Pembahasan mengenai pembentukan Komponen Cadangan (Komcad) militer kembali menjadi perbincangan yang hangat akhir-akhir ini. Pasalnya, pemerintah baru saja menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) pada 12 Januari 2021. Namun, aturan tersebut menuai banyak kritik dari berbagai pihak.
Imparsial selaku lembaga penelitian yang menyelidiki dan mengawasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) mengadakan diskusi daring bertajuk “Kritik Pembentukan Komponen Cadangan” pada Rabu (03-02). Diskusi ini menghadirkan Tubagus Hasanuddin, Anggota Komisi I DPR RI; Ray Rangkuti, Pengamat Politik; Diandra Mengko, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; Najib Azca, Akademisi Universitas Gadjah Mada; dan Ghufron Mabruri, Direktur Imparsial. Diskusi ini dimoderatori oleh Gustika Jusuf selaku peneliti di Imparsial.
Sebagai pembuka, Tubagus atau yang akrab disapa Tebe menyoroti rencana penganggaran dana sebesar 1 triliun rupiah untuk pembentukan Komcad. Menurutnya, anggaran sebesar itu sebaiknya diprioritaskan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Alat Utama Sistem Senjata TNI. Tebe juga menyarankan untuk menggunakan anggaran tersebut guna menyejahterakan para prajurit TNI selaku Komponen Utama Militer dan mengoptimalkan penyelenggaraan Pembinaan Kesadaran Bela Negara. “Saya rasa pembentukan Komcad tidak perlu menjadi prioritas pemerintah saat ini, toh, sekarang masih era pandemi COVID-19,” tuturnya.
Kritik lain juga disampaikan oleh Diandra. Ia memaparkan setidaknya terdapat tiga permasalahan terkait pembentukan Komcad. Pertama, ambiguitas tujuan dari Komcad. Diandra menjelaskan bahwa dalam Pasal 29 UU PSDN, Komcad ditujukan untuk menghadapi ancaman hibrida. Padahal, secara regulasi, Diandra mengatakan bahwa belum ada definisi yang jelas mengenai ancaman hibrida saat ini. “Apabila tidak ada definisi operasional yang jelas, maka aturan ini berpotensi menjadi pasal karet yang merebak kemana-mana,” jelasnya.
Kedua, terkait efektivitas menghadapi peperangan. Diandra mengaku tidak yakin bahwa pemerintah Indonesia telah memperkirakan kemungkinan terjadinya peperangan di masa depan. Sebab, Diandra menilai dinamika di lapangan menunjukkan bahwa Negara Indonesia belum membutuhkan tambahan prajurit. Ketiga, Diandra menyoroti permasalahan prioritas pengembangan. Diandra berpendapat bahwa komponen utama saat ini, yaitu TNI, perlu mendapat perhatian lebih ketimbang Komcad. TNI perlu mengalami peningkatan kualitas dan pelatihan. “Ketiga permasalahan ini justru berpotensi untuk menciptakan militerisasi pada masyarakat sipil yang akan sangat berbahaya,” tambah Diandra.
Perspektif lain diberikan oleh Ghufron yang lebih memfokuskan permasalahan pada aspek HAM. Menurutnya, dalam HAM, terdapat prinsip conscientious objection yang menjelaskan penolakan seseorang terhadap dinas kemiliteran berdasarkan keyakinan. Ia menyampaikan bahwa keyakinan tersebut harus dimaknai lebih luas, misalnya keyakinan seseorang untuk menyelesaikan segala permasalahan tanpa kekerasan. Ia mengklaim bahwa prinsip ini belum diadopsi sepenuhnya dalam pengaturan Komcad. “Padahal prinsip ini menjadi bagian penting dalam dinas kemiliteran baik wajib, sukarela, maupun cadangan,” tegasnya.
Sementara itu, dalam mempersiapkan militer pada masa sekarang dan masa mendatang, Najib menilai kebijakan ini tidak strategis. Pasalnya, Najib memiliki prediksi bahwa ancaman ke depan lebih berfokus pada perang dengan teknologi tinggi nan canggih. “Alih-alih mengerahkan sumber daya untuk pembentukan Komcad, lebih baik kita meningkatkan pemahaman bela negara di bidang-bidang siber,” tuturnya.
Lain halnya dengan Najib, Diandra berpendapat bahwa Komcad dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk. Misal pada Kementerian Kesehatan, Komcad dapat diartikan sebagai sukarelawan. “Oleh karena itu, tidak seluruh Komcad harus diorganisasi dan diatur oleh dinas militer,” ujarnya. Diandra juga berpesan kepada pemerintah untuk memberikan penjelasan yang lebih komprehensif mengenai urgensi pembentukan Komcad sehingga, baik akademisi maupun masyarakat dapat memahami keterdesakan pembentukannya.
Penulis: Achmad Hanif Imaduddin
Penyunting: Isabella
Fotografer: Dzikrika Rahmatu H