![](https://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2020/11/image_6483441.jpg)
©Inas/Bal
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa kita hanya memiliki batas waktu maksimal 12 tahun untuk mencegah terjadinya bencana global. Pernyataan ini bukanlah tanpa dasar mengingat peningkatan suhu yang saat ini terjadi sudah mencapai 1⁰C di atas rata-rata pra industri. Sayangnya, isu ini hanya dipandang sebelah mata oleh mayoritas masyarakat dan pemerintah.
Menanggapi isu ini, BALAIRUNG mewawancarai Novita Indri, pegiat lingkungan dan koordinator sejumlah aksi kampanye anti-krisis iklim di Indonesia yang juga baru menerbitkan Executive Summary tentang analisis kebijakan iklim Indonesia di bawah naungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Dalam wawancara ini, Novita menjelaskan tentang loyonya kebijakan dan komitmen pemerintah dalam Perjanjian Paris dan tantangan aksi anti-krisis iklim di Indonesia dalam pandemi COVID-19.
Bagaimana pandangan Anda tentang krisis iklim secara global?
Krisis iklim yang telah terjadi merupakan masalah kemanusiaan dan sudah selayaknya menjadi tanggung jawab semua orang. Fenomena seperti banjir, kekeringan, La Nina, El Nino serta pergeseran musim erat kaitannya dengan krisis iklim karena frekuensi dan intensitasnya sudah tidak dapat diperkirakan. Inilah saatnya kita sadar terkait isu ini dan berusaha memperlambat krisis iklim dengan berkontribusi melalui hal-hal kecil seperti mengubah pola makan dan mengurangi penggunaan plastik serta kendaraan pribadi.
Perjanjian Paris yang dilandaskan dari penelitian IPCC tentang perubahan iklim sudah efektif berlaku sejak 2016 dan Indonesia mengeluarkan Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai bentuk kontribusi. Apa itu Perjanjian Paris dan NDC lalu apa dampaknya secara global sejauh ini?
Perjanjian Paris dikeluarkan di tahun 2015 untuk menahan laju emisi dan mencegah temperatur global mencapai 2⁰C dengan batas maksimal di bawah 1,5⁰C. Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris di tahun 2016 dan menetapkan NDC pertama di tahun tersebut dengan memberikan target penurunan emisi sebesar 29% di tahun 2030 dan 41% di tahun yang sama apabila ada kerjasama internasional, diikuti aksi mitigasi dan adaptasi untuk mencapainya. Namun, saya tidak tahu kontribusinya secara global karena minimnya informasi perihal perkembangan NDC.
Apakah kebijakan-kebijakan pemerintah sejauh ini sejalan dengan NDC yang dikeluarkan Indonesia?
Target Indonesia sebetulnya cukup jelas dibandingkan negara lain. Hanya saja implementasinya sangat sedikit dan banyak diantaranya yang tidak sinkron. Bahkan, emisi tahun 2016-2018 cenderung meningkat. Selain itu, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2018—2029 seakan-akan menghalangi tercapainya target penurunan emisi NDC karena menyebutkan bahwa porsi penggunaan batu bara untuk tenaga listrik adalah 54,8%. Padahal, energi terhadap transportasi dan kelistrikan adalah salah satu sektor yang berkontribusi paling besar terhadap Gas Rumah Kaca (GRK). Selain itu, terdapat kesimpangsiuran kebijakan antar instansi seperti Bappenas yang mengeluarkan Low Carbon Development Indonesia (LCDI) di tahun 2018 terkait penurunan emisi yang dinilai lebih lengkap dibandingkan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam NDC Indonesia, Indonesia memiliki target pengurangan emisi sebesar 29% (unconditional) dengan upaya sendiri dan menjadi 41% (conditional) dengan kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (Business as Usual) di tahun 2030. Apakah Indonesia dapat mencapai target pengurangan emisi ini?
Saya tidak optimis bahwa Indonesia bisa mencapai target itu mengingat Indonesia hanya memiliki waktu 10 tahun. Berdasarkan laporan inventaris GRK pada 2017 dan 2018, yang dikeluarkan KLHK, emisi Indonesia justru cenderung naik. Indonesia sendiri sudah cukup sering melakukan kerja sama internasional, seperti yang terakhir kali dilakukan dengan Norwegia. KLHK mengklaim bahwa kerjasama ini merupakan salah satu wujud usaha untuk mencapai target emisi Indonesia. Tetapi, saya pribadi masih sangat pesimis mengenai hal ini karena banyak kebijakan turunan, baik dari KLHK atau kementerian, yang tidak selaras dalam rangka pencapaian target.
Semenjak laporan IPCC tahun 2018, muncul gerakan-gerakan pemuda seperti Greta Thunberg; Fridays for Future di Eropa dan Sunrise Movement di Amerika Serikat untuk meningkatkan tekanan publik terhadap pemerintah agar meningkatkan ambisi untuk menghadapi isu krisis iklim. Apakah Indonesia juga memiliki gerakan serupa sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan iklim di Indonesia?
