Desakan atas pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih terus digaungkan berbagai pihak. Salah satu bentuk desakan pengesahan RUU PKS dilakukan oleh The Body Shop (TBS) Indonesia dengan menyelenggarakan seminar daring berjudul âSemua Peduli, Semua Terlindungi, Sahkan RUU PKS #TBSFightForSisterhoodâ pada Rabu (27-01).
Seminar daring yang diselenggarakan melalui Zoom Meeting ini menghadirkan empat pembicara. Pertama, Yulianti Muthmainnah, Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta. Kedua, Wawan Suwandi, humas Yayasan Pulih. Ketiga, Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis pejuang kesetaraan gender. Keempat, Ratu Ommaya, Humas dan Manajer Komunitas The Body Shop Indonesia.Â
Yulianti menyatakan, tingginya kekerasan seksual di Indonesia disebabkan oleh anggapan masyarakat bahwa kasus kekerasan seksual bukan hal yang penting. Menurut Yulianti, isu kekerasan seksual masih mengalami kekosongan hukum di tingkat nasional. Dia menambahkan, belum ada regulasi yang mengatur mengenai penjelasan bentuk kasus maupun pengelompokkan penyintas kekerasan seksual. âHendaknya kasus kekerasan seksual dipandang sebagai kasus bersama, karena setiap orang berisiko menjadi pelaku dan penyintas kekerasan seksual,â ujarnya.
Di lain sisi, Kalis menjelaskan kekerasan dan pelecehan seksual juga terjadi melalui media sosial. Kalis mengatakan, bentuk kejahatan seksual tersebut dapat berupa komentar-komentar bersifat melecehkan. Namun, yang menurut Kalis lebih memprihatinkan, komentar-komentar tersebut dianggap wajar. âKelumrahan ini merupakan dampak dari normalisasi peran dan diskriminasi gender tradisional yang melekat di masyarakat.â paparnya. Â
Senada dengan Kalis, Wawan menuturkan bahwa kekerasan seksual terjadi karena pelaku, yang mayoritas laki-laki, didukung secara psikologis dan sosial untuk mengklaim kuasa atas tubuh perempuan. Wawan menambahkan, situasi ini terjadi karena pengaruh dari budaya patriarki di sebuah keluarga yang memicu tumbuhnya maskulinitas beracun. Dia menerangkan, dalam konteks maskulinitas beracun, laki-laki akan menganggap wajar dan bangga ketika mampu mengganggu perempuan. âApabila dibiarkan, tentu situasi ini akan merugikan orang lain dan laki-laki itu sendiri,â tuturnya.
âSaya sebagai penyintas kekerasan seksual merasa tidak memiliki perangkat hukum yang melindungi saya,â ujar Kartika Jahja, salah satu penyintas kekerasan seksual. Perempuan yang merupakan penyanyi dan aktivis tentang penyintas kekerasan seksual ini menyayangkan kondisi di Indonesia, sebab penyintas kekerasan seksual sering kali lebih disalahkan dan menerima stigma-stigma buruk dari masyarakat. Menurutnya, situasi tersebut membuat para penyintas takut dan memutuskan untuk tidak melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami sehingga menciptakan sebuah trauma dan depresi yang mendalam.Â
Kondisi serupa juga dialami beberapa pekerja TBS Indonesia. Ratu menjelaskan, sejumlah pekerja TBS mengalami kekerasan seksual ketika berada di toko maupun setelah pulang bekerja dari mall. Dia pun menekankan pentingnya edukasi tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual. “Apalagi sekarang banyak berita palsu yang menimbulkan bias mengenai isu kekerasan seksual,” kata Ratu.
Sejalan dengan Ratu, Kalis mengatakan pentingnya edukasi dini tentang pengetahuan seks guna mengurangi tingkat kekerasan seksual di Indonesia. Menurutnya, sudah seharusnya pemerintah segera mengesahkan RUU PKS. “Saya menilai RUU PKS mampu memberikan pengajaran tentang pendidikan seks yang sering dianggap tabu di Indonesia,â imbuhnya.
Penulis: Naomy A. Nugraheni
Penyunting: Nadia Intan F.
Fotografer : Fairuz Azzura Salma