Lahir dari kritik atas partai nasional, ironisnya partai mahasiswa kini malah menyerupai entitas yang dulu mereka kritik. Kejelasan partai mahasiswa banyak dipertanyakan, mulai dari ideologi hingga perannya dalam gerakan mahasiswa. Semua itu mendorong partai mahasiswa ke simpang jalan: berbenah atau bubar.
Perdebatan dengan tensi tinggi terus terjadi. Tidak hanya sehari, namun empat sampai lima hari. Mulai dari pagi hingga pagi kembali. Perkubuan begitu kontras: bubarkan atau beri kesempatan kepada konsep KM UGM. Di dalamnya, termasuk pula wacana pembubaran partai mahasiswa yang merupakan bagian dari sistem tersebut. Begitulah sekiranya suasana Kongres KM UGM tahun 2016 dalam memori Vicky Afris, alumni FH UGM 2013.
Bagi Vicky, debat yang terjadi sangat ramai ide. Bahkan, di dalam kelompok yang hendak membubarkan partai mahasiswa pun terdapat fraksi yang berbeda paham. Sebagian dari fraksi tersebut ada yang menginginkan pembubaran partai mahasiswa, ada pula yang lebih reformis dengan masih menaruh harapan kepada partai mahasiswa. “Saya awalnya reformis, namun berubah menjadi lebih radikal sebab saya tidak menemukan jawaban mengapa partai mahasiswa harus dipertahankan,” ungkapnya.
Berdasar cerita Vicky, penyelesaian kongres menghasilkan kedewasaan bagi kelompok reformis untuk menghargai lima ribuan suara hasil Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa). Hal tersebut disepakati oleh semua peserta kongres dengan syarat partai mahasiswa mesti berbenah. Namun, sebagaimana diwawancara pada 26 Oktober 2020 lalu, Vicky masih dibuat kecewa oleh model kerja partai mahasiswa dewasa ini. Menurutnya hingga kini, partai mahasiswa tidak memiliki peran esensial yang signifikan bagi gerakan mahasiswa maupun kesejahteraan mahasiswa itu sendiri.
Latar Belakang Berdirinya Partai Mahasiswa
Partai mahasiswa berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UU KM UGM Nomor 4 Tahun 2020, merupakan organisasi yang dibentuk oleh sekelompok mahasiswa secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota dan mahasiswa melalui pemilihan umum mahasiswa. Hadirnya partai mahasiswa itu sendiri di UGM, menurut Iqbal Nurrahim selaku Ketua Partai Bunderan UGM 2020, dikendarai oleh ekspresi kritik mahasiswa UGM terhadap partai nasional di Indonesia. Dia menambahkan, Partai Bunderan UGM yang didirikan pada tahun 1998 didasari oleh kritik atas iklim politik yang membatasi kebebasan masyarakat untuk berpartai. “Waktu itu partai hanya ada tiga, yaitu PDI, Golkar, dan PPP,” terang Iqbal.
Meskipun sekarang sistem yang dianut Indonesia sudah multipartai, Iqbal menegaskan hal tersebut tak lantas membuat esensi kritik dalam partai mahasiswa menjadi usang. Baginya, kini partai mahasiswa dapat mengadopsi nilai pendirian Partai Bunderan sebagai perlawanan terhadap rezim yang otoriter. Partai Bunderan sendiri menjalankan nilai tersebut dengan berpegang pada ideologi Islamisme.
Berbeda dengan Iqbal, Nusi selaku Ketua Partai Srikandi UGM 2020, justru mengibaratkan partai mahasiswa sebagai miniatur partai politik nasional dilihat dari manuver koalisi. Srikandi yang dinilai Nusi lebih kecil daripada partai mahasiswa di UGM lainya membuat koalisi menjadi sesuatu yang diperlukan untuk mendapatkan representasi dalam sistem politik kampus. “Berkoalisi itu salah satu strategi untuk mendapatkan kursi menteri,” jelas Nusi.
Partai Mahasiswa Serupa Partai Nasional
Pandangan Nusi yang mengukuhkan partai mahasiswa serupa dengan partai nasional didapat ketika dirinya menyadari bahwa ideologi partai mahasiswa seperti bunglon, menyesuaikan pada situasi dan angin politik. Berada pada iklim partai-partai bunglon, dualisme Srikandi sebagai komunitas lah yang menjadi pelindung Srikandi untuk mempertahankan ideologinya. “Bagaimana bisa kita menjadi pejuang gender ketika ideologinya lompat-lompat,” tandas Nusi.
Perihal ketidakjelasan ideologi pada sebagian besar partai mahasiswa juga diamini oleh Muhammad Hikari Ersada, Menteri Koordinator BEM KM UGM 2018. Dia beranggapan bahwa ketidakjelasan ideologi partai mahasiswa telah melunturkan nilai pembeda antara partai mahasiswa dengan partai politik nasional. Menurutnya, model kerja partai seperti ini hanya menjadi alat untuk kekuasaan, bukan medium untuk mengkritik kekuasaan itu sendiri.
Maheswara Nusantoro, Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa Periode 2020, juga menjelaskan kemiripan partai mahasiswa dengan partai politik nasional. Dia menilai bahwa seharusnya pergerakan politik partai mahasiswa tidak terhenti seiring berakhirnya Pemilwa. Menurutnya, partai mahasiswa harusnya juga dapat menampung aspirasi mahasiswa di luar periode kampanye ataupun pemilihan. “Seharusnya partai mahasiswa itu berjalan sesuai kebutuhan mahasiswa pada masa ini,” ujar Maheswara.
Selain itu, Ina, Senat Unsur Fakultas FK-KMK di MPM-KM UGM, turut menambahkan bahwa wakil partai di MPM-KM tidak memiliki tujuan dan ideologi yang jelas sehingga partai mahasiswa terkesan sebatas untuk merengkuh kekuasaan. “Seolah partai mahasiswa hanya dijadikan alat mendapatkan kursi di MPM-KM,” ujar Ina.
Lantas, dalil hadirnya partai mahasiswa sebagai bentuk kritik terhadap partai-partai nasional tampaknya hanya menjadi paradoks dan ironi saat ini. Hal tersebut diungkapkan oleh Luthfi Hamzah Husein, Ketua BEM-KM UGM 2011. “Bila sekarang partai-partai ini tidak jelas apa yang dibawa dan apa yang menjadi landasan ideologinya, apa bedanya mereka dengan partai-partai nasional yang dulu dikritik itu?” tukasnya.
Nihil Agenda Politik Konkret
Walau dibelenggu permasalahan, Hikari menekankan bahwa partai mahasiswa di UGM merupakan sesuatu yang menjanjikan. Namun, dia menganggap bahwa ketidakjelasan ideologi menjadi akar penghambat partai mahasiswa untuk menjadi optimal. Hal tersebut, tambahnya, mengaburkan arah gerak partai mahasiswa dan membatasinya untuk menghadirkan agenda politik konkret yang signifikan. Padahal menurutnya, partai mahasiswa bisa mewujudkan purwarupa sistem politik yang inovatif. “Partai mahasiswa apabila mempunyai ideologi yang jelas akan menjadi alat kontestasi politik yang baik,” jelas Hikari.
Namun, proyeksi Hikari tidak sepenuhnya benar seiring pengakuan dari Iqbal. Ketika ditanya mengenai perwujudan ideologi Partai Bunderan dalam agenda konkret pada struktur formal KM UGM, Iqbal menjelaskan bahwa sejauh ini perjuangan politik Partai Bunderan masih sebatas menjamin representasi kader di KM UGM. “Selagi masih ada kader partai yang mewakili, berarti nilai-nilai partai akan terus diperjuangkan,” ujarnya.
Hal senada pun diungkapkan oleh Nusi. Meskipun Srikandi memiliki ideologi spesifik, yaitu feminisme, Nusi mengakui bahwa partainya masih belum punya agenda formal tertentu di MPM KM atau BEM KM untuk memperjuangkan gagasannya. Manuver paling kentara yang dilakukan Srikandi, terusnya, adalah ikut mengusung calon ketua BEM KM serta calon senat yang punya wawasan soal keadilan gender. “Hal ini pasti sedikit banyak akan berpengaruh pada pengarusutamaan nilai-nilai feminisme di struktur KM UGM,” jelasnya.
