknya pembunuhan sewenang-wenang. Ia kemudian menyebut demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di Jakarta dan Brimob Nusantara. Pada peristiwa tersebut, tambah Ahmad, Brimob Nusantara tidak menguasai medan sebab personelnya berasal dari berbagai daerah. “Mereka tidak tahu kemana massa mesti didorong. Yang terjadi, massa terdesak hingga banyak yang mengalami cedera,” ujar Ahmad.
Selain itu, Ahmad menilai bahwa dalam diri polisi telah terdapat benih untuk melakukan pembunuhan sewenang-wenang. Hal tersebut berangkat dari cerita salah seorang petinggi kepolisian mengenai sikap polisi saat demonstrasi. “Kalau petugas saya sudah berhadapan dengan demonstran, meskipun sudah mengikuti pendidikan HAM, tetap saja masih melihat massa sebagai pelaku tindak pidana,” kutip Ahmad.
Ahmad kemudian menekankan pada kepolisian untuk memberikan pelatihan simulatif. “Seperti cara menangani massa atau hal yang tepat dilakukan ketika menangkap orang,” ujar Ahmad. Menurutnya, pelatihan tersebut merupakan pelengkap pelatihan HAM. Sebab, tuturnya, pelatihan HAM hanya merupakan pelatihan kognitif, tidak praktis.
Penulis: Muhammad Fadhilah P
Penyunting: Elvinda F S
1 komentar
semangat berjuang!