Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengadakan diskusi daring bertajuk “Kekerasan Seksual di Kalangan Jurnalis” pada Sabtu (16-1). Fadiyah selaku moderator mengatakan bahwa penyelenggaraan diskusi ini bertujuan untuk meluncurkan hasil survei AJI mengenai kekerasan seksual terhadap jurnalis. Diskusi ini turut menghadirkan lima pembicara, yakni Widia Primastika, Anggota Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta; Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers; Nenden S. Arum, perwakilan Komite Keselamatan Jurnalis; Justitia Avilla Veda, Pengacara Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender; dan Wahyu Dhyatika selaku perwakilan dari Asosiasi Media Siber Indonesia.
Widia memaparkan bahwa jurnalis rentan mengalami kekerasan seksual. Hal tersebut berangkat dari hasil survei yang menunjukkan bahwa dari 34 responden, 25 diantaranya mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Widia menambahkan bahwa data tersebut masih terbilang sedikit sebab korban seringkali ketakutan untuk melapor. “Kami menduga, sedikitnya data yang kami peroleh akibat pengalaman traumatis yang dialami responden,” ujarnya.
Agus mengatakan bahwa sebenarnya Dewan Pers telah membuka layanan kasus kekerasan seksual melalui Komite Perlindungan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Wartawan. Akan tetapi, tambahnya, belum ada laporan kekerasan seksual terhadap jurnalis selama satu setengah tahun terakhir. Maka dari itu, Agus menekankan perlunya dorongan kepada korban untuk berani melaporkan kasus kekerasan seksual.
Widia kemudian memberikan tiga rekomendasi dalam penanganan kekerasan seksual ini. Pertama, merancang Standard Operating Procedure (SOP) penanganan kekerasan seksual yang komprehensif dan berperspektif korban. Kedua, melaksanakan SOP bersama dengan instrumen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta memberikan pelatihan sensitif gender bagi seluruh pekerja. Ketiga, meminta Dewan Pers untuk mendorong organisasi jurnalis untuk merancang SOP tersebut.
Senada dengan Widia, Wahyu juga menekankan pentingnya merancang SOP dengan organisasi jurnalis. Ia kemudian menuturkan bahwa masih banyak organisasi jurnalis yang menganggap bahwa kekerasan seksual merupakan risiko kerja. “Sudah waktunya melawan dan mengikis anggapan tersebut,” tegas Wahyu.
Selain itu, Wahyu juga memberikan rekomendasi seperti upaya-upaya yang sistematis dan terstruktur, serta peningkatan sistem perlindungan penanganan kasus kekerasan seksual. “Jangan sampai menunggu adanya korban,” tambahnya. Lebih lanjut, Wahyu mengatakan bahwa perlu sebuah modul, yang penyusunannya berasal dari aktivis-aktivis perempuan atau NGO yang mengerti cara menangani kasus kekerasan seksual.
Veda menambahkan bahwa penanganan kekerasan seksual di kalangan jurnalis juga memerlukan komitmen bersama dalam hal pendampingan korban. Komitmen tersebut dapat berwujud kepastian hukum. Sebab, tambahnya, kepastian hukum dalam menindaklanjuti laporan kekerasan seksual akan mendorong korban untuk berbicara. “Perlu adanya mekanisme rujukan psikologis demi pemulihan korban dan jaringan kepada lembaga hukum,” ujarnya.
Veda juga mengusulkan adanya pelatihan gender terhadap jurnalis. Ia mengatakan bahwa pelatihan tersebut menjadi penting sebab mengingat kultur lapangan yang kental dengan seksisme. Veda kemudian menambahkan bahwa pelatihan gender berguna untuk menyetarakan pemahaman jurnalis terhadap kekerasan seksual. “Meningkatkan pemahaman mengenai gender merupakan merupakan langkah pencegahan yang efektif,” katanya.
Penulis: Fauzi Ramadhan, Gracia Christabella
Penyunting: Salsabella ATP
Fotografer: Parama Bisatya