WHO menyatakan bahwa dunia dalam kondisi darurat menghadapi infodemi. Di tengah ramai upaya melindungi diri dari bahaya virus, masyarakat juga berusaha melindungi diri dari disinformasi yang terus beredar. Namun, tak sedikit orang yang termakan berita simpang siur harus menanggung dampak bagi diri dan lingkungannya.
Pendahuluan
Dunia memasuki triwulan keempat menghadapi situasi baru hidup berdampingan dengan virus corona. Masyarakat kemudian mengadopsi kebiasaan baru guna bertahan dalam masa pandemi yang memengaruhi banyak sektor dalam kehidupan. Permasalahan baru, yaitu infodemi hadir seiring pemikiran masyarakat yang melebar dan mencoba melihat dari berbagai sisi hingga memutuskan keluar dari jalur mempercayai para pakar.
Keberadaan teori konspirasi kemudian merebak dalam berbagai bentuk dan mencoba mengalihkan kepercayaan masyarakat terhadap hasil penelitian para pakar yang telah teruji. Dalam situasi dunia yang terombang-ambing akibat keberadaan Covid-19, masyarakat justru terpecah dalam hal penerimaan informasi. Makin kuatnya bukti dari narasi matinya kepakaran akibat dari para penyebar pengaruh konspirasi yang mendapatkan angka interaksi tinggi dari masyarakat yang dirundung rasa penasaran.
Mengenal Apa Itu Konspirasi
Konspirasi sering kali dikaitkan dengan tujuan jahat yang tersembunyi. Goertzel (1994) menyatakan bahwa teori konspirasi merupakan penjelasan yang merujuk pada suatu kelompok yang bergerak secara tersembunyi dan bekerja secara rahasia untuk mewujudkan tujuan jahat. Pergerakan tersembunyi tersebut sering kali mengacu pada aktivitas luar biasa yang terjadi dalam lingkup kemasyarakatan.
Teori konspirasi meningkat dalam prevalensi periode kecemasan, ketidakpastian, dan kesulitan yang meluas. Konspirasi sering berupa jawaban dan penjelasan atas peristiwa berbahaya atau tragis yang kronologinya simpang siur untuk dimengerti publik. Konspirasi juga sering berupa teori pembahasan lain yang menolak kejadian yang telah diklarifikasi oleh para ahli. Pembahasan teori konspirasi biasanya sarat akan emosi dan sering kali lebih memuaskan daripada fakta yang terjadi sebenarnya. Standar pembuktian dalam teori konspirasi biasanya bersifat lemah tetapi kelangsungannya panjang karena didukung oleh bias psikologi dan rasa ketidakpuasan dalam masyarakat.
Pembahasan di dalam teori konspirasi biasanya mengupas mengenai suatu berita yang tengah hangat atau mengangkat hasil galian topik masa lampau. Berkembangnya teknologi kemudian mendukung teori konspirasi merebak di dunia maya. Dengan menjamurnya penyebaran paham teori konspirasi lewat media sosial yang mudah diakses akhirnya menambah angka interaksi dan kepercayaan masyarakat terhadap teori konspirasi (Reid, 2020).
Teori konspirasi acap kali ramai diperbincangkan mengalahkan pembahasan utama yang didasari fakta. Stahl dan Van Prooijen (2018) menyatakan bahwa skeptisisme dalam teori konspirasi merupakan kombinasi dari pemikiran analitik dan motivasi untuk menjadi rasional. Pemikiran analitik yang digunakan sebagai bukti pendukung berupa fakta yang terpelintir sesuai kepentingan penyebarnya. Pemelintiran fakta sebagai bukti pendukung tersebut dilakukan supaya teori bersifat rasional. Ketika bukti pendukung telah bersifat rasional, maka teori konspirasi yang disampaikan akan dapat diterima oleh para audiens. Teori konspirasi yang unggul dalam kepopuleran berkat mudah dipahami kemudian bersaing menantang penelitian dan musyawarah pakar.