Satria Umbu, Ketua Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa Periode 2020, menjelaskan bahwa nihilnya agenda konkret dari partai mahasiswa menimbulkan masalah yang besar. Menurutnya, partai mahasiswa harus menghasilkan agenda yang jelas karena signifikansinya terhadap representasi mahasiswa di UGM. “Kalau begini, mereka bisa menjaring calon presiden mahasiswa atas dasar apa?” cecarnya.
Mengenai keharusan partai mahasiswa mempunyai agenda nyata, Partai Kampus Biru (PKB) merasa tidak harus ambil pusing. Alghiffari, Ketua PKB, menerangkan bahwa sejatinya kehadiran partai mahasiswa itu ditujukan sebagai media pembelajaran politik mahasiswa. “Pencerdasan politik itu hanya bisa didapat di partai mahasiswa,” terang Alghiffari.
Menjawab itu, Luthfi menyesalkan bagaimana dalih ‘wadah pembelajaran’ dijadikan justifikasi kelestarian partai mahasiswa. Luthfi menilai partai mahasiswa sebagai alat belajar politik yang tidak sehat karena justru membuka ruang bagi kontrak politik di belakang meja untuk menjadi sesuatu yang terlembaga. “Hal itu saya sadari ketika saya dengan mudah membuka oprec menteri,” ujar Ketua BEM yang dulu maju secara independen tersebut.
Umbu turut menceritakan bahwa sekalinya partai mahasiswa hendak belajar politik dan menerapkan agenda konkretnya, malah justru berimbas pada permasalahan moral. Dia menuturkan bahwa pada Oktober 2018, partai mahasiswa Future Leaders Party (FLP) mempublikasi tema besar kampanye mengenai kepedulian partai terhadap kelompok difabel. Umbu menjelaskan, kepedulian yang baru disampaikan sebulan sebelum Pemilwa itu menuai kecaman dari UKM Peduli Difabel karena telah menempatkan kelompok difabel sebagai alat untuk mendapatkan suara. “Memang bagus maksudnya, tapi mohon jangan dibuat mainan politik. Anggota kita yang mahasiswa difabel saja tidak digubris oleh mereka, sekarang mereka malah berpaling ke isu lain,” kritik Umbu, yang juga merupakan anggota UKM Peduli Difabel.
Partai Mahasiswa dalam Gerakan Mahasiswa
Sebagai organisasi yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan mahasiswa, partai mahasiswa pun mendaulat diri terlibat dalam berbagai gerakan. Klaim ini disampaikan oleh Alghiffari bahwa partainya turut menjalankan fungsi pergerakan lewat peran kader-kadernya di berbagai wadah kolektif atau lembaga mahasiswa. “Ketika kader kami turun ke jalan, secara tidak langsung mereka membawa nama partai,” tuturnya.
Namun, klaim itu dibantah oleh Vicky yang menganggap inisiatif kader tidak lantas mencerminkan sikap dan kerja-kerja institusi partai mahasiswa. Berdasarkan keterangannya, partai mahasiswa tidak pernah terlibat dalam gerakan secara institusional. Baginya, Gejayan Memanggil 2019 hingga aksi demo Omnibus Law 2020 nihil keterlibatan partai mahasiswa di dalamnya. “Bahkan aksi 2 Mei 2016 yang membahas isu internal UGM saja tidak ada kontribusi partai,” kritiknya.
Alih-alih menjadi inisiator, Vicky menilai bahwa keberadaan partai mahasiswa malah cenderung membuat gerakan menjadi lesu. Menurutnya, partai mahasiswa disibukkan oleh perkara politik kampus seperti Pemilwa yang menguras fokus dan sumber daya cukup besar. “Sibuknya partai mahasiswa dalam soal prosedur politik inilah yang membuat fokus mahasiswa dalam bergerak menjadi terbagi,” sesalnya.
Padahal, sebagaimana yang dikatakan Abdul Ghaffar, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, gejala demokrasi prosedural mesti dihindari. Dia memaparkan bahwa gejala yang ditandai dengan sibuknya masyarakat kepada tata cara dan prosedur demokrasi ini sudah menjangkiti politik nasional bahkan dunia. “Mahasiswa jangan ikutan terjerumus, harus fokus pada demokrasi substansial yang intinya adalah pengawalan isu,” pesannya.
Berbenah atau Bubar?
