Rumah Kepala Dusun Grogol 1 Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul, Agung Waluyo penuh belasan warga. Agung mengungkapkan penolakan terhadap rencana pendirian Gereja Kristen Jawa (GKJ) Klasis pada Sabtu, 14 November 2020.
Ia menuduh pihak GKJ Klasis tidak menghargai warga yang memiliki batas tanah dengan lahan yang akan menjadi kantor. Dia juga menyebut GKJ Klasis tidak transparan soal rencana pendirian kantor. “Dalam proses pengurusan izin mendirikan bangunan secara sembunyi-sembunyi atau tidak transparan,” kata Agung.
Belasan warga itu juga menuding media massa melabeli dusun tersebut intoleran karena memberitakan penolakan pembangunan Kantor GKJ Klasis. Aksi penolakan tersebut juga dijadikan alasan oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul untuk tidak menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Bagian keamanan warga Grogol, Suwargito punya pendapat yang sama dengan Agung. Dia menuduh GKJ Klasis hanya meminta tanda tangan persetujuan IMB kepada warga yang sudah tua, yaitu Jikem dan Sayem. Menurut Suwargito, keduanya berumur 70 tahunan dan memiliki keterbatasan untuk membaca sehingga tidak memahami tujuan penandatanganan. Itulah sebabnya warga Grogol 1 melayangkan surat pencabutan tanda tangan yang diberikan oleh Jikem, karena menganggap Jikem tidak memahami tujuan tanda tangan.
Suwargito menyatakan di Bejiharjo hanya tiga orang yang beragama Kristen. Oleh karena itu, ia menyarankan Kantor GKJ Klasis dibangun di tempat lain yang memiliki lebih banyak penduduk beragama Kristen. Dia bersikukuh warga Grogol 1 tetap menolak berdirinya kantor GKJ Klasis meski mereka telah sosialisasi ke sejumlah warga.
Agung kembali menolak dengan alasan kemenangan pihak GKJ Klasis di PTUN cacat hukum. Dia menuduh pihak GKJ Klasis melanggar Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Tahun 2006 Tentang Pendirian Tempat Ibadah.
Pendeta Christiyono dari GKJ Klasis mengungkapkan kekecewaannya. Sudah lima tahun pihak gereja memperjuangkan berdirinya kantor gereja tersebut. Tapi, harapan itu tak kunjung terwujud. Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul tak kunjung memberikan IMB meski gereja tersebut menang dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) melawan pemkab.
Menurut dia GKJ Klasis telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan IMB. Apa yang GKJ Klasis tempuh selama ini tidak melanggar undang-undang manapun, karena yang dibangun nantinya yaitu Kantor GKJ Klasis, bukan tempat ibadah. “Sudah ada keputusan dari PTUN, dan GKJ Klasis memenangkan peradilannya. Tapi, sampai sekarang IMB tetap belum diterbitkan dengan alasan masih ada penolakan dari masyarakat.” Kata Christiyono.
Christiyono membantah tudingan gereja tidak transparan dan kurang sosialisasi ke warga. Dia mengungkapkan bahwa pihak GKJ Klasis sudah melakukan dua kali upaya komunikasi dengan warga Grogol 1. Pertama, upaya tersebut didampingi oleh Esti Wijayati, anggota DPR RI dari PDIP. Tapi, masyarakat tidak menerima upaya tersebut. Kedua, pihak gereja telah berkomunikasi dengan Agung sebagai tokoh masyarakat setempat dan warga.
Christiyono, menyebutkan alasan warga Grogol 1 menolak pembangunan GKJ Klasis yang berubah-ubah. Semula warga beralasan menolak pendirian kantor gereja di wilayah tersebut karena mayoritas warga beragama Muslim.
Setelah muncul sejumlah pemberitaan, warga Grogol 1 merasa dipojokkan karena tudingan diskriminasi dan tindakan intoleran. “Mereka ingin menghapus kesalahan dengan melimpahkan kesalahan. Kami yang menjadi korban ini malah dituduh sebagai pelaku,” kata Christiyono.
Semula GKJ Klasis mendapat sambutan baik dari warga. Namun, proses peradilan di PTUN yang membuat pemkab tidak kunjung memberikan IMB menyulut penolakan. Christiyono mengatakan terjadi kekeliruan penyebutan nama ketua panitia pembangunan oleh pihak GKJ Klasis. Ketua panitia yang disebutkan mirip dengan nama salah satu warga Grogol 1.