Kaitan Influencer dengan Konspirasi
Perluasan teori konspirasi yang kemudian menjadi lebih diterima masyarakat tentu tak lepas dari jasa pemikir dan penyebarnya. Belakangan ini penggunaan istilah influencer menjadi hangat untuk menyebut mereka yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi orang banyak. Para influencer dengan kemampuan dan kekuatan sosial mampu mengubah pemikiran dan juga perilaku dari orang lain yang menjadi audiens mereka. Di antara mereka yang paling banyak menggunakan media sosial, terutama Twitter, adalah tokoh politik, jurnalis, selebriti dan aktor berpengaruh lainnya berpotensi memicu perhatian global (Gonzalez-Bailon, 2013).Â
Pengaruh influencer makin terlihat di tengah pandemi COVID-19. Pada bulan Februari 2020, Direktur Jenderal WHO, Ghebreyesus, menyatakan bahwa dalam menghadapi COVID-19 tidak hanya memerangi epidemi tetapi juga infodemi. Infodemi yang dimaksud oleh WHO adalah ahli teori konspirasi yang mendorong pada disinformasi. Dalam kondisi pandemi COVID-19, dunia kepakaran terus berusaha menerjemahkan situasi apa yang tengah dihadapi dunia. Mengenal hal baru tentu tidak mudah sehingga proses perilisan hasil penelitian seputar COVID-19 tentu dilakukan dengan perlahan dan hati-hati. Penelitian Institut Reuters menyatakan bahwa publikasi hasil penelitian mengenai COVID-19 yang lambat membuat masyarakat meragukan pemberitaan dari pakar dan pemerintah Hal tersebut terjadi karena sejauh ini pakar dan pemerintah dianggap tak lagi menjawab pertanyaan mereka. Dalam situasi ini, para teoritis konspirasi menunjukkan diri sebagai pembawa jawaban dari rasa ingin tahu masyarakat.
Menurut survey, informasi salah seputar COVID-19yang beredar di media sosial lewat para influencer hanya sebesar 28% tetapi interaksi yang didapatkan mencapai 69%. Teori konspirasi seputar COVID-19 terus berkembang dalam berbagai teori dan pembahasannya mulai dari konspirasi kedatangan COVID-19 hingga pola penyebarannya. Data dari statista menunjukkan komposisi kesalahpahaman mengenai COVID-19 berupa rumor, stigma di masyarakat, dan konspirasi dalam sosial media. Hasil survey terhadap 87 negara menunjukkan angka 24% dalam angka kepercayaan konspirasi seputar penyakit, penyebaran, dan kematian akibat dari virus corona.
Salah satu influencer yang membuat masyarakat menjadi mempertanyakan penelitian para pakar mengenai COVID-19 dan vaksinnya adalah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Mengutip dari The New York Times, Trump gencar meremehkan bahaya COVID-19 dan menolak mengikuti serangkaian protokol kesehatan termasuk mengenakan masker dalam pidatonya. Tindakan yang Trump lakukan itu memengaruhi pola pikir dan tindakan sebagian besar warga AS. dalam menyikapi COVID-19. Dimulai dari meluncurnya 30.000 artikel mengenai penolakannya untuk waspada pada COVID-19hingga merembet pada warga negaranya yang enggan mengenakan masker. Bahkan teori konspirasi âobat ajaibâ dalam virus corona yang diyakini oleh Trump juga memiliki angka 26,4% sebagai teori konspirasi tertinggi yang dipercaya di dunia.
Dalam memerangi infodemi, tak sedikit masyarakat yang sadar akan beredarnya berita palsu. Mengutip dari Institut Reuters tentang aksesibilitas berita enam negara maju menunjukkan bahwa masyarakat masih tetap dihantui kekhawatiran kesalahan informasi yang mereka dapat meski telah berusaha selektif. Bahkan, masyarakat menaruh rasa takut dan khawatir akan kesalahan berita yang pemerintah dan para pakar sampaikan akibat dari simpang siurnya kabar selama ini.Â
Kenapa skeptisisme terhadap pakar bisa terjadi?
