
©Labiqa/Bal
Korupsi menjadi salah satu permasalahan besar di Indonesia yang seolah tidak ada ujungnya. Kasus-kasus seperti pengalihan hak tagih yang dilakukan oleh Djoko Tjandra dan penyuapan oleh Harun Masiku menambah daftar panjang buruknya penanganan korupsi di Indonesia. Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan sekitar satu tahun silam pun dianggap tidak berkontribusi dalam memperbaiki masalah yang ada. Resistensi dari masyarakat, salah satunya dari para akademisi, tidak dapat terelakkan. Banyak kajian dan diskusi pun dilakukan untuk menilik kembali usaha penanganan korupsi oleh KPK di Indonesia.
Berangkat dari hal tersebut, BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Yuris Rezha Kurniawan, Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM). PUKAT FH UGM sendiri merupakan lembaga yang berperan dalam melakukan optimalisasi dan kajian gerakan antikorupsi. Dalam wawancara tersebut, Yuris merefleksikan kembali korupsi di Indonesia dan kinerja KPK pasca satu tahun revisi UU KPK.
Bagaimana kinerja KPK satu tahun terakhir setelah revisi UU KPK?
PUKAT memandang ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa revisi UU KPK ini melemahkan KPK. Salah satu buktinya adalah tidak ada kasus strategis yang ditangani oleh KPK dalam satu tahun terakhir. Kasus strategis ialah kasus yang melibatkan penegak hukum atau pejabat publik. Ada satu contoh kasus strategis yang melibatkan Harun Masiku, seorang politisi yang diduga menyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, yang sekarang sudah ditangkap. Namun, sampai sekarang Harun Masiku masih menjadi buronan atas dugaan kasus korupsi tersebut.
Selain itu, revisi UU KPK juga berdampak pada sisi soliditas KPK, terutama dari sisi kepegawaian. Salah satu isu besar dalam revisi UU KPK adalah soal alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Jika pegawai KPK menjadi ASN, maka ada potensi independensi KPK akan sangat berkurang atau cenderung hampir hilang.
Apa dampak signifikan dari alih status pegawai KPK menjadi ASN bagi KPK?
Beberapa waktu lalu Peraturan Pemerintah mengenai alih status tersebut dikeluarkan sebagai turunan dari UU KPK. Jadi, sampai hari ini alih status pegawainya masih dalam proses. Namun, kita melihat fenomena yang ada di masa-masa menjelang alih status ASN ini banyak sekali rekan-rekan KPK yang memilih untuk keluar dari KPK.
Alih status tersebut diduga akan mempersulit kerja pegawai KPK. Sebab, dalam upaya pemberantasan korupsi seringkali bersinggungan dengan ranah eksekutif. Nantinya jika pegawai KPK sudah menjadi ASN, maka akan sangat berat ketika harus mengusut kasus korupsi yang sering melibatkan eksekutif. Sementara pegawai KPK sendiri merupakan bagian dari eksekutif. Nah, barangkali narasi ini yang kemudian muncul sehingga banyak sekali Pegawai KPK yang sebenarnya berintegritas memilih untuk mundur.
Banyak infografis mengenai kasus korupsi yang ditangani semenjak tahun 2000-an melibatkan pelaku yang berasal dari bidang eksekutif. Konsekuensinya nanti dimungkinkan banyak intervensi di dalam hal kepegawaian baik melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), atau Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Kemungkinan pegawai KPK yang menangani kasus korupsi yang melibatkan orang besar di eksekutif kemungkinan bisa mendapatkan ancaman. Ancamannya dapat berupa mutasi seperti di tempat lain, yang tentunya akan menghambat kinerja KPK. Kasus-kasus tersebut sebenarnya sudah terlihat sebelumnya. Ada cerita-cerita mengenai penyidik KPK non-polisi dan penyidik polisi yang berbenturan. Bahkan, pernah ada penyidik polisi yang kemudian dikembalikan ke institusi asalnya karena “susah diatur” KPK. Dibandingkan dengan UU KPK sebelumnya, di mana pegawai KPK bukan merupakan ASN, intervensi pun sulit dilakukan.
Di dalam Pasal 3 UU KPK yang telah direvisi, disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga eksekutif. Sedangkan, putusan MK tahun 2006 yang mengatakan fungsi KPK sebagai yudikatif. Bagaimana pendapat Anda mengenai status KPK yang ganda ini?