Ditanyai perihal politik kampus tanpa partai mahasiswa, Luthfi berpendapat bahwa hal tersebut tidak menjadi masalah. Dia membandingkan kondisi UGM dengan kampus lain. Menurutnya, absennya partai mahasiswa di kampus-kampus lain tidak lantas membuat politik kampus tersebut mati.
Bayangan UGM tanpa partai mahasiswa pun diafirmasi pula oleh Ina. Dia menilai eksistensi partai mahasiswa tidak signifikan dalam MPM KM. Sepanjang dinamikanya di MPM KM, Ina tidak melihat peran partai mahasiswa secara institusi. Menurut Ina, dihapusnya partai mahasiswa tidak akan menjadi soal karena keterwakilan senat unsur partai mahasiswa dalam MPM tumpang tindih dengan senat fakultas. “Jika senat dari partai juga sama-sama memperjuangkan isu mahasiswa, lantas apa yang membedakan keduanya?” tutur Ina.
Berbeda konteks, Maheswara turut menilai bahwa partai mahasiswa tidak signifikan dalam membangun animo politik kampus. Dia berpendapat bahwa ketika Pemilwa, hendaknya mahasiswa tidak berkubu dalam partai, melainkan kesamaan isu dan keresahan. Dengan itu, menurutnya akan muncul kontestasi politik mahasiswa yang membawa isu menarik dan partisipatif. “Selama ini walaupun angka partisipasi Pemilwa meningkat tiap tahun, tapi jumlahnya tidak pernah sampai 50 persen total mahasiswa,” jelas Maheswara.
Umbu menjelaskan, apabila ada mahasiswa yang bergantung pada partai mahasiswa, menurutnya menjadi perlu bagi partai mahasiswa untuk mengusahakan kejelasannya dalam struktur organisasi mahasiswa di UGM. Dalam mencapai itu, Umbu menekankan bahwa partai mahasiswa harus memiliki agenda organisasi yang selaras dengan ketentuan dari Ditmawa. “Mereka harus membuat dirinya jelas di UGM, agar mereka tidak dipertanyakan kegunaannya terus seperti ini,” tambah Umbu.
Di lain sisi, walaupun resah dengan realitas kinerja partai mahasiswa, Hikari masih menunjukkan optimismenya terhadap mereka. Baginya, wacana pembubaran tidak bisa dimaknai secara harfiah. Wacana tersebut menurut Hikari hadir sebagai pelecut agar partai mahasiswa mereformasi model kerjanya. “Asal serius, partai mahasiswa saya yakin bisa tetap relevan dengan zaman,” ujarnya.
Hal selaras diungkapkan oleh Abdul Ghaffar yang tidak terlalu mempersoalkan eksistensi partai mahasiswa. Menurutnya, yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa mampu menjalankan demokrasi substantif seperti pengawalan isu alih-alih sebatas prosedural. “Partai mahasiswa yang ideal adalah yang tetap mampu menjadi motor gerakan mahasiswa,” ungkapnya.
Berbeda dengan Hikari dan Abdul Ghaffar, Vicky dengan tegas menolak sistem kepartaian ini. Dia berargumen bahwa partai yang ada di dalam sistem tidak punya inisiatif membangun gerakan. Vicky mencontohkan partai-partai yang ada di nasional yang cenderung main aman sebab sibuk berpikir soal elektabilitas. “Termasuk juga partai mahasiswa. Kalau tidak bisa berkontribusi di gerakan mahasiswa, untuk apa dipertahankan?” cecarnya.
Perihal bubar atau tidaknya partai mahasiswa, Luthfi tidak terlalu ambil pusing. Dia merasa bukan kapasitasnya untuk menjawab. Ini, sambungnya, PR bagi generasi sekarang untuk mempertanyakan ulang semua warisan sejarahnya, termasuk partai mahasiswa ini. Namun, bila diminta berpendapat, dia pun tidak masalah bila seandainya partai mahasiswa ditiadakan, selama gerakan mahasiswa tetap berjalan. “Toh yang terpenting adalah gerakan mahasiswa, bukan pemerintahan ala mahasiswa,” tutupnya.
Penulis: Affan Asyraf dan Ardhias Nauvaly Azzuhry
Penyunting: Hanifatun Nida
Ilustrator: Inggrid D. Wijaya