Tidak sembarang orang bisa mengklaim dirinya sebagai seorang pakar. Untuk bisa disebut sebagai seorang pakar, seseorang harus memiliki perpaduan antara pendidikan, bakat, pengalaman, dan pengakuan dari rekan sejawat. Maka dari itu, kita tidak bisa langsung menyebut bahwa seseorang adalah seorang pakar hanya karena orang tersebut memiliki ketertarikan dan membaca banyak buku tentang suatu topik tertentu, tetapi tidak melewati proses yang telah dilewati oleh seorang pakar yang asli (Nichols, 2017).
Walaupun memiliki kualifikasi yang memadai, pakar juga bisa keliru. Di saat seorang pakar melakukan satu kekeliruan, masyarakat cenderung enggan untuk mempercayai pakar tersebut di masa depan. Satu kekeliruan yang dilakukan pakar tersebut tidak membuat kebenaran-kebenaran lain yang diutarakan pakar tersebut menjadi salah. Walaupun begitu, kemungkinan pakar berbuat keliru jauh lebih kecil dibandingkan masyarakat awam (Nichols, 2017).
Selain itu, penyebab lainnya mengapa skeptisisme terhadap kepakaran ini terjadi karena eksklusivitas dari kepakaran itu sendiri. Karena jarak antara pakar dan masyarakat awam kian melebar, maka jurang sosial dan ketidakpercayaan pun turut melebar pula. Para intelektual yang hanya ingin bergaul dengan sesama intelektual lainnya membuat masyarakat awam berpikir bahwa âkepakaranâ itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak inklusif (Nichols, 2017).
Keeksklusifan pakar lalu dipolitisasi sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pakar semakin menurun. Di AS, salah satu penyebab skeptisisme terhadap pakar adalah implikasi politik. Sikap anti-intelektualisme dilakukan atas dasar dukungan kepada politisi maupun gerakan politik yang juga menganut kepercayaan anti-intelektualisme (Motta, 2017). Lalu, di AS, ada titik di mana ketidaktahuan dianggap baik, terutama dalam hal-hal terkait kebijakan publik. Asimov (1980) menyebut orang-orang ini sebagai cult of ignorance. Orang-orang ini membenci para pakar karena menganggap mereka sebagai kaum elitis. Menolak nasihat para pakar sama dengan menegaskan otonomi. Itu merupakan cara warga AS melindungi egonya yang rapuh, serta sebuah bentuk narsisme dan aktualisasi diri. Warga AS saat ini meyakini bahwa kesetaraan hak di dalam sistem politik berarti bahwa pendapat setiap orang dalam segala hal, termasuk hal yang mungkin keliru sekalipun, harus dianggap setara dengan pendapat orang lain. Menurut teori Tocqueville, ketidakpercayaan kepada otoritas intelektual telah berakar dalam sifat demokrasi Amerika.
Kemudian, kemudahan akses internet yang dimiliki masyarakat saat ini juga menjadi salah satu faktor pendorong maraknya skeptisisme terhadap kepakaran. Kemudahan akses internet di era revolusi industri 4.0 membuat masyarakat menjadi lebih mudah dalam mengakses informasi yang beredar di media sosial. Apabila tidak bisa berlaku kritis terhadap jutaan informasi yang ada di internet, kita bisa saja termakan informasi sesat. Malangnya, tidak sedikit orang-orang yang akhirnya terjebak dalam arus informasi sesat karena kurangnya sikap kritis dan rendahnya tingkat literasi yang memadai.
Kenapa orang mempercayai konspirasi?
Maraknya bedah topik teori konspirasi di berbagai platform dengan angka interaksi cukup besar lantas melahirkan pertanyaan, apa yang mendorong orang percaya pada teori konspirasi? Terdapat beberapa faktor yang bisa menjadi penjelasan terhadap situasi ini. Bias konfirmasi, Efek Dunning-Kruger, ketakutan terhadap situasi yang tidak dapat dikendalikan, butuh orang untuk disalahkan atas kejadian buruk yang menimpanya, bias proporsionalitas, narsisme, dan Illusory Pattern Perception adalah beberapa hal yang menyebabkan orang rentan percaya kepada teori konspirasi.