Dampak dari UU KPK hasil revisi ini sangat mencederai semangat pembentukan KPK di awal. Semangat pembentukan lembaga independen seperti KPK sendiri merupakan implementasi nyata dari agenda reformasi, yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal tersebut dipertegas oleh UU KPK yang lama dengan menyatakan KPK sebagai lembaga independen yang lepas dari kekuasaan manapun. Pada waktu itu pembentukan KPK disebabkan oleh ketidakmampuan penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian dalam menangani kasus korupsi di Indonesia.
Namun, semangat pembentukan KPK tersebut dihancurkan oleh UU KPK yang sekarang. Pasalnya, kelembagaan KPK sekarang berada di rumpun eksekutif dan KPK tidak lagi menjadi ujung tombak dalam usaha pemberantasan korupsi. Rasanya, revisi UU KPK memposisikan KPK tidak lebih dari kejaksaan dan polisi.
Memang fungsi KPK saat ini masih bersifat independen, namun hasil revisi UU KPK memasukkan KPK ke dalam rumpun eksekutif. Padahal, menurut Zainal Arifin Mochtar dalam Teori Lembaga Negara Independen, sebuah lembaga negara setidaknya memiliki tiga independensi. Ketiganya ialah independensi kelembagaan, independensi fungsional, dan independensi administrasi. Dengan adanya UU KPK yang baru, independensi yang dijaga marwahnya hanya tersisa satu saja, yakni independensi secara fungsional.
Bagaimana pengaruh aturan perizinan yang baru terhadap KPK?
Jika kaitannya dengan UU KPK yang telah direvisi adalah adanya organ baru, yaitu Dewan Pengawas. Dewan Pengawas sendiri fungsinya sebagai pengawas. Namun, juga diberikan kewenangan untuk memberikan izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan, dan sebagainya. Padahal, itu semua termasuk fungsi yang dilakukan oleh penegak hukum. Hal ini dikhawatirkan akan menambah birokrasi di internal KPK dalam menangani kasus. Kasus yang berkaitan dengan penyadapan diupayakan agar melibatkan sedikit mungkin orang agar tidak bocor.
Dengan adanya Dewan Pengawas, maka akan melibatkan lebih banyak orang di dalam prosedur tersebut. Imbasnya terlihat dalam jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang mengalami penurunan. Tercatat sejak 2019 sampai sekarang, penanganan OTT mengalami penurunan. Tentu saja hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah adanya pasal di UU KPK yang mengikat dan memperumit lembaga antikorupsi itu dalam menjalankan wewenangnya. Sehingga penyadapan menjadi sulit dan tidak lagi efisien. Proses penyadapan yang rumit ini menimbulkan keganjilan dikarenakan proses OTT sendiri diawali dengan penyadapan.
Korupsi apa yang sulit ditangani oleh KPK?
Sejauh ini pengembalian aset negaralah yang menjadi pekerjaan rumah bagi KPK. Mengingat banyak sekali kerugian yang disebabkan oleh para koruptor. Selanjutnya, mengenai korupsi konflik kepentingan. Konflik kepentingan yaitu pemutusan kebijakan atau keputusan tertentu oleh negara dan dalam memutuskan itu dia memiliki preferensi lain entah itu preferensi politik, ekonomi, bahkan hubungan seperti keluarga. Kedua hal itu masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi lembaga ini di mana seharusnya lembaga antikorupsi kita memiliki wewenang untuk menangani kasus itu. Namun, dengan adanya UU yang sekarang ini, membuat KPK menjadi tidak bisa berbuat banyak. KPK sudah terlanjur dikebiri.
Apakah ada kasus korupsi yang luput dari KPK belakangan ini?
Banyak kasus yang luput dari pandangan KPK dan mayoritas itu merupakan kasus besar. Hal ini selaras dengan revisi UU KPK yang telah berjalan setahun belakangan ini. Terbukti bahwa revisi tersebut membuat beberapa kasus korupsi yang awalnya strategis menjadi tidak strategis lagi. Bahkan, meninggalkan banyak pekerjaan rumah yang membuat kasus itu menjadi lama untuk ditangani. Salah satunya adalah kasus Jiwasraya. Kasus tersebut telah menyebabkan kerugian negara yang cukup besar nominalnya. Selain itu, terdapat kasus lain yang lebih menarik untuk dikaji lebih lanjut, yakni kasus Djoko Tjandra. Menariknya, walaupun sudah jelas melibatkan salah satu jaksa, tetapi malah kejaksaanlah yang memegang kasus ini. Dengan kata lain, temannya sendiri yang menangani kasus itu. Padahal, kasus ini bisa ditangani KPK sebagai lembaga independen yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi untuk menghindari konflik kepentingan.
