Dilansir dari Tempo.co, sejak Maret 2020 perekonomian di Yogyakarta mulai terpuruk dengan adanya pandemi COVID-19. Berbagai sektor penyokong perekonomian terdampak pandemi ini, tak terkecuali UMKM. Apalagi permasalahan struktural dari kebijakan pemerintah yang awalnya hanya sebuah kesan mulai tersingkap. Hal ini menuntut sinkronisasi antara pemerintah dan masyarakat dalam pemberdayaan dan pemberian bantuan.
Dilansir dari Tempo.co, sejak bulan Maret 2020 perekonomian di Yogyakarta mulai terpuruk dengan adanya pandemi COVID-19. Menanggapi itu, Dinas Koperasi dan UKM DIY, sebagaimana telah diwawancara pada 4 November 2020, menyatakan bahwa pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk membantu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bertahan di tengah pandemi COVID-19. Wisnu Hermawan selaku Kepala Bidang Layanan Kewirausahaan Koperasi UKM DIY menyebutkan bahwa kebijakan meliputi pembangunan pasar online bernama SiBakul Jogja, menggandeng platform online untuk mempermudah distribusi produk UMKM, mempermudah akses dalam membuka usaha, sosialisasi protokol kesehatan bersama pelaku UMKM, pelatihan business plan, dan memfasilitasi Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK) melalui Online Single Submission (OSS). “Itu semua bentuk kepedulian pemerintah agar UMKM berdaya,” tutur Wisnu.
Wisnu menyatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah untuk menangani masalah UMKM di masa pandemi COVID-19 sudah cukup baik. Upaya pemerintah tersebut disalurkan melalui bantuan modal sebesar 2,4 juta rupiah dan pemberian kredit murah bunga 0% dengan pembayaran 6 bulan tanpa jaminan. “Ada dua skema, pelaku UMKM ultra mikro diberi bantuan modal dan pelaku UMKM yang levelnya lebih tinggi dapat mengakses kredit di bank,” ujar Wisnu.
Namun, pada kenyataan di lapangan, Ady Prabowo, pengusaha Kulit Ayam Crispy menyatakan dirinya belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. “Semua sudah kita daftarkan, tetapi saya tidak dapat yang 600 ribu atau 2,4 juta,” ujar Ady. Selaras dengan pernyataan Ady, Prabu Purwanto juga menyampaikan hal yang sama. “Tidak ada bantuan, saya hanya dapat bantuan dari orang yang sedekah di jalan,” ujar Prabu.
Menanggapi hal ini, Hempri Suyatna, Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM menilai fungsi pendampingan pemerintah belum intens dalam pengimplementasian kebijakan-kebijakan khususnya di kala pandemi seperti sekarang. Dia menilai kebijakan pemerintah masih tumpang-tindih. “Banyak departemen dinas yang berjalan sendiri-sendiri, perlu adanya sinkronisasi kebijakan yang sudah dibuat,” ujar Hempri.
Ketidakselarasan Pemerintah dan UMKM Jogja di Tengah Pandemi
Berdasarkan upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah, Wisnu menjelaskan bahwa penyebaran informasi terkait bantuan dan kebijakan pemerintah sudah disebarkan melalui berbagai media yang ada. Informasi tersebut disebarkan melalui media baik konvensional seperti koran, radio, televisi maupun media sosial seperti Facebook, Instagram, YouTube. “Ada program pemerintah yang disampaikan lewat televisi juga, mungkin program televisi lokal lebih banyak diakses masyarakat bawah,” tambah Wisnu.
Berlawanan dengan yang disampaikan oleh Wisnu, Prabu Purwanto, penjual mi ayam membantah mengenai penyampaian informasi yang sampai kepada seluruh pelaku UMKM. Prabu menambahkan bahwa ia tidak mendapatkan informasi dan petunjuk dari pemerintah. “Belum ada informasi mengenai itu, seperti itu saya kurang tahu atau mungkin saya kurang berpendidikan dan pengalaman,” bantah Prabu.
Berkaitan dengan pemberdayaan UMKM di tengah pandemi, Pemerintah DIY membuat sebuah platform berupa pasar online yang dinamakan SiBakul Jogja. Selain menjadi platform pemasaran online, SiBakul Jogja juga berfungsi sebagai sistem pendataan UMKM berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). “Menurut data BPS, jumlah UMKM hanya 200 ribu tetapi saat kita mendata UMKM di SiBakul Jogja itu hampir 600 ribu melebihi ekspektasi yang selama ini,” jelas Wisnu.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Wisnu menyampaikan penjelasan terkait pelatihan digital yang dilakukan melalui SiBakul Jogja. Wisnu menjelaskan bagi para pelaku UMKM yang produknya tidak laku, akan diberikan perhatian mengenai foto produk, cara pemasaran, dan bisnis digital. Sedangkan bagi pelaku UMKM yang levelnya lebih tinggi, akan diberikan pelatihan mengenai sertifikasi halal, merek, dan kemasan. “Semua dapat diakses oleh pelaku asalkan daftar SiBakul Jogja,” tambahnya.
Berbeda dari penjelasan Wisnu, Ady menyampaikan, walaupun produk UMKM-nya sudah terdaftar dalam SiBakul Jogja, tetapi belum menghasilkan pendapatan dari platform tersebut. Mengenai pelatihan yang terdapat dalam program pemerintah, baik Ady maupun Prabu menyatakan sama sekali belum mendapatkan pelatihan yang disebutkan oleh Wisnu. “Tidak ada pelatihan dari pemerintah untuk memajukan inovasi usaha UMKM saya,” jelas Prabu.