Sebagai manusia kita punya masalah bias konfirmasi, yaitu tendensi untuk hanya menerima bukti yang mendukung hal yang sudah kita percayai sebelumnya (Allahverdyan dan Galstyan, 2014). Orang yang memiliki bias konfirmasi akan cenderung mencari bukti yang hanya membenarkan apa yang mereka percayai dan menolak data yang menentang hal yang mereka percayai. Saat menemukan teori sains yang bertentangan dengan hal yang mereka percayai, ketimbang mempertanyakan diri mereka sendiri, mereka justru meragukan sains itu sendiri.
Ketidakpahaman seseorang mengenai dasar-dasar metode ilmiah juga berpotensi besar membuat orang tersebut melakukan bias konfirmasi (Nichols, 2017). Bias konfirmasi bisa diperparah dengan adanya echo chambers dan filter bubble, yaitu kondisi atau keadaan baik di dunia nyata maupun dunia maya di mana seseorang hanya akan bersinggungan dengan informasi atau pendapat yang merefleksikan dan memperkuat pendapatnya sendiri. Situasi semacam itu akhirnya menyebabkan orang tersebut akan terus-terusan mendapatkan validasi atas hal yang ia yakini, dan akan jarang bersinggungan dengan orang-orang yang memiliki pandangan berseberangan dengan kelompoknya (Douglas et al., 2019).
Selain itu, ada suatu bias lain yang sering dilakukan oleh orang-orang yang mempercayai teori konspirasi, yaitu bias proporsionalitas. Bias proporsionalitas berarti kecenderungan manusia untuk mengasumsikan bahwa sesuatu yang besar terjadi karena sesuatu yang besar pula, dan sesuatu yang kecil terjadi karena sesuatu yang kecil pula. Bias proporsionalitas bisa menjelaskan alasan mengapa orang-orang mempercayai teori konspirasi (French, 2015). Sesuatu yang besar itu bisa merupakan âupaya depopulasi globalâ, âulah elit globalâ, ataupun hal-hal mengerikan lainnya yang sering digunakan oleh penganut teori konspirasi.
Selanjutnya, menurut penelitian yang dilakukan oleh Cichoka dkk. (2015), orang-orang yang mempercayai teori konspirasi cenderung memiliki tingkat narsisme yang tinggi. Mereka memiliki kebutuhan untuk merasa unik dan cenderung ingin tampil beda dari orang lain. Dengan mempercayai teori konspirasi, kebutuhan mereka untuk menjadi unik akan terpenuhi dan juga mereka akan cenderung memandang rendah orang-orang yang mereka anggap âtunduk pada otoritasâ.
Tingkat narsisme yang tinggi diperparah dengan adanya Efek Dunning-Kruger, yang menyatakan bahwa semakin bodoh seseorang, semakin seseorang yakin kalau dia sebenarnya tidak bodoh. Bukan hanya salah dalam menyimpulkan dan membuat pilihan atas sesuatu, inkompetensi yang mereka miliki juga merampas kemampuan mereka dalam menyadari kesalahan yang mereka perbuat (Kruger dan Dunning, 1999). Orang-orang ini juga tidak memiliki keahlian yang disebut sebagai metakognisi, yaitu kemampuan untuk menyadari kesalahan dan meregulasi proses kognitif mereka (Baker, 2010).
Penyebab lainnya yang membuat orang-orang mempercayai teori konspirasi yaitu kebanyakan orang akan merasa takut atas situasi yang tidak dapat mereka kendalikan. Grohol (2020) menyatakan bahwa ketakutan dan kecemasan menjadi faktor utama dari kepercayaan manusia terhadap keberadaan teori konspirasi. Manusia, dengan segala prasangkanya, juga sangat sering merasa yakin bahwa mereka akan selalu menjadi pihak yang tidak beruntung. Prasangka ini diduga merupakan salah satu mekanisme bertahan hidup yang dimiliki manusia, karena pikiran kita akan selalu berusaha untuk menyingkirkan semua hal yang membahayakan kelangsungan hidup kita.
