Selama ini, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa komedi hanyalah sekadar pertunjukan hiburan. Namun, kenyataannya tidaklah demikian.
Pada awalnya, komedi merupakan salah satu aliran teater yang dipertunjukkan di Yunani sejak abad ke-6 SM. Ciri khas dari aliran ini adalah memiliki akhir cerita yang bahagia dan alur cerita yang orisinil. Kebebasan untuk membuat alur cerita ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh salah seorang dramawan komedi bernama Aristophanes.
Aristophanes, orang yang mendapat panggilan ‘The Father of Comedy’, kerap menggunakan komedi sebagai wadah untuk memberikan komentar dan kritik terhadap isu-isu sosial dan politik yang terjadi di Athena. Isu-isu yang dibahas seperti demokrasi, kebijakan publik, perang, dan pengaruh intelektualisme. Aristophanes menjadikan orang-orang yang berkuasa seperti politisi arogan, jendral haus perang, dan cendikiawan egois sebagai target serangan dari komedinya. Salah satu karyanya yaitu Knights secara eksplisit menyerang langsung seorang politisi kontroversial bernama Cleon (Rosen 2005).
Tidak berhenti di Aristophanes, penggunaan komedi sebagai ruang untuk menyampaikan kritik juga dilakukan oleh komedian di berbagai tempat dan era. Walaupun komedi bukanlah sesuatu yang secara khusus terasosiasi dengan kritik dan protes, terdapat suatu kedekatan antara komedi dan perlawanan. Komedi mampu mengubah teritorium dari perlawanan, cara penyampaian, serta strateginya. Partisipasi komedi untuk memobilisasi perlawanan memiliki peran penting dalam memajukan revolusi politik.
Salah satu hal unik yang dimiliki oleh komedi adalah kemampuannya untuk menyamarkan suatu kritik politis dengan tampilan luar berbentuk humor dan lelucon. Amy Billingsley, seorang filsuf feminis, mengatakan “pergerakan ini dapat berfungsi sebagai sebuah ‘mesin perang’ yang membelokkan kata-kata biasa dengan sedemikian rupa, yang awalnya terlihat sebagai formasi yang lazim (seperti Kuda Troya) tetapi kemudian terungkap menjadi sesuatu yang revolusioner dan mengejutkan.” Dalam pertunjukan komedi, seorang komedian sangat ahli dalam menginfiltrasi diskursus politik, sosial, dan budaya. Bagaikan kisah Kuda Troya, penonton pertunjukan komedi diibaratkan seperti orang-orang Troya yang menyambut kedatangan Kuda Troya dengan penuh rasa senang. Mereka berhasrat untuk mendapatkan kesenangan dari menonton pertunjukan komedi. Hal ini membuat mereka menjadi naif dan memberikan celah ke seorang komedian untuk melakukan “penyerangan” tersembunyinya.
Punching Up dan Punching Down
Dalam dