Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang dilakukan dalam rangka memperkaya diri pelaku serta orang-orang yang menyokongnya. Salah satu bentuk korupsi yang marak terjadi belakangan adalah korupsi dalam bidang kebijakan. Seperti dilansir kpk.go.id, sejak tahun 2004—2020 terdapat 1.003 kasus korupsi yang terkait dengan korupsi kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Data tersebut meliputi korupsi dalam bidang pengadaan barang dan jasa perizinan serta penyuapan dan penyalahgunaan anggaran. Jumlah ini tentu saja masih bisa bertambah seiring adanya operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK.
Korupsi yang terjadi pada tingkat daerah khususnya melalui proses pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak bisa dianggap sepele. Taman S. Langkun selaku Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) mengatakan bahwa korupsi yang dilakukan kepala daerah adalah sesuatu yang kritis dan membahayakan. Hal ini karena korupsi pada tingkat daerah dapat mengancam sumber daya alam serta anggaran daerah. ”Jadi jika ada yang mengatakan kalau korupsi di daerah tidak seberbahaya korupsi yang terjadi di pusat itu sangat salah,” cetusnya.
Asfinawati selaku Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan korupsi dapat terjadi karena sistem politik yang terbuka, sehingga dana yang dibutuhkan dalam sistem politik ini seolah-olah sangat besar. Hal ini menyebabkan banyak terjadi manipulasi data anggaran partai sehingga aliran dana korupsi mudah masuk. “Di dalam setiap partai politik terdapat elite yang membuat kebijakan sehingga proses politik tertutup dan korupsi mudah dilakukan,” tambahnya.
Sementara itu, Taman beranggapan bahwa biaya politik yang tinggi turut mendorong tingginya angka korupsi pada masa pilkada. Menurut Taman, dana pertama yang dikeluarkan calon kepala daerah adalah dana untuk “membeli perahu”, yaitu dana dalam rangka memuluskan jalan politik dalam pilkada. Selain itu, calon kepala daerah juga harus mengeluarkan dana untuk membiayai tim sukses, yang berfungsi sebagai mesin politik guna melebarkan elektabilitas. Dana terakhir digunakan untuk membeli suara, yang sering disebut sebagai money politics atau serangan fajar. “Tiga hal tersebut mengeluarkan biaya yang sangat banyak,” lengkapnya.
Selanjutnya, Taman menjelaskan bahwa sumber dana calon kepala daerah umumnya berasal dari kekayaan pribadi. Namun, sumber dana pribadi yang seringkali tidak memadai membuat calon kepala daerah mencari suntikan dana dari pengusaha. “Jadi ada dua pilihan, yaitu mengeluarkan dana pribadi atau dibantu pengusaha yang punya modal,” ungkapnya. Menurut Taman, para penyuntik dana bersedia memberikan modal guna mengamankan proyek jangka panjang demi investasi dan keberlangsungan perusahaan. Para penyuntik dana inilah yang secara terminologi seringkali disebut sebagai cukong dan menjadi awal para pengusaha campur tangan dalam proses politik
Taman menjelaskan korupsi yang biasa terjadi pada tingkat daerah umumnya berupa korupsi materi yang bersumber dari APBD serta korupsi dalam pola perizinan. Korupsi materi yang bersumber dari APBD biasanya menyangkut dengan proyek-proyek yang akan dikerjakan serta pengadaan barang dan jasa. “Pengusaha akan meminta calon politisi yang mereka dukung saat pilkada untuk memberikan proyek jangka panjang,” kata Taman.
Korupsi APBD ini menurut Taman akan berhenti jika APBD habis. Sementara itu, korupsi dalam ranah pola perizinan sering terjadi pada daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti tambang, perkebunan, dan hutan. Peraturan mengenai perizinan sangat kompleks sehingga banyak pengusaha menyuap kepala daerah untuk memudahkan perizinan. “Para pendukung kepala daerah akan mendapatkan izin yang lebih mudah disebabkan balas budi atas dukungan yang diberikan,” jelasnya.
Senada dengan Taman, Asfinawati menyatakan bahwa proses terjadinya korupsi kebijakan sudah dimulai sejak awal proses perencanaan undang-undang. Hal ini terjadi karena sebuah undang-undang seringkali sengaja dirancang guna mencari celah untuk mengambil uang negara. Menurut Asfinawati, konsolidasi antara eksekutif dan DPR yang menghasilkan korupsi kebijakan cenderung menguat pasca-tumbangnya Orde Baru. “Pada masa Orde Baru lebih rumit lagi karena konsolidasinya terbatas,” jelasnya.