Dengan adanya pandemi COVID-19, pedagang mi ayam, Prabu mengakui pendapatannya menurun drastis. Dia menyayangkan sebagian besar target pasarnya menghilang. Selain itu, dia juga kesulitan mencari modal. “Modal sangat mendukung adanya inovasi dalam usaha UMKM. Pengen jualan online, tetapi terkendala modal,” tuturnya Prabu.
Bantuan UMKM di Tengah Pandemi Terhambat Permasalahan Struktural
Hempri menilai bahwa permasalahan UMKM di tengah pandemi terikat oleh masalah panjang sebelum pandemi datang. Menurutnya, UMKM hanya dijadikan jargon ekonomi kerakyatan dan alat kampanye. Salah satunya jargon pada UU Ciptaker yang seolah-olah ingin memajukan UMKM, padahal menurut Hempri UU ini cenderung berwatak kapitalis dan eksploitatif. “Banyak kebijakan UMKM yang hanya menjadikan UMKM sebagai sebuah objek di balik kebijakan yang populis,” ujar Hempri. Menurutnya, UMKM hanya dijadikan sebagai sebuah ajang pertarungan bagi pihak-pihak tertentu, serta UU Ciptaker hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan pemilik modal daripada para pelaku UMKM. “UMKM harus sadar politik dan menjadi kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan,” tukas Hempri.
Hempri juga menilai bahwa terdapat politisasi terhadap UMKM yang menghambat pertumbuhannya di Indonesia karena agenda kebijakan selalu berorientasi kepada pemerintah, bukan rakyat. “Misalnya di tengah pandemi muncul UU Ciptaker yang lebih banyak berdampak negatif pada UMKM dan membuat mereka kurang bisa berkembang dengan baik,” ujarnya. Terlepas dari keunggulannya yang dapat memudahkan perizinan untuk para pelaku UMKM, menurutnya UU Ciptaker juga memiliki kelemahan berupa hancurnya nilai komunalitas dalam masyarakat.
Senada dengan Hempri, Ady selaku pengusaha Kulit Ayam Crispy berpendapat bahwa pemerintah seharusnya lebih berpihak kepada UMKM ketimbang perusahaan besar. “Bagaimanapun UMKM ini kan kecil-kecil tetapi pendapatannya bisa sampai puluhan juta. Nah, kalau krisis, perusahaan besar kan bisa langsung jatuh tumbang sedangkan UMKM tidak,” tegasnya.
Selain itu, Hempri menyampaikan bahwa permasalahan lain yang menghambat bantuan di tengah pandemi adalah kurangnya literasi digital. Menurutnya, harus ada edukasi ‘melek digital’ yang lebih baik kepada masyarakat agar bantuan dari pemerintah bisa sampai secara maksimal. Menurut Hempri, pemerintah dinilai kurang dalam memfasilitasi UMKM yang sedang bertransformasi di saat pandemi. Hempri berpendapat bahwa hal tersebut perlu diantisipasi oleh pemerintah agar ruang-ruang bagi UMKM baru dapat tercipta. “Misalnya transformasi dari korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai pedagang,” ujarnya.
Pandemi Mendorong Urgensi Sinkronisasi UMKM dan Pemerintah
Wisnu mengakui bahwa tidak ada angka yang pasti terkait pendataan UMKM di Yogyakarta. Hal itu didasarkan oleh Wisnu karena pendataan pemerintah yang baru dimulai pada tahun 2019, setelah pendataan tahun sebelumnya yang hanya didasari oleh asumsi belaka. Wisnu menerangkan bahwa pendataan tersebut dilakukan untuk memudahkan pemerintah dalam pemberian bantuan pada pelaku UMKM. Wisnu juga menambahkan pemerintah tidak mengetahui terkait data bantuan yang sudah diberikan kepada para pelaku UMKM, data tersebut hanya dimiliki oleh pihak perbankan. Menurutnya, pemerintah hanya membuka ruang sekaligus mengampanyekan bantuan dari pemerintah. “Kalau ditanya berapa persen UMKM yang sudah dapat bantuan susah menjawabnya, karena kita selalu on progress,” terang Wisnu.
Menanggapi hal itu, Hempri menilai bahwa hadirnya pandemi mendorong pemerintah untuk mensinkronisasi kebijakannya. Menurutnya, selama ini kebijakan pemerintah terhadap UMKM kurang sinkron sehingga perlu adanya konsistensi dalam mendorong kreativitas pelaku UMKM. “Pemerintah harus mendorong UMKM sebagai kekuatan ekonomi masyarakat,” tambah Hempri.
Senada dengan Hempri, Ady menyampaikan harapannya agar pemerintah mempunyai data yang valid mengenai UMKM agar bantuan yang diberikan tepat sasaran. “Saya berusaha menghargai pemerintah, tetapi berharap UMKM lebih diperhatikan lagi karena UMKM juga menopang ekonomi Indonesia,” jelas Ady.
Maka dari itu, Hempri menegaskan bahwa langkah dari pemerintah sejauh ini belum maksimal. Menurutnya, diperlukan adanya kerjasama yang baik antara antara pemerintah daerah dengan pemerintah desa agar proses pemberdayaan UMKM bisa menjadi lebih baik, apalagi dengan adanya UU mengenai Otonomi Desa. “Seharusnya kebijakan pengembangan UMKM ujung tombaknya adalah pemerintah desa,” pungkasnya.
Penulis: Abdul Azizul Hakim, Latifah Nirmala, Lokahita Pradipta, dan Ridha Fatmasari (Magang)
Penyunting: Affan Asyraf
Fotografer: Winda Hapsari Indrawati (Magang)