Pandemi COVID-19 telah melanda wilayah Indonesia sejak bulan Maret 2020 dan menyebar di hampir 100% wilayah di Indonesia. Sejak menyebarnya COVID-19 di Indonesia, banyak sektor kehidupan yang terpengaruh dengan pandemi ini. Dari sektor ekonomi, banyak pegawai yang dirumahkan dan daya beli masyarakat menurun karena kehilangan pendapatan. Dari sektor pendidikan, pelajar harus belajar dari rumah yang merupakan sebuah hal yang belum pernah terpikirkan. Sektor sosial juga sangat terdampak karena pandemi ini seolah membatasi interaksi sosial antar masyarakat dan membuat mereka terkurung di dalam rumah pada waktu yang cukup lama.
Saat kasus positif pertama di Indonesia COVID-19 yang diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi, timbul berbagai macam reaksi dari masyarakat. Terpengaruhnya kondisi psikologis serta sosiologis masyarakat saat terjadinya wabah penyakit karena fenomena wabah penyakit yang terjadi secara meluas dan menyebar di antara masyarakat dapat membuat masyarakat mengalami kecemasan dan ketakutan (Kerr, 2004). Kecemasan dan ketakutan dikatakan sebagai reaksi psikologis dan sosiologis karena pandemi ini memengaruhi kondisi psikologis masyarakat dan kondisi sosiologis masyarakat. Dampak dari kecemasan dan ketakutan ini adalah kepanikan yang meluas di tengah masyarakat.
Adanya kepanikan yang berlebih di tengah-tengah masyarakat menyebabkan harga-harga barang yang berkaitan dengan kesehatan melambung tinggi, seperti masker dan hand sanitizer. Melambungnya harga kedua barang tersebut sudah cukup menggambarkan bahwa di tengah masyarakat terjadi kondisi panik kecemasan yang berlebih. Padahal, menurut para ahli kejiwaan, dalam menghadapi kondisi saat ini yang diperlukan adalah tetap tenang dan terus berpikir positif. Dengan bersikap tenang dan berpikiran positif maka dalam situasi saat ini tidak akan menimbulkan disfungsi sosial di antara anggota masyarakat (Adiluhung, 2020).
Disfungsi sosial adalah kondisi di saat seseorang tidak mampu melaksanakan peran sosial sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Disfungsi sosial saat ini terjadi karena adanya pemberitaan di berbagai media yang membentuk opini negatif pada publik khususnya terhadap para pasien positif COVID-19 (Astrid, 2020). Maraknya pemberitaan yang negatif tersebut membuat masyarakat membatasi kontak sosial takut karena tertular COVID-19, dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya disfungsi sosial. Terjadinya disfungsi sosial tersebut karena adanya kecemasan serta kepanikan berlebih yang menyebabkan masyarakat menjadi apatis terhadap sesamanya (Adiluhung, 2020). Selain itu, terjadinya disfungsi sosial menyalahi kodrat manusia sebagai zoon politicon atau makhluk sosial sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles (Gintis et al., 2015).
Disfungsi sosial bisa terjadi karena adanya kecemasan dan ketakutan dari masyarakat ditambah lagi pemberitaan dari media yang cenderung bernarasi negatif dan menakut-nakuti masyarakat. Banyak disaksikan melalui pemberitaan baik di kanal berita daring maupun media sosial tentang penolakan pemakaman jenazah pasien positif COVID-19 di berbagai daerah di Indonesia, seperti yang pernah terjadi di daerah Banyumas dan Semarang. Penolakan jenazah pasien positif COVID-19 oleh warga setempat terjadi karena kekhawatiran bahwa jenazah tersebut masih membawa virus yang bisa menular.
Jika berlangsung dalam jangka panjang, kepanikan dan ketakutan masyarakat ini akan menghasilkan disfungsi sosial yang berkepanjangan dan akan berpengaruh terhadap kesehatan mental masyarakat. Jika masyarakat semakin ditekan dengan berbagai pemberitaan yang bernarasi negatif maka kesehatan mental masyarakat akan terganggu (Vibriyanti, 2020). Masyarakat khususnya yang berada di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, yang menjadi episentrum penyebaran COVID-19, akan sangat rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
Permasalahan emosional ini akan memicu penurunan kesehatan mental masyarakat di Indonesia. Isu ini tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga remaja di Indonesia yang masih berada dalam jenjang pendidikan. Hal ini terjadi karena saat mereka menyaksikan informasi tentang COVID-19, akan timbul rasa khawatir terhadap kesehatan dirinya, keluarga dan masa depan. Hal inilah yang akan membuat para remaja merasa cemas dan terbebani sehingga mengakibatkan terganggunya mental.