Sementara itu, Danang Rudyatmoko, Ketua DPRD Kota Yogyakarta, mengamini bahwa biaya operasional kepengurusan partai sampai tingkat akar rumput cukup tinggi. Namun, ia menilai korupsi kebijakan terjadi karena adanya kelowongan dalam kebijakan. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pejabat dan orang dengan kepentingan tertentu di luar kekuasaan. Ia juga menambahkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh pejabat daerah turut mendorong terjadinya korupsi dalam hal kebijakan. “Jadi ada hubungan yang sifatnya timbal balik antara penguasa dengan mereka yang memiliki kepentingan,” cetusnya.
Danang juga mengatakan bahwa tingginya biaya politik juga disebabkan oleh tuntutan sifat ketokohan yang harus dimiliki oleh seorang politisi. Hal ini yang kemudian menjadikan partai politik sebagai kambing hitam. Ia juga mengatakan bahwa sistem demokrasi ini perlu diperbaiki dan masyarakat juga harus berperan aktif di dalamnya, terutama terkait dengan korelasi antara faktor ketokohan seorang calon pemimpin dengan apa yang menjadi keinginan masyarakat. “Ini menjadi tanggung jawab kita semua, tidak bisa hanya dibebankan pada partai politik, karena parpol hanya sebatas kendaraan politik saja,” imbuhnya.
Selanjutnya, Danang menambahkan bahwa masyarakat perlu diedukasi terkait dengan sistem demokrasi yang terbuka seperti saat ini. Bahwa akan ada konsekuensi biaya politik akan semakin tinggi, ia berpendapat bahwa jumlah konstituen dan luas daerah tidak berpengaruh dengan tinggi-rendahnya biaya politik, karena hal ini terkait dengan tingkat pengetahuan politik dari masyarakat itu sendiri. “Masyarakat perlu diedukasi mengenai bagaimana proses politik itu sendiri dan fakta bahwa demokrasi yang dilakukan ini adalah demokrasi yang terbuka,” tandasnya.
Lebih lanjut, Asfinawati beranggapan bahwa praktik korupsi kebijakan cenderung dilakukan secara senyap sehingga seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Hal ini membuat penegakan kebijakan akan semakin rumit. Namun, Asfinawati menegaskan bahwa korban yang menanggung dampaknya langsung adalah masyarakat. Misalnya, revisi UU KPK dan Omnibus Law telah terbukti melemahkan kinerja KPK dan mengancam keberlangsungan lingkungan. Asfinawati menilai undang-undang tersebut tidak disusun sesuai dengan etika konstitusi, sebab prosesnya tidak transparan kepada masyarakat. “UU ini juga dibahas secara ugal-ugalan tanpa melihat segala aspek secara menyeluruh yang dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi masyarakat kita,” sambungnya.
Senada dengan Asfinawati, Taman memandang korupsi kebijakan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena berdampak luas bagi masyarakat. Dampak korupsi kebijakan ini tidak hanya jangka pendek tetapi juga jangka panjang. Menurut Taman, kerugian jangka panjang yang disebabkan eksploitasi sumber daya alam akan sangat berbahaya. Eksploitasi yang dilakukan tidak hanya merugikan secara materi tapi juga berdampak sangat besar bagi lingkungan. “Para pengusaha tidak mempedulikan rusaknya lingkungan karena hanya keuntungan yang mereka cari,” cetusnya.
Taman menjelaskan upaya untuk mengantisipasi terjadinya korupsi kebijakan dapat dilakukan dengan memperbaiki birokrasi yang buruk serta memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Fungsi birokrasi yang rusak, fungsi pengawasan yang lemah, dan penegakan hukum yang tidak konsisten telah secara simultan mendongkrak tingginya angka korupsi kebijakan. Menurut Taman, hal ini tidak bisa diatasi dengan jalan melonggarkan peraturan melalui Omnibus Law. “Jika aturan dilonggarkan itu tidak menjawab permasalahan, karena permasalahannya ada di kepala daerah dan harusnya birokrasi yang dibenahi,” ujarnya.
Senada dengan Taman, Asfinawati menilai perlu diadakan perbaikan pada sistem politik saat ini guna menutup celah terjadinya praktik korupsi kebijakan. Menurutnya, perbaikan ini penting untuk dilakukan mengingat banyaknya kebijakan yang diproses secara ugal-ugalan dan akan berpotensi merusak tatanan demokrasi. “Harus ada kepaduan demokrasi perwakilan dan demokrasi dari rakyat agar tercipta sebuah referendum yang adil bagi semua golongan masyarakat kita,” tandasnya.
Penulis: Nabila Hendra Nur Afifah, Mochammad Ezra Syah Resha, Kristian Anugrah, Akbar Bagus Nugroho (Magang)
Penyunting: Han Revanda Putra
Ilustrator: Zia Ulil Albab (Magang)