Rabu (06-01), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meluncurkan Catatan Akhir Tahun 2020. Acara peluncuran yang bertajuk “Pandemi Covid-19 dan Perampasan Tanah Berskala Besar” ini menghadirkan Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA sebagai pembicara. Selain itu, ada pula tiga narasumber penanggap, yakni Surya Tjandra, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN); Arief Rahman, Direktur Sosial Budaya Badan Intelijen dan Keamanan Kepolisian Republik Indonesia; dan Sugeng Purnomo, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkopolhukam). Acara yang diselenggarakan secara daring ini bertujuan untuk mempublikasikan hasil penelitian KPA terkait dengan konflik agraria di Indonesia sepanjang tahun 2020.
Menurut Dewi Kartika, pada tahun 2020, di tengah pandemi dan perekonomian yang defisit, konflik agraria justru semakin meningkat. Berdasarkan penelitiannya, tercatat sepanjang 2020 terdapat 241 konflik agraria dengan jumlah korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga. Ia menerangkan bahwa konflik agraria di sektor perkebunan mendominasi dengan 121 kasus. Sementara itu, sektor kehutanan menyusul di posisi kedua dengan 41 kasus. Konflik di kedua sektor tersebut mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2019. Sektor perkebunan naik sebanyak 28 persen, sedangkan sektor kehutanan naik sebanyak 100 persen. “Akibatnya, jumlah kekerasan yang diakibatkan oleh konflik agraria tetap tinggi,” imbuhnya.
Selain itu, Dewi menegaskan bahwa adanya pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi juga tidak mampu menghentikan kriminalisasi terkait perampasan tanah rakyat. Berdasarkan penelitian KPA, terdapat 139 kasus kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat dan aktivis sepanjang 2020 dan 11 petani yang meninggal saat mempertahankan hak atas tanahnya. Menurut Dewi, meskipun terjadi krisis pandemi dan ekonomi, cara-cara penanganan konflik agraria justru tetap represif dan intimidatif. Ia menambahkan bahwa pemerintah dan hukum turut memfasilitasi maraknya perampasan tanah. Hal tersebut nampak dari keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam proses penyelesaian konflik agraria. “Aparat negara tidak hanya terlibat dalam penanganan yang represif tetapi juga kerap menjadi aktor penyebab konflik agraria,” jelas Dewi.
Menyorot soal kriminalisasi oleh aparat, Arief berpendapat bahwa Polri berperan dalam melakukan pengamanan guna mencegah terjadinya potensi kerugian yang mungkin akan diderita masyarakat. Ia menambahkan bahwa kerja-kerja Polri mengacu pada hukum. “Kalaupun terjadi tindakan represif, ini adalah akibat dari tindakan anarkis masyarakat,” pungkasnya.
Sementara itu, Sugeng mengakui bahwa konflik agraria merupakan masalah yang serius. Sebab menurutnya, 60 persen laporan yang terkait dengan konflik agraria merupakan konflik yang terjadi antar masyarakat, masyarakat dengan pemodal, hingga masyarakat dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, konflik ini terjadi karena tanah yang dimiliki oleh BUMN, perusahaan swasta, atau kementerian terkait tidak dikelola dengan baik. Akibatnya, tanah tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. “Kondisi semacam inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik agraria,” tegas Sugeng.
Terkait dengan kasus kriminalisasi yang melibatkan institusi seperti TNI ia mengakui sampai dengan tahun 2020 memang masih belum bisa dituntaskan. Menurutnya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut Kemenkopolhukam perlu mendengarkan argumen dari masing-masing pihak secara terpisah. “Pada saat itulah kami akan mengumpulkan para pihak itu untuk merundingkan hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut,” tandasnya.
Sementara itu Surya berharap ada penyelesaian yang lebih terstruktur karena bila berbicara soal konflik agraria sebagai sebuah masalah hukum adalah hal cukup serius. Menurutnya, proses penyelesaian konflik agraria tidak bisa hanya berpegang pada aspek legalitas hukum saja. Lebih lanjut, ia menghubungkan konflik agraria sebagai bagian dari reformasi agraria sehingga penyelesaian masalahnya tidak hanya terpaku pada penyelesaian hukum belaka. “Tinggal bagaimana kita upayakan strateginya karena kita ingin setelahnya ada kepastian hukum,” tegasnya.
Sebanding dengan Surya, Dewi mengungkapkan bahwa perspektif penyelesaian konflik agraria yang sifatnya legalistik hukum itu sangat berbahaya karena itulah yang menyebabkan terjadinya penggusuran tanah rakyat. Menurutnya pelibatan seluruh kementerian dalam rangka penyelesaian konflik agraria tentu harus konkret dan diselesaikan secara utuh serta berdasarkan prinsip keadilan sosial. “Kalau berdasarkan prinsip keadilan sosial maka kita tidak berbicara soal legalistik hukum tapi berbicara soal politik hukum agraria dan kesejarahan tata kuasanya,” tandasnya.
Penulis: Akbar Bagus Nugroho
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna