Meskipun peringatan Hari AIDS Sedunia akan menginjak tahun yang ke-32, diskriminasi dan stigma sosial yang dilayangkan kepada para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) masih kental. Padahal, ODHA telah membuktikan diri dengan memberikan kontribusi nyata.
Beberapa kelompok masyarakat di Indonesia masih terjerat dalam diskriminasi yang muncul sebagai akibat dari intimidasi dan stigma negatif dari lingkungan sosial. Salah satu kelompok yang rentan terjerat ini berasal dari kelompok ODHA. Sebelum membahas lebih lanjut perihal diskriminasi terhadap ODHA, penting untuk memahami penyakit HIV/AIDS. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan patogen yang menyerang sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan mendestruksi sel limfosit CD4 atau sel-T. Tahap akhir dari infeksi HIV disebut Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang ditandai dengan kanker, infeksi, atau penyakit-penyakit kronis jangka panjang lainnya.
Proses transmisi HIV akan terjadi jika ada kontak langsung dengan cairan tubuh yang mengandung HIV. Cairan tubuh yang dimaksud sangat spesifik, meliputi darah, air mani, cairan vagina, cairan anus, dan ASI. Cairan tubuh lain, seperti keringat, urin, feses, dan air liur tidak dapat menjadi agen penularan HIV. Peningkatan risiko penularan HIV hanya melalui aktivitas tertentu, seperti hubungan seksual, penggunaan jarum suntik bersama, transfusi darah, serta pemberian ASI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2020) mengungkapkan bahwa dari data yang dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan SIHA (Sistem Informasi HIV/AIDS), kelompok usia yang paling banyak mengidap HIV/AIDS adalah kelompok usia produktif, yaitu usia 25-49 tahun. Karena belum ada obat untuk menyembuhkan HIV/AIDS secara tuntas, ODHA harus mengonsumsi Antiretroviral Therapy (ART) seumur hidup untuk mencegah pengembangbiakkan HIV sehingga sel imun tubuh dapat bertahan lebih lama.
HIV/AIDS menjadi salah satu epidemi global paling mematikan pada tahun 1980-an karena menyebabkan kematian ribuan orang. Maka dari itu, sejak tahun 1988, WHO menetapkan tanggal 1 Desember sebagai Hari AIDS Sedunia. Hal ini menjadi kesempatan penting untuk menggalang solidaritas melawan HIV/AIDS, meningkatkan kesadaran masyarakat perihal HIV/AIDS, mendukung ODHA yang sedang berjuang, serta mengenang perjuangan ODHA. Peringatan ini juga dimanfaatkan untuk menghilangkan diskriminasi masyarakat awam terhadap ODHA. Namun nyatanya setelah hampir 32 tahun peringatan Hari AIDS Sedunia, diskriminasi dan stigma sosial masih banyak terjadi dalam masyarakat Indonesia.
Diskriminasi dan stigma masyarakat terhadap ODHA
ODHA tidak hanya mendapatkan masalah dari segi kesehatan fisiknya saja, tetapi juga mendapatkan masalah dari segi kesehatan mental. Hal ini berkaitan dengan kasus ODHA yang sering mendapatkan diskriminasi dari masyarakat. Diskriminasi merupakan suatu perbuatan, sikap, dan perilaku yang membeda-bedakan atau berperilaku tidak adil kepada suatu individu atau kelompok. Dalam kasus ini, penderita HIV/AIDS, atau yang disebut juga ODHA, sering mendapatkan diskriminasi dari lingkungan sekitar, seperti tetangga, teman, bahkan keluarga dan petugas kesehatan. Bentuk diskriminasi yang diterima oleh ODHA beragam, mulai dari dikucilkan dari pergaulan, tidak diterima oleh keluarga, pengasingan dari masyarakat, hingga pelarangan atlet ODHA ikut serta dalam kompetensi (Humaida & Aotari, 2019).
Tidak hanya mendapatkan diskriminasi, ODHA juga sering mendapatkan stigma sosial dari masyarakat. Stigma sosial adalah suatu tindakan seseorang yang tidak menerima suatu kelompok karena menganggap kelompok tersebut telah melawan norma yang ada. Menurut pendapat Goffman (1963) seperti dikutip dalam Hati, Shaluhiyah, dan Suryoputro (2017), masyarakat telah menganggap bahwa para ODHA sebagai pelanggar norma sosial masyarakat. Masyarakat mengasumsikan ODHA sebagai bagian dari masyarakat yang memalukan dan harus dijauhi karena memiliki suatu penyakit. Tak jarang pula masyarakat menganggap ODHA sebagai musuh masyarakat yang tidak layak untuk mempunyai kehidupan.
Menurut pendapat Sarlito Wirawan, seorang psikolog dan penggiat Yayasan AIDS Indonesia, stigma itu muncul karena pengidap HIV/AIDS dianggap sebagai hal negatif (Mathari, 2018). HIV/AIDS dicap sebagai salah satu penyakit dari perempuan nakal, kaum gay, waria, pekerja seks, penyakit orang kulit hitam, hingga penyakit kotor yang akan menular pada orang-orang di sekitarnya. Kelompok ODHA diasosiasikan dengan kumpulan masyarakat anomali yang harus dinistakan. Pengidap HIV/AIDS dicap sebagai faktor penghambat pembangunan bangsa dan penyebab kesejahteraan masyarakat yang menurun (Aotari, 2017, dikutip dalam Humaida & Aotari, 2019).
Terdapat banyak contoh nyata yang menunjukkan tindakan diskriminasi dan stigma sosial terhadap ODHA. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kebanyakan ODHA merupakan orang di kelompok usia produktif. Di usia yang produktif ini, orang-orang dituntut untuk bekerja, tak terkecuali dengan ODHA. ODHA yang bekerja rentan mendapatkan diskriminasi dan stigma dari lingkungan tempatnya bekerja. Contoh tindakan diskriminasi yang sering dijumpai yaitu rekan kerja enggan untuk sekadar duduk bersebelahan, berjabat tangan, atau bahkan mengobrol.
ODHA sering dipersulit untuk mendapatkan kenaikan jabatan. Ria Pangayow dari ARV Community Support IAC, mengungkapkan terdapat ODHA yang diberhentikan dari tempat kerjanya. Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2004 Pasal 2 Ayat (2) Huruf (c) tentang Pencegahan dan Penanganan HIV/AIDS di Tempat Kerja yang menyatakan, “pengusaha wajib memberikan perlindungan kepada Pekerja/Buruh Dengan HIV/AIDS dari tindak dan perlakuan diskriminatif”. Meskipun sudah terdapat regulasi yang jelas, tetapi masih ada saja pihak-pihak perusahaan yang acuh dan tidak mematuhi regulasi tersebut.
Sementara itu, terdapat pula beberapa contoh diskriminasi terhadap ODHA di lingkungan masyarakat (Humaida & Aotari, 2019). Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengumpulkan kasus-kasus diskriminasi dan stigma sosial terhadap ODHA. Terdapat kasus di yang terjadi di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, di mana masyarakat sekitar menolak untuk memandikan jenazah ODHA karena khawatir terjadi penularan saat memandikan jenazahnya.
Kemudian, ada salah satu kasus diskriminasi yang terjadi di Provinsi Papua pada tahun 2018. Para calon atlet yang akan mengikuti perlombaan Pekan Olahraga Nasional (PON) harus melakukan serangkaian tes kesehatan, yang mana salah satu indikator untuk lolos seleksi adalah terbebas dari virus HIV. Hasil tes kesehatan menunjukan beberapa calon atlet dinyatakan terinfeksi virus HIV dan harus mengakhiri harapannya untuk berkompetisi di Pekan Olahraga Nasional (PON) tersebut. Padahal, atlet pengidap HIV dapat berolahraga dengan normal asalkan patuh mengonsumsi obat ARV (Antiretroviral).
Selain itu, ODHA juga sering mengalami pelanggaran hak atas privasi. Pelanggaran yang menempati posisi paling atas yaitu pemeriksaan HIV tanpa persetujuan pasien (Humaida & Aotari, 2019). Tindakan ini melanggar salah satu poin dalam pedoman PITC (Provider Initiated Testing and Counseling) WHO. PITC mengedepankan asas “3C” yaitu Informed Consent (mendapatkan persetujuan pasien), Counseling (mendapatkan konseling pasca tes yang memadai), dan Confidentiality (menjaga kerahasiaan informasi pasien) (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Dengan demikian, pemeriksaan HIV tanpa persetujuan pasien merupakan pelanggaran asas Informed Consent.
Stigma dan perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh masyarakat membuat ODHA menjadi tidak dapat menikmati hak asasi manusianya secara utuh. ODHA menjadi merasa malu, diasingkan, bahkan dianggap rendah oleh masyarakat. Ketika mendapatkan tekanan dari masyarakat dan petugas kesehatan, ODHA cenderung tertutup dengan penyakitnya dan malu untuk memeriksakan kesehatannya. Mereka menjadi kesulitan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dan memadai. Hal ini membuat risiko tingkat kematian dan penularan HIV/AIDS di masyarakat cukup tinggi.
Semua stigma dan diskriminasi yang diberikan kepada ODHA ini merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat masih minim pengetahuan terhadap penyakit HIV/AIDS. Masyarakat masih mengira bahwa penyakit AIDS ini dapat menular dengan sentuhan atau hanya berdekatan dengan penderitanya saja. Pengetahuan yang minim ini menyebabkan kesalahpahaman antara masyarakat dengan ODHA.
Kontribusi ODHA bagi Indonesia
Diskriminasi terhadap ODHA seolah-olah mengabaikan fakta bahwa ODHA juga mampu memberikan kontribusi dalam masyarakat. HIV/AIDS memang menyebabkan beberapa perubahan yang signifikan, seperti badan menjadi lemas, dan sebagainya. Namun, bukan berarti ODHA lemah dan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Telah banyak contoh ODHA yang berprestasi sehingga dapat mematahkan stigma-stigma negatif HIV/AIDS.