Di sini, teori konspirasi berperan sebagai jalan untuk memberikan konteks ke kejadian-kejadian menakutkan yang dialami masyarakat (Nichols, 2017). Jika kita melakukan penelusuran di media sosial seperti Twitter, Instagram, ataupun forum-forum online lainnya, kita bisa menemukan orang-orang yang percaya bahwa vaksin Covid-19 akan mendatangkan malapetaka bagi masyarakat. Lalu, dikutip dari Katadata, berdasarkan survei yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF, ada 7,60% masyarakat Indonesia yang tidak mau divaksinasi. Dari beragam alasan yang mereka berikan, 26,04% diantaranya tidak mau divaksinasi karena tidak percaya dengan vaksin.
Kemudian, orang-orang enggan menyalahkan dirinya sendiri atas peristiwa buruk yang menimpanya dan akhirnya malah menyalahkan kekuatan yang tak terlihat (Uscinski dan Parent, 2014). Orang-orang yang mempercayai teori konspirasi seringkali membayangkan bahwa suatu fenomena besar ataupun kejadian buruk yang menimpa mereka disebabkan oleh sekelompok orang yang berkuasa, atau biasa disebut sebagai ‘elit global’. Mereka percaya bahwa semua hal yang kita percayai saat ini sesungguhnya hanyalah ilusi yang diciptakan oleh ‘elit global’ untuk menipu kita.
Beberapa penganut teori konspirasi percaya bahwa vaksin COVID-19 sengaja diciptakan sebagai upaya depopulasi warga dunia. Karena keyakinan ini, ada gerakan anti-vaksin yang dilakukan di beberapa penjuru dunia oleh orang-orang yang mempercayai teori konspirasi tersebut (Roach, 2020). Semua ini jelas bertentangan dengan fakta yang ada, bahwa vaksin COVID-19 tidak dibuat untuk mencari profit besar-besaran dari penjualannya, apalagi merupakan upaya depopulasi warga dunia (Jamison et al., 2020).
Faktor terakhir adalah sesuatu yang disebut sebagai Illusory Pattern Perception. Illusory Pattern Perception adalah kecenderungan untuk menghubung-hubungkan dua atau lebih peristiwa acak yang sebenarnya tidak berhubungan menjadi satu hal yang memiliki hubungan sebab-akibat (van Prooijen et al., 2017). Seringkali, penganut teori konspirasi melakukan ‘cocokologi’ dengan menganggap peristiwa satu dan lainnya saling berhubungan di saat kedua peristiwa tersebut sama sekali tidak berhubungan satu sama lain. Salah satu contoh ‘cocokologi’ yang sering dilakukan yaitu melihat simbol Illuminati dalam bentuk segitiga.
Efek yang Ditimbulkan dari Kepercayaan terhadap Teori Konspirasi
Beberapa teori konspirasi memang tidak berbahaya dan tidak menimbulkan kerusakan yang berarti bagi kehidupan sekitar kita. Namun, jika suatu teori konspirasi dipercayai, maka hal itu cenderung sulit dihilangkan dari pikiran orang yang mempercayainya. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa beberapa teori konspirasi berpotensi menyebabkan efek yang signifikan terhadap keadaan psikologis dan sosial seseorang.
Kepercayaan terhadap teori konspirasi dapat mengubah sikap seseorang tanpa orang itu sadari. Hal ini diduga berhubungan dengan prejudiced attitude, atau prasangka buruk terhadap kelompok lain. Teori konspirasi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan berpotensi menimbulkan rasa tidak percaya terhadap otoritas dan pakar di bidang kesehatan, sehingga pada akhirnya bisa membahayakan kesehatan diri mereka sendiri dan kesehatan orang terdekatnya (Douglas et al., 2019).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh US National Comorbidity Survey-Replication (NCS-R), orang-orang yang mempercayai konspirasi cenderung memiliki tingkat kesehatan fisik dan mental yang lebih rendah. Orang yang percaya konspirasi juga memiliki keinginan untuk bunuh diri yang lebih tinggi, jaringan sosial yang lemah, kurang bisa menjaga hubungan romantis maupun pertemanan, dan cenderung memiliki kriteria psychiatric disorder.