Indonesia sudah memiliki gerakan serupa, seperti gerakan yang bernama “Jeda untuk Iklim”. Gerakan ini mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari semakin banyaknya masyarakat yang mulai sadar dan peduli terhadap dampak perubahan iklim. Hanya saja, pemerintah dan KLHK masih sulit diajak berdiskusi dan belum bisa memberikan pernyataan langsung terkait kondisi iklim Indonesia saat ini.
Apakah aksi climate change yang digalakkan selama ini mengusung aspirasi kebijakan baru untuk NDC Indonesia?
Aksi climate change yang selama ini dilakukan tidak pernah meminta pemerintah untuk mengambil atau membuat kebijakan tertentu. Aksi ini lebih berfokus sebagai bentuk kekecewaan terhadap ketidakseriusan pemerintah dalam menghadapi isu perubahan iklim. Soal pengambilan kebijakan, itu urusan pemerintah karena kita tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas di sana. Namun, yang kita inginkan adalah suara kita bisa masuk ke dalam kebijakan pemerintah karena selama ini pemerintah hanya mengedepankan beberapa sektor, seperti sosial, ekonomi, dan mengesampingkan sektor lingkungan.
Secara global dan nasional, aksi lingkungan dan anti-krisis iklim sekarang menghadapi tantangan besar: Pandemi COVID-19. Apa upaya yang dapat dilakukan agar aksi ini dapat tetap eksis dalam menyuarakan keresahan di masa pandemi ini?
Untuk mengatasi hal ini kami melakukan pengalihan aksi melalui platform digital. Aksi digital ini memang tidak semasif dan sekuat aksi lapangan, namun hal ini membuat kami lebih kreatif dalam melakukan perancangan kegiatan. Adapun contoh konkret dari aksi digital ini bisa dilihat di Extinction Rebellion dimana terdapat program “Tua Muda Petuah Kita”. Dalam program ini kami mempertemukan dua generasi yang berbeda, generasi tua dan muda, melalui ekspresi seni visual dan audio. Selain itu, di bulan September lalu, saya mengkoordinasi kegiatan “Jeda untuk Iklim Digital”. Dalam kegiatan ini kami membawakan suara-suara yang “tidak terdengar”, seperti teman kita di Kinipan yang tanah adatnya terusik dan Kalimantan yang kini dihadapkan dengan bahaya lubang batu bara dimana beberapa waktu lalu kembali menelan korban. Dari sini gambaran tentang Indonesia yang tidak baik-baik saja terlihat dengan jelas.
Menurut Presentation Deck-Analisis Kebijakan Iklim Indonesia yang Anda dan Walhi publikasikan, terdapat gagasan tentang Keadilan Antar-Generasi dari Weiss. Implementasi gagasan itu dijadikan dalam tiga poin, yaitu perlindungan opsi, akses, dan kualitas. Bagaimana gagasan itu dapat menjadi solusi dan fundamental kebijakan pemerintah Indonesia dalam berkomitmen dalam Perjanjian Paris? Apakah kebijakan NDC sendiri sudah melingkupi salah satu atau bahkan ketiga hal tersebut?
Saat kami melakukan desk study ini, kami mengkaji banyak kebijakan iklim dan lingkungan Indonesia. Ternyata, kebijakan yang ada terlihat sangat mengedepankan ekonomi dan tidak memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menghadapi isu ini. Selain itu, tiga atau salah satu poin tentang keadilan antargenerasi juga sama sekali tidak masuk dalam NDC Indonesia.
Kami juga mengadakan paparan desk study dengan mengundang instansi pemerintah terkait. Awalnya pemerintah menyanggupi, namun ketika paparan akan segera dimulai, mereka tiba-tiba membatalkan begitu saja tanpa alasan yang jelas.
Lalu ketika membicarakan gagasan keadilan antagenerasi, hal ini bukan hanya untuk keadilan bagi masa depan, tetapi juga bagi masa sekarang dan masa lalu. Kerusakan di muka bumi sekarang ini terjadi karena tidak seriusnya kebijakan pemerintah generasi lalu. Generasi masa kini dan masa depan yang seharusnya dapat menikmati berbagai sumber daya bumi, kini harus berhadapan dengan kerusakan-kerusakan yang telah dan sekarang terjadi. Porsi dan keadilan lingkungan tidak didapatkan dengan adil.
Apa harapan Anda tentang masa depan aksi lingkungan dan krisis iklim di Indonesia?
Saya berharap semakin banyak teman-teman yang ikut membagikan keresahan dan informasi tentang urgensi krisis iklim karena sekecil apapun langkah kita akan tetap terhitung dan membawa kontribusi terhadap aksi seperti ini. Saya juga berharap berbagai kalangan turut peduli terhadap lingkungan dan peristiwa perubahan iklim, karena kita masih tinggal di bumi dan tetap harus ada yang bawelin pemerintah!
Penulis : Fauzi Ramadhan, Muhammad Alfimansyah, Verena Anindhita (Magang)
Penyunting : Anisa Azmi Nurrisky Apriliani
Ilustrator: Inas Alimaturrahmah (Magang)