Produk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seringkali dinilai tidak pro rakyat dan melahirkan gelombang protes. Dalam berbagai pergolakan, mahasiswa selalu partisipatif dalam mengontrol dan menjaga keseimbangan antar pemangku kepentingan. Sejarah juga mencatat bahwa gerakan mahasiswa merupakan katalis bagi berbagai momentum perubahan di Indonesia. Akan tetapi, banyak kritik yang menyudutkan gerakan mahasiswa, salah satunya menyinggung elitisme dan efektivitas dalam aksi.
Berangkat dari tulisannya yang membandingkan gerakan mahasiswa tahun 1998 dengan yang sekarang, BALAIRUNG mewawancarai Amalinda Savirani (10-11), Dosen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Politik UGM, yang juga merupakan aktivis mahasiswa tahun 1998. Dalam kesempatan ini, ia memberikan pandangan mengenai kritik terhadap gerakan mahasiswa.
Elitisme gerakan mahasiswa saat ini sering disinggung oleh media. Bagaimana Anda menilai hal tersebut?
Elitisme mahasiswa hanya sebatas pada kondisi demografis sosiologis. Hal ini didasarkan pada data statistik di tahun 2018 yang menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa hanya sepuluh persen dari keseluruhan orang dengan rentang usia 19—23 tahun di Indonesia. Selain itu, sinisme muncul karena mahasiswa membawa identitas kampus ketika mereka bergabung dalam sebuah gerakan yang lebih luas. Namun, itu wajar karena sulit sekali mengontrol dan memanajemen aksi jika elemennya banyak.
Yang harus digarisbawahi adalah isu yang dibawa oleh gerakan mahasiswa tidaklah elitis, melainkan bersifat publik dan menyentuh masyarakat. Selain itu, kemunculan Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa sudah membuka diri dan tidak hanya berbasis di kampus.
Isu yang dibawa saat aksi sekarang tidak tunggal seperti tahun 1998. Bagaimana pendapat Anda terkait fragmentasi tersebut?
Meski tidak terjadi persatuan secara sempurna, seluruh gerakan tahun 1998 memiliki kesamaan yaitu soal otoritarianisme rezim. Tunggalnya isu yang diangkat pada aksi 1998 tidak dapat disamakan dengan aksi saat ini karena adanya perbedaan kondisi politik sehingga terjadi fragmentasi. Maksud fragmentasi dalam hal sosiologis yaitu variasi minat atau ideologi dari mahasiswa, ada yang cenderung nasionalis, islam, bahkan yang tidak peduli pada isu apapun. Ada pula fragmentasi kelas yaitu si kaya, si miskin, hingga yang sedang-sedang saja. Namun, gerakan moral ini tidak dapat bergeser menjadi gerakan politik mengingat masa mahasiswa terbatas hanya empat tahun.
Bagaimana pengalaman pribadi Anda saat mengawal turunnya Soeharto yang kondisinya jelas berbeda dengan gerakan mahasiswa sekarang?
Suasana saat itu tidak tenang dan diliputi ketegangan serta tekanan. Namun, semangat mahasiswa yang satu untuk melawan musuh bersama membuat aksi waktu itu solid. Saya dan beberapa teman lain ketakutan, tetapi mahasiswa saling menguatkan satu sama lain. Di tengah aksi yang ramai, saya sampai heran mengingat alat komunikasi yang terbatas saat itu. Dulu, informasi tersebar dengan bermacam cara mulai dari mulut ke mulut sampai melobi pimpinan-pimpinan organisasi. Kumpulan-kumpulan kecil yang dibawa oleh badan-badan mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa berkumpul pada saat aksi menjadi satu jaringan besar. Karena pada saat itu suasananya susah, kami juga punya skenario-skenario dalam menyiapkan berbagai kemungkinan.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai pihak yang turun aksi hanya demi mendapat atensi tanpa lebih dulu mengedukasi diri?
Berbeda dengan tempo dulu, mahasiswa sekarang bisa berdemo dengan lebih santai dan asik. Namun, muncul kekhawatiran bahwa mahasiswa tidak benar-benar paham mengenai isu yang diangkat. Menurut saya, saat demonstrasi pasti akan ditemukan golongan massa “cair” yang belum tentu paham mengenai isu yang diangkat. Namun, tidak masalah karena semakin banyak mahasiswa melebur bersama dalam aksi, semakin terasa solidaritas dan rasa saling memiliki. Implikasinya bisa dalam bentuk sorotan media, bahkan eskalasi menuju aksi yang lebih besar. Jadi, tidak apa-apa kalau ikut aksi meskipun belum paham soal isu yang diangkat, justru ini akan memantik kepedulian akan isu tersebut.