Teladan ODHA yang pertama adalah Eva Dewi Rahmadiani. Meski memiliki HIV dalam tubuhnya, Eva menunjukkan bahwa dirinya mampu melakukan olahraga berat, aktivitas yang dianggap tidak mampu dilakukan oleh ODHA. Wanita ini aktif olahraga tinju, lari marathon, dan sepak bola. Bukan sekadar aktif, Eva juga mencetak prestasi-prestasi di bidang ini. Eva tercatat pernah mewakili Indonesia dalam festival sepak bola di Lyon Perancis 2016, salah satu rangkaian acara pembukaan Piala Eropa. Eva juga menjadi satu-satunya perempuan yang tergabung dalam timnas Indonesia untuk Homeless World Cup 2018 di Meksiko. Di bidang lari marathon, Eva berhasil mencapai garis finish Jakarta Marathon 2018. Melalui aktivitas olahraganya, Eva Dewi membuktikan kepada masyarakat awam bahwa ODHA tidak lemah. Olahraga sepak bola yang rawan kontak tubuh antar pemain tidak serta merta menjadikan Eva penular HIV/AIDS sebab penyakit ini memang tidak menular semudah itu.
Bukti kontribusi ODHA dalam masyarakat juga ditunjukkan oleh Wijianto ‘Gareng’, seorang ODHA relawan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) Pasuruan yang menerima piagam penghargaan dari Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (LEPRID) Semarang pada September 2020. Beliau telah mengedukasi masyarakat tentang HIV/AIDS di 110 kabupaten/kota di 30 provinsi dengan berjalan kaki selama dua tahun, sebuah kegiatan yang belum tentu dapat dilakukan oleh orang tanpa HIV/AIDS. Ada juga Endang Jamaludin, pengidap HIV yang aktif di kegiatan lomba lari. Menurutnya, selama patuh mengkonsumsi obat ARV, ODHA dapat melakukan aktivitas secara normal. Selain itu, prestasi juga datang dari ODHA Tri Eklas Tesa Sampurno yang berhasil mewakili tim nasional di ajang Homeless World Cup 2011, Paris. Dalam Jakarta Marathon 2018, Tesa berhasil mencapai garis akhir setelah melewati lintasan sepanjang 42 km.
Kesimpulan
Bukti kontribusi ODHA tidak menjadi satu-satunya alasan irasional tindakan diskriminasi masyarakat awam. Dengan atau tanpa adanya kontribusi, ODHA juga merupakan manusia yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari lingkungan di sekitarnya. Menjerat ODHA dalam lingkungan yang diskriminatif sangat irasional. Memahami bahwa HIV AIDS tidak menular selain melalui transmisi cairan darah, menjadi alasan tambahan untuk tidak menjauhkan ODHA dari lingkungan yang suportif.
Diskriminasi dan stigma terhadap ODHA harus segera dihentikan karena setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Tindakan diskriminasi tidak akan pernah dibenarkan, begitu pula stigmatisasi. Kasus tindakan diskriminatif terhadap ODHA dapat membuat ODHA kehilangan kesempatan untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan yang layak.
Dengan hilangnya sikap diskriminatif dan stigma terhadap ODHA, diharapkan akan terciptanya lingkungan sosial yang lebih ramah dan terbuka terhadap ODHA. Dengan demikian, ODHA dapat lebih leluasa menyalurkan kontribusinya kepada masyarakat.
Penulis: Ericka Mega, Rivaldy Arief Nugraha (Magang)
Penyunting: Irma Hidayah
Ilustrator: Rona Iffah (Magang)
Referensi
Haryanti, T., & Wartini, W. (2019). Perception of People Living with HIV/AIDS on Social Stigma of HIV/AIDS in Sukoharjo District. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 13(3), 132-137. doi: :10.21109/kesmas.v13i3.1752
Hati, K., Shaluhiyah, Z., & Suryoputro. (2017). Stigma Masyarakat Terhadap ODHA Di Kota Kupang Provinsi NTT. Jurnal Promosi Promosi Kesehatan Indonesia, 12(1), 62-77. doi: https://doi.org/10.14710/jpki.12.1.62-77
Humaida, A., & Aotari, F. (2019). Ketidakadilan HIV: Krisis yang Belum Usai. Jakarta Selatan: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Tes & Konseling HIV Terintegrasi di Sarana Kesehatan/ PITC: Pedoman Penerapan. Diakses dari https://www.slideshare.net/irenesusilo18/juknis-hiv-pedoman-pitc
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Laporan Perkembangan HIV AIDS & Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan II Tahun 2020. Diakses dari https://siha.kemkes.go.id/portal
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Pasal 2 Ayat 2, (2004). Diakses dari https://data.unaids.org/topics/partnership-menus/indonesia_hiv-workplace_id.pdf
Maharani, I. (2018). Cap Sosial Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA): Studi Sosiologi Kualitatif tentang Stigma. Diakses dari Repository Universitas Airlangga (http://repository.unair.ac.id/id/eprint/72470)
Matahari, R. (2018). Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam. Yogyakarta: Mojok