Berdasarkan hasil survei daring yang dilakukan oleh tim penulis dengan komposisi sample remaja di tingkat sekolah, kuliah, sampai lulusan baru di perguruan tinggi untuk mengetahui gejala emosional apa saja yang terjadi pada anak muda di masa pandemi. Hampir 75% menjalani aktivitas secara daring, dan 30% menggunakan hybrid learning dalam kegiatan pembelajaran. Permasalahan yang memengaruhi psikis para anak muda khususnya mahasiswa adalah kekhawatiran akan masa depan, pembelajaran yang dirasa kurang efektif, terbebani dengan tugas, lingkungan yang kurang mendukung, masalah finansial, jenuh dengan rutinitas saat pandemi, dan kekhawatiran-kekhawatiran lainnya. Walaupun 93% mahasiswa sadar akan pentingnya kesehatan mental dan kesehatan fisik pada saat ini, ditemukan 45% mahasiswa sudah berada di tahap tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap dirinya sendiri.
Pandemi yang sedang terjadi mempunyai pengaruh masif terhadap fenomena kesehatan mental terutama di era disrupsi. Era dengan perubahan besar yang ditemukan dalam bidang teknologi dan berpengaruh terhadap pemikiran serta tingkah laku manusia. Selain itu, pemberlakuan pembatasan sosial juga berdampak terhadap kesehatan mental remaja. Pembatasan sosial yang mengharuskan pelajar dan mahasiswa dengan hanya berdiam di dalam rumah akan membuat mereka menjadi jenuh dan akan berpengaruh pada kondisi psikologis yang berhubungan dengan masalah kesehatan mental.
Gangguan psikologis disebabkan oleh kesehatan kondisi psikis maupun mental yang tidak baik, yang mana dapat berdampak pada gangguan fisik yang dinamakan psikosomatik. Psikosomatik adalah penyakit yang berasal dari pikiran dan menyebabkan keluhan fisik karena faktor psikis atau mental, seperti stres dan rasa cemas. Kecemasan atau stres berlebih para remaja dalam menghadapi masa pandemi adalah salah satu penyebab dari gangguan psikologis dan fisik. Kutipan Hans Selye yang sangat terkenal dalam bukunya yang berjudul Stress without Distress mengatakan bahwa bukan stres yang membunuh kita, tetapi reaksi kita terhadapnya (Selye, 1975). Menurutnya, permasalahan terletak bukan di stres itu sendiri, tetapi persepsi manusia. Salah satu yang bisa dilakukan oleh mahasiswa dan pelajar dalam menghadapi COVID-19 adalah dengan menerapkan prinsip dikotomi kendali.
Dikotomi kendali adalah salah satu ajaran aliran filsafat Stoikisme yang muncul di Yunani Kuno sekitar 200 tahun sebelum Masehi. Banyak sekali prinsip-prinsip yang diajarkan dalam filsafat Stoikisme terutama dalam menghadapi kehidupan yang sesuai dengan hukum kodrat dan positivisme hukum. Hukum kodrat berakar pada kodrat manusia dan bergerak terarah demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia itu sendiri. Jika hukum kodrat menyediakan landasan aturan dan ukuran kelakuan manusia, maka positivisme hukum disusun dengan maksud untuk menciptakan keseimbangan hidup antar manusia, sehingga tercipta kedamaian, ketertiban, dan kebaikan dalam masyarakat. Stoikisme sebagai sebuah filosofi hidup adalah jembatan penghubung untuk manusia agar menjadi tentram dan damai ketika mengalami masalah. Prinsip dikotomi kendali relevan untuk menghadapi pergolakan emosi yang dijumpai di masa pandemi.
Prinsip ini digemakan oleh Epictetus yang termasuk filsuf aliran Stoikisme. Epictetus dalam bukunya Enchiridion mengatakan bahwa ada hal-hal di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak berada di bawah kendali kita. Filsuf-filsuf aliran Stoikisme sepakat terhadap prinsip fundamental ini.. Hal-hal yang berada dalam kendali kita adalah pendapat, motivasi, keinginan, serta apa saja yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri. Sedangkan hal yang berada di luar kendali kita adalah opini orang lain, reputasi kita, kondisi saat lahir, peristiwa alam, dan hal lainnya yang berada di luar pikiran dan tindakan kita. Penting sekali menanamkan prinsip dikotomi kendali di dalam benak agar tercipta mental yang kuat.
Beberapa kasus bunuh diri pada kalangan pelajar yang dipicu oleh situasi dan kondisi pandemi serta pembelajaran jarak jauh, membuat permasalahan gejolak emosi saat ini semakin penting untuk diperhatikan. Pada bulan Oktober 2020, seorang siswi SMA di Sulawesi Selatan melakukan bunuh diri dengan menenggak racun karena stres melakukan pembelajaran jarak jauh dengan tugas daringnya yang menumpuk. Para remaja yang mengalami kekhawatiran dan kecemasan, umumnya cenderung lebih sensitif sehingga pemicu kecil pun dapat terus mengganggu pikiran.
Para ahli psikologi mencoba untuk menuntaskan permasalahan kekhawatiran yang terjadi dengan menggunakan teknik CBT (Cognitive Behavioral Therapy) dalam konseling psikologi. CBT adalah pendekatan dalam psikologi dengan cara mengubah pola berpikir dan perilaku negatif menggunakan perilaku sederhana. Contohnya, orang-orang yang menderita ketidakstabilan mood kemungkinan besarnya adalah mereka telah mengembangkan pikiran-pikiran yang merusak citra diri. Ada sebuah hubungan kuat antara pikiran, perasaan, dan perilaku yang dihasilkan. Pikiran terikat erat pada emosi dan dapat memicu reaksi berantai dari perasaan.
Konsep CBT dapat diimplementasikan untuk remaja ketika menghadapi masa-masa sulit yang berhubungan erat dengan pikiran, emosi, dan tindakan. Hadapi dengan mengatakan kepada diri sendiri bahwa semua hal sulit ini akan berlalu, maka proses alami dengan dasar perubahan pola pikir akan mendorong untuk melupakan perasaan yang tidak membantu, membebaskan diri dari belenggu perasaan negatif, dan mendapatkan kejernihan pikiran yang menyenangkan. Respons emosi atau perilaku dari seorang individu sumber utamanya adalah pikiran (Wallace, 2016). Teknik CBT memiliki banyak kesamaan dengan Stoikisme karena memperlakukan kondisi mental dengan melakukan sesuatu secara sadar agar dapat menghadapi dan melawan ketakutan dengan membiarkan rasa cemas itu pergi.
Pencegahan harus dimulai sebelum adanya kekhawatiran yang semakin parah guna mencapai kesehatan batin dan jasmani. Sosialisasi yang dilakukan untuk menyadarkan sesama tentang kesehatan mental harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan menyadari bahwa diri sendirilah yang mempunyai kontrol penuh terhadap pikiran, maka output yang terjadi tidak akan dikendalikan oleh pikiran negatif. Sebagai pelajar atau mahasiswa yang sedang menjalani aktivitas di masa pandemi, kendali pikiran juga harus didukung oleh adanya penerimaan total dari seorang individu.
Menurut prinsip Stoikisme, daripada melawan setiap hal kecil, lebih baik menerima segala hal yang terjadi, karena manusia tidak mengendalikan semua hal. Dalam konteks ini, tidak hanya penerimaan, tetapi mencintai segala sesuatu yang terjadi. Sulit rasanya untuk bersyukur atau bahagia terhadap sesuatu yang tidak pernah diinginkan datang. Selain itu, dalam kasus sensitivitas kecemasan para remaja dalam menghadapi pandemi dapat diatasi dengan menyadarkan pikiran bahwa energi negatif yang didapatkan akan menghasilkan tindakan negatif pula. Manusia kerap kali merasa bingung tentang mengapa suatu hal terjadi terutama hal-hal buruk yang menimpa. Dengan mengelola pikiran dengan baik, maka para remaja akan memiliki tingkat resiliensi yang tinggi untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Penulis: Eiben Heizer, Ratu Mutiara Kalbu (Magang)
Penyunting: Veronica Ayu Pangestika
Ilustrator: Inas Alimaturrahmah (Magang)
Referensi
A. Fauziah Astrid. (2020). JURNALISME POSITIF ALA PORTAL REPUBLIKA PADA ISU COVID-19. Mercusuar, 158.
Anne Kerr. (2004). Genetics and Society : A Sociology of Disease. London: Routledge.
Deshinta Vibriyanti. (2020). Kesehatan Mental Masyarakat: Mengelola Kecemasan di Tengah Pandemi Covid-19. Jurnal Kependudukan Indonesia, 72.
Johan Wahyudi Adiluhung. (2020). Sosiologi Pedesaan di Era Corona Virus 19. Madani.
Farmasetika.com. (2020, May 16). Stres di Masa Pandemi COVID-19 Pemicu Gangguan Kesehatan Mental. Dipetik October 10, 2020, dari Info Farmasi Terkini Berbasis Ilmiah dan Praktis website:
https://farmasetika.com/2020/05/16/stres-di-masa-pandemi-covid-19-pemicu-gangguan-kesehatan-mental/
Turner, J. (2019). The Power Of Stoicism: A Beginner Guide For Use Stoicism in Modern Life, Improve Your Life and Gain Calm, Resilience and Confidence. Toronto: Independently Published.
Wallace, L. (2016). Cognitive Behavioural Therapy: 7 Ways to Freedom from Anxiety, Depression, and Intrusive Thoughts. Bravura books.
Pythag Kurniati. (2020, October 17). “Korban Bunuh Diri karena Depresi Banyaknya Tugas
Online dan Sulitnya Akses Internet.” Dipetik October 29, 2020, dari KOMPAS.com website: https://regional.kompas.com/read/2020/10/18/05450041/-korban-bunuh-diri-karena-depresi-banyaknya-tugas-online-dan-sulitnya-akses
Sumaryono, E. (2018). Etika Dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Gramedia.
Nasional, T. K. (2020, Juli 20). Lindungi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Saat Masa Pandemi COVID-19. Dipetik November 3, 2020, dari Satgas COVID-19: https://covid19.go.id/p/berita/lindungi-kesehatan-jiwa-anak-dan-remaja-saat-masa-pandemi-covid-19
1 komentar
Terimakasih Sangat Bermanfaat