Rabu malam (13-01), Social Movement Institute bekerjasama dengan UMY Press mengadakan bedah buku berjudul “Zaman Otoriter: Corona, Oligarki, dan Orang Miskin”. Bedah buku ini menghadirkan tiga pembicara yaitu Penulis Buku, Eko Prasetyo; Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati; dan Pendiri LaporCOVID-19, Ahmad Arief. Bedah buku ini dimoderatori oleh Viola Nada Hafilda, selaku perwakilan dari panitia penyelenggara dan diselenggarakan secara langsung melalui platform aplikasi Zoom Meeting.
Dalam paparan pembukanya, Eko Prasetyo, atau kerap disapa Eko, menjelaskan mengenai bagaimana saat ini Indonesia memasuki zaman otoriter. Zaman yang kemudian disebut sebagai New Orba oleh Eko, merupakan hasil dari perkembangan beberapa tahun belakangan. “Ciri-ciri New Orba di antaranya adalah meluasnya praktik kekerasan, kemerosotan hak kebebasan berpendapat, munculnya permasalahan Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) secara masif, partai politik yang semakin personal, dan orientasi ekonomi yang eksploitatif,” jelas Eko.
Eko melanjutkan bahwa kemunculan New Orba disebabkan oleh kegagalan Indonesia dalam menuntaskan reformasi 1998. Ia menyatakan bahwa reformasi gagal memutus mata rantai dan sistem yang ada pada Orde Baru, hal tersebut terlihat dengan formasi kepemimpinan pemerintahan saat ini yang diisi oleh politikus “lulusan” Orde Baru.
Menurut Eko, pandemi juga memperparah praktik-praktik Orde Baru. Ia menyatakan bahwa kebijakan penanganan pandemi terlalu fokus pada penguatan ekonomi dan mengesampingkan kewajiban seperti pemenuhan hak-hak kesejahteraan masyarakat. Pandemi juga memunculkan peluang kebijakan keamanan ala Orde Baru. “Ada banyak kebijakan yang bermaksud untuk memasung hak dan pembatasan kebebasan, bahkan di lingkungan kampus orang makin takut untuk melakukan kritik hari-hari ini,” tandas Eko.
Senada dengan Eko, Asfinawati menambahkan bahwa Pemerintahan Indonesia saat ini dapat dikatakan identik dengan pemerintahan Orde Baru. Salah satu buktinya dapat dilihat dalam penegakan hukum mengenai hoax. Lebih lanjut, Asfinawati melihat bahwa penanganan persebaran hoax dilakukan dengan semena-mena. Hal tersebut tercermin dalam mudahnya pemidanaan masyarakat sipil terkait dengan penyebaran hoax.
Sementara itu, tambahnya, penegakan hukum tumpul apabila pemerintah yang melakukan kesalahan. “Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pernah menyatakan bahwa berita mengenai klorokuin dapat dijadikan obat COVID-19 adalah hoax, tetapi ketika Presiden Jokowi menyatakan klorokuin dapat dijadikan obat COVID-19, Kemenkominfo meralat pernyataan pertama mereka mengenai klorokuin tersebut,” tandas Asfinawati.
Asfinawati kemudian menyampaikan kritik tegas bahwa Pemerintah saat ini memiliki karakteristik Orde Baru yang bahkan lebih parah ketimbang Orde Baru zaman Soeharto. Menurutnya, penguasaan teknologi oleh pemerintah membuatnya menjadi semakin ganas. “Pemerintah saat ini mampu melakukan kontra narasi terhadap isu-isu yang bertentangan dengan kemauannya, mempengaruhi partai oposisi, melakukan serangan dan ancaman terhadap akun-akun yang mengganggu kepentingannya,” pungkas Asfinawati.
Sebagai penutup, Ahmad menyatakan bahwa melalui buku ini, pembaca dapat merenungkan dan menyingkap bagaimana bentuk pemerintahan sekarang. “Pandemi telah membuka wajah asli dari kekuasaan yang sangat erat kaitannya dengan pokok permasalah Orde Baru,” ujar Ahmad.
Ahmad juga menambahkan bahwa pandemi telah menyingkap keburukan dan kecenderungan awal kekuasaan saat ini. Menurutnya, hal tersebut tercermin dengan penanganan pandemi yang bukan berusaha untuk mengendalikan wabah, melainkan pengaturan penyebaran data dan statistik wabah itu sendiri. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Pemerintah sering kali memberikan informasi yang kemudian menimbulkan kerancuan di masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai kambing hitam dalam proses penanganan Pandemi COVID-19 untuk menutupi kebobrokan kebijakannya.
Penulis: Abiyyu Genta Rijadianto
Penyunting: Naufal Ridhwan Aly
Fotografer: Winda Hapsari Indrawati