Bagaimana pendapat Anda dengan penyusunan UU KPK yang terkesan tergesa-gesa?
Revisi UU KPK memang terkesan begitu cepat dan terburu-buru. Terdapat banyak keganjilan yang bisa dikritisi. Salah satunya, tidak adanya rencana revisi UU KPK dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019, tetapi secara tiba-tiba rencana revisi muncul begitu saja. Hal ini tentunya mengejutkan banyak pihak. Keputusan tiba-tiba ini sekiranya membuat publik menerka-nerka bahwa sebenarnya putusan ini terkesan sudah direncanakan oleh oknum tertentu.
Keganjilan itu tidak berhenti sampai di situ. Rupanya, proses cepat revisi UU KPK ini juga digunakan pemerintah bersama DPR dalam menyusun UU lain. Misalnya, UU cipta kerja yang memiliki jumlah pasal ribuan, tetapi proses penyusunannya begitu singkat. Penyusunan secara terburu-buru ini menggambarkan bahwa pemerintah sudah mengabaikan aspirasi publik yang seharusnya dipertimbangkan. Pemerintah dan DPR tengah asyik dengan permainannya sendiri tanpa peduli rakyatnya yang tengah krisis.
Dalam salah satu diskusi, PUKAT mengaitkan penyusunan UU yang cepat dengan korupsi legislasi. Apa itu korupsi legislasi?
Korupsi legislasi masih kurang umum digunakan di Indonesia. Namun, jika kita mengambil dari konsep dan teori yang berasal dari negara-negara lain, korupsi legislasi merupakan tindakan korupsi yang dilakukan bukan dalam pengimplementasian UU, seperti suap atau konflik kepentingan, melainkan dalam proses pembuatan kebijakan. UU yang seharusnya dibuat dengan menyerap aspirasi publik malah dilakukan secara koruptif, dengan lebih mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.
Korupsi legislasi memiliki karakteristik utama, yaitu tidak transparan dan tidak partisipatif. Inilah penyebab mengapa terkadang pihak yang akan terdampak oleh UU tersebut tidak dilibatkan dalam proses pembuatannya. Ketika izin dikeluarkan sesuai kepentingan pemberi suap, berarti ada korupsi di tingkat pembuatan kebijakan.
Apa saja dampak korupsi legislasi terhadap jalannya demokrasi di Indonesia?
Korupsi legislasi jelas mencederai, bahkan cenderung mematikan demokrasi. Pertama, demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak terlaksana. Kebijakan yang seharusnya dibentuk atas kebutuhan rakyat berganti menjadi kepentingan kelompok tertentu.
Kedua, dikhawatirkan ke depannya akan menimbulkan dampak sistemik, di mana tindak pidana korupsi tak hanya perihal kerugian keuangan negara, tetapi juga berpotensi lanjut hingga tujuan pemerintah untuk menyejahterakan rakyat tidak dapat tercapai akibat kebijakan koruptif menjadi penghalang nyata.
Melihat maraknya korupsi legislasi belakangan ini, apa langkah yang harus dilakukan untuk melawannya?
Korupsi legislasi berkaitan erat dengan proses pembuatan kebijakan, maka pengetatan pengawasan dapat menjadi opsi ke depannya. Dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), ada salah satu konsep bernama Trading in Influence atau perdagangan pengaruh di mana seseorang yang memperdagangkan pengaruhnya dapat dipidanakan. Namun, meski Indonesia telah meratifikasi UNCAC, negara tak kunjung menuangkannya ke dalam UU Tipikor, tidak hanya satu, tetapi banyak konsep yang lainnya. Kita hanya dapat memidanakan seseorang di Indonesia jika ia penyelenggara pemerintahan dan jika ada suap untuk mempengaruhi pengambilan keputusannya. Jika perdagangan pengaruh ini diimplementasikan dalam UU, maka pengawasan dapat dilakukan lebih ketat.
Penulis: Atsil Tsabita Ismaningdyah, Renova Zidane Aurelio, Setianingsih (Magang)
Penyunting: M. Rizqi Akbar
Ilustrator: Labiqa H. Razani (Magang)