Akademisi adalah bagian dari kampus yang merupakan basis gerakan mahasiswa. Bagaimana seharusnya peran akademisi dalam menyikapi gerakan mahasiswa?
Sebagai akademisi, terutama di FISIPOL, rasanya aneh jika melarang mahasiswa untuk aksi mengingat pengawasan terhadap pemerintah serta isu sosial masyarakat adalah laboratorium bagi kita. Selain itu, akademisi juga merupakan anggota masyarakat yang punya hak politik untuk berbicara. Terlepas dari itu, akademisi sendiri berbasis kampus. Kampus berisikan orang-orang yang punya ilmu pengetahuan, sehingga seharusnya bisa memanfaatkan pengetahuan untuk berkontribusi mengawasi yang salah di negara ini. Saya merasa ilmu saya tidak berguna jika hanya diam. Bagi saya, ilmu itu bukan semata-mata soal profesionalisme, melainkan bagaimana ilmu itu bisa dikembangkan untuk kebermanfaatan yang lebih luas.
Banyaknya kerusuhan saat aksi menyebabkan masyarakat memandang negatif gerakan mahasiswa, bagaimana tanggapan Anda?
Kalau dari ilmu saya, ada perang wacana tentang bagaimana kita mempersepsikan kenyataan. Ada aksi yang berisi tuntutan dan masukkan terhadap suatu keputusan, tapi di sisi lain ada juga vandalisme. Keduanya merupakan kenyataan yang terjadi pada saat yang sama. Namun entah bagaimana, pemberitaan atau konstruksi dominan dari kenyataan tersebut hampir selalu terkait dengan vandalisme. Nah, pergeseran persepsi masyarakat itu sangat terasa. Masyarakat yang awalnya membela dan mengapresiasi mahasiswa, tiba-tiba berbalik 180 derajat karena melihat vandalisme akibat politik pemberitaan framing media.
Lalu, seberapa penting peran media dalam mem-framing gerakan mahasiswa?
Media merupakan peran kunci karena orang yang bukan merupakan saksi mata pasti merujuk pada pemberitaan media. Media berperan dalam membentuk persepsi dan mengonstruksi kenyataan sosial dan politik masyarakat karena medialah yang menyetir arah pemaknaan terhadap kenyataan. Ada banyak hal yang dapat dijadikan fokus pemberitaan, tapi mengapa yang dipilih hanya soal vandalisme? Selain itu, terdapat bias yang condong kepada kenyamanan, sehingga jika aksi dianggap mengganggu kenyamanan, aksi tersebut langsung didiskreditkan tanpa dilihat tujuannya. Contohnya seperti pengrusakan MRT di Jakarta. Hal itu memang memprihatinkan dan keliru, tapi kita harus mengingat bahwa ada situasi lain juga. Jadi, massa aksi harus sangat hati-hati karena ditakutkan ada pemberitaan yang cenderung bias.
Demonstrasi besar tidak sedikit memakan korban, tetapi tuntutan yang dibawa jarang terpenuhi. Apakah hal itu menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa tidak efektif?
Kalau gerakan mahasiswa masih dianggap sebagai gerakan moral, memang sulit untuk mengidentifikasi efektivitasnya. Ukuran efektivitasnya itu apa? Apakah isu yang naik? Apakah dipenuhinya tuntutan? Meskipun se-Indonesia turun ke jalan, belum tentu tuntutan dapat dikabulkan kalau tidak ada rancangan yang rapi dan sistematis untuk bisa memastikan sebuah tuntutan bisa diterima oleh pemerintah. Kalau menurut saya, apabila isu yang dibawa sudah meluas menjadi isu nasional, itu sudah keren sekali. Namun, apabila targetnya adalah sebuah keberhasilan tuntutan, saya kira terlalu jauh karena gerakan mahasiswa merupakan gerakan yang terbatas.
Penulis: Agnes Palupi, Athena Huberta Alexandra, Viola Hafilda (Magang)
Penyunting: Dina Oktaferia
Ilustrator: Rona Iffah (Magang)