Situasi itu memicu konflik pencatutan nama warga. Muncul intimidasi terhadap salah satu warga semenjak adanya kekeliruan tersebut, sehingga warga yang bersangkutan melaporkan ke Polda DIY dengan alasan pencemaran nama baik. “Jadi ada perubahan yang sangat drastis di masyarakat. Sejak saat itu sampai sekarang warga yang melapor ke polisi tidak berkomunikasi dengan dukuh,” kata Christiyono.
GKJ Klasis, kata dia saat ini sedang berupaya menjalin komunikasi dengan masyarakat setempat untuk menjelaskan duduk perkaranya. Dia menengarai penolakan warga terjadi karena campur tangan Front Jihad Islam (FJI) Yogyakarta. “Dari beberapa informasi, sebelum ada demo penolakan pembangunan GKJ Klasis, warga Grogol 1 menggelar doa bersama yang dihadiri oleh Ormas FJI,” kata Christiyono.
Pada 11 September 2016 terjadi demonstrasi penolakan pembangunan GKJ Klasis. Christiyono mendapat informasi campur tangan FJI dalam penolakan itu dari salah satu warga yang ada di Grogol. Balairung menghubungi Komandan FJI, Abdurrahman melalui sambungan telepon untuk mendapatkan konfirmasi. Abdurrahman menyatakan tidak tahu menahu tentang persoalan itu. “Silakan hubungi FJI yang ada di Gunung Kidul,” kata Abdurrahman.
Christiyono menyebutkan keberadaan kantor GKJ Klasis penting untuk pelayanan gereja-gereja anggota Klasis atau umat Kristen, misalnya program pemberdayaan atau pembangunan masyarakat yang disebut dengan Community Development. Program tersebut untuk mendukung kegiatan se-kabupaten.
Christiyono yang kecewa dengan pemkab menengarai ada sekelompok orang yang terhubung dengan organisasi masyarakat yang menolak kantor GKJ Klasis. “Beberapa kali ada perangkat kecamatan yang menyarankan pembangunan kantor GKJ Klasis ini pindah dari Grogol ke tempat yang memiliki banyak komunitas Kristen. Apa kepentingan dia meminta pihak GKJ Klasis untuk pindah?” kata Christiyono.
Saran perangkat kecamatan itu, kata dia justru membuat warga beragama Kristen mengelompok di suatu wilayah tertentu. Dampaknya memicu terjadinya segregasi di tengah masyarakat hingga praktek intoleransi.
GKJ Klasis yang didampingi oleh Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika dan LBH Yogyakarta menang gugatan di PTUN karena telah memenuhi syarat administrasi pendirian kantor gereja. LBH Yogyakarta juga sudah mengajukan surat permohonan audiensi ke DPRD Kabupaten Gunung Kidul dan mendapat jawaban bahwa audiensi baru bisa dilakukan setelah pemilihan kepala daerah.
Jika permasalahan tak kunjung selesai, Christiyono menyebutkan pihak GKJ Klasis akan memberi kuasa kepada LBH Yogyakarta agar meminta eksekusi paksa oleh PTUN. Selain itu, GKJ akan mengadu ke kantor staf presiden.
Christiyono berharap pemerintah punya ketegasan dan mematuhi putusan PTUN. “Pemerintah itu seharusnya punya wibawa, tidak diombang-ambingkan oleh masyarakat atau ormas-ormas tertentu, pemerintah itu harus hadir,” kata dia.
Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi DIY, Baskara Aji menyebutkan pendekatan budaya lebih efektif untuk menangani praktek intoleransi. Yogyakarta punya banyak kultur yang masyarakatnya berasal dari berbagai ras, daerah, suku, dan agama. “Tidak ada asap kalau tidak ada api. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, maupun kelompok atau komunitas bertanggung jawab untuk mengatasi persoalan ini,” kata dia dalam diskusi daring Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta berjudul “Jurnalis Mendengar Penyintas dan Minoritas Kebebasan Beragama dan berkeyakinan pada 10 Oktober 2020.
Penulis: Deatry Kharisma Karim
Penyunting: Shinta Maharani (Ketua AJI Yogyakarta)
Ilustrator: Stanislaus Axel Paskalis
Tulisan ini merupakan hasil workshop dan fellowship “Menebar Narasi Perdamaian Kebebasan dan Berkeyakinan” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dari September sampai November 2020.
1 komentar
terimakasih artikel nya sangat menarik