Dalam sebuah studi dengan 2000 orang responden di Britania Raya, ditemukan kaitan antara kepercayaan terhadap teori konspirasi dengan rendahnya rasa penghargaan terhadap diri sendiri dan perilaku negatif terhadap otoritas. Lalu, orang-orang ini juga rentan terhadap conjunction fallacy (Freeman et Bentall, 2017). Pengertian dari conjunction fallacy itu sendiri merupakan kesalahan dalam pengambilan keputusan dimana orang menilai bahwa di saat terdapat dua teori terhadap suatu fenomena yang sama, dan keduanya memiliki kemampuan yang sama dalam menjelaskan fenomena tersebut, maka teori yang memiliki lebih banyak detail lebih baik daripada yang tidak detail (Yearsley, 2011).
Penutup
Skeptisisme dan argumentasi yang dilakukan berdasarkan prinsip dan data adalah tanda kesehatan intelektual. Namun, semuanya berubah apabila argumen yang dilontarkan tidak memiliki basis data yang mendukung. Skeptisisme itu malah menjadi penolakan tidak berdasar kepada figur otoritas, dan hal-hal seperti ini cenderung membuat argumen sesat yang dipertahankan dengan kuat terdengar seperti fakta (Nichols, 2017).Â
Orang-orang yang percaya teori konspirasi bisa jadi adalah rekan kerja, teman, atau anggota keluarga kita. Kita tahu bahwa mereka tidak jahat dan bermaksud baik. Namun, mereka adalah orang-orang baik yang memiliki kerangka berpikir yang salah. Sebagian kita memang tidak cukup cerdas untuk mengetahui bahwa kita salah, sebaik apapun niat kita. Dibutuhkan peran dari semua anggota masyarakat agar kita bisa memerangi infodemi yang kian menjamur di sekitar kita.
Â
Penulis : Afifah Putri, Hasna Aliya Ady (Magang)
Penyunting: Fandy Ariffqi
Ilustrator: David Regiasmara Putrawan (Magang)
Referensi:
Allahverdyan, A.E. and Galstyan, A. (2014). Opinion Dynamics with Confirmation Bias. PLoS ONE, 9(7).
Asimov, I. (1980). A Cult of Ignorance. Newsweek, p.19.
Baker, L. (2010). Metacognition. International Encyclopedia of Education, pp.204â210.
Cichocka, A., Marchlewska, M. and de Zavala, A.G. (2015). Does Self-Love or Self-Hate Predict Conspiracy Beliefs? Narcissism, Self-Esteem, and the Endorsement of Conspiracy Theories. Social Psychological and Personality Science, 7(2), pp.157â166.
Douglas, K., Sutton, R., Cichoka, A., Ang, J., Deravi, F., Uscinski, J. and Nefes, T. (2019). Conspiracy Theories: How are they adopted, communicated, and what are their risks? (Full Report) â Centre for Research and Evidence on Security Threats. pp.7â33.
Freeman, D. and Bentall, R.P. (2017). The concomitants of conspiracy concerns. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 52(5), pp.595â604.
French, C. (2015). Why do some people believe in conspiracy theories? [online] Available at: https://fermion.com.au/wp-content/uploads/Study-Techniques.pdf.
Jamison, A.M., Broniatowski, D.A., Dredze, M., Sangraula, A., Smith, M.C. and Quinn, S.C. (2020). Not just conspiracy theories: Vaccine opponents and pro-ponents add to the COVID-19 âinfodemicâ on Twitter. Harvard Kennedy School Misinformation Review, 1(3).Â
Kruger, J. and Dunning, D. (1999). Unskilled and unaware of it: How difficulties in recognizing oneâs own incompetence lead to inflated self-assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77(6), pp.1121-1122
Motta, M. (2017). The Dynamics and Political Implications of Anti-Intellectualism in the United States. American Politics Research, 46(3), pp.465â498.
Nichols, T. (2017). The Death of Expertise. 1st ed. United States: Oxford University Press.
Roach, K.C., April (2020). Covid skeptics and anti-vaxxers clash with police at London protest. [online] www.standard.co.uk. Available at: https://www.standard.co.uk/news/london/trafalgar-square-protest-london-coronavirus-a4551266.html.
Stojanov, A., Bering, J.M. and Halberstadt, J. (2020). Does Perceived Lack of Control Lead to Conspiracy Theory Beliefs? Findings from an online MTurk sample. PLOS ONE, 15(8).
Uscinski, J.E. and Parent, J.M. (2014). American conspiracy theories. OxfordâŻ; New York: Oxford University Press.
van Prooijen, J.-W., Douglas, K.M. and De Inocencio, C. (2017). Connecting the dots: Illusory pattern perception predicts belief in conspiracies and the supernatural. European Journal of Social Psychology, 48(3), pp.320â335.
âYearsley, J.M. (2011). The Conjunction Fallacy â James M Yearsley. [online] Vanderbilt.edu. Available at: https://my.vanderbilt.edu/jamesyearsley/quantum-cognition/the-conjunction-fallacy/.
âJohn.M. (2018). The Psychology of Conspiracy Theories : Why Do People Believe Them?. Available at : https://psychcentral.com/blog/the-psychology-of-conspiracy-theories-why-do-people-believe-them/?li_source=LI&li_medium=popular17
Scott. A. (2010). Conspiracy Theory. Available at : https://www.britannica.com/topic/conspiracy-theory
David.L. (2018). Why Do People Believe in Conspiracy Theory? Available at : https://www.psychologytoday.com/intl/blog/talking-apes/201801/why-do-people-believe-in-conspiracy-theories
John.M. (2020). Conspiracy Theory Disorder : Understanding Why People Believe. Available at : https://psychcentral.com/blog/conspiracy-theory-disorder-understanding-why-people-believe/
van Prooijen, J-W. (2018). Belief in Conspiracy Theories : Basic Principles of an Emerging Reserch Domain. European Journal of Social Psychology/Volume 48-7.
Scott.B, Felix.S, Philip.N., Rasmus.N. (2020). Types, Sources, and Claims of Covid-19 Misinformation. Reuters Intitute Journalism, University of Oxford.
Rasmus.N, Richard.F, Antonis.K, Felix.S.. (2020). Communications in the Coronavirus Crisis : Lessons For the Second Wave. Reuters Intitute Journalism, University of Oxford.
Richard.F., Antonis.K, Felix.S, Rasmus.K. (2020). Information Inequality in the UK Coronavirus Communications Crisis. Reuters Intitute Journalism, University of Oxford.
Silvia.M, Rasmus.K, Joan.V, Nandan.R, Manlio.D, Omiros.P. (2020). Volume and Patterns of Toxicity in Social Media Conversations during the Covid-19 pandemic. Reuters Intitute Journalism, University of Oxford
Linda.Q. (2020). Analyzing the Patterns in Trumpâs Falsehoods About Coronavirus. Available at : https://www.nytimes.com/2020/03/27/us/politics/trump-coronavirus-factcheck.html
Orestis.P., Juan.C, Simon.H. (2020). The spread of Covid-19 Conspiracy Theories on Social Media and the Effect of Content Moderation. Harvard Kennedy School.
Cambridge Dictionary. (2020). What is an Influencer. Available at : https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/influencer
Stephanie.M, Ryan.B. (2020). Lifestyle Influencers Are Now Sharing Some Bogus Far-Right Conspiracy Theories About the Coronavirus. Available at : https://www.buzzfeednews.com/article/stephaniemcneal/coronavirus-lifestyle-influencers-sharing-conspiracy-qanon
Saiful.I, Tonmoy.S, Sazzad H. (2020). Covid-19 Related Infodemic and Itâs Impact on Public Health: A Global Social Media Analysis. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene/Volume 103-4
Carthy.N. (2020). The Composition of Coronavirus Misinformation. Available at : https://www.statista.com/chart/22527/composition-of-covid-19-misinformation/
Carthy.N. (2020). The Most Common Coronavirus Conspiracies. Available at : https://www.statista.com/chart/23105/share-of-coronavirus-misinformaton-identified-as-conspiracy-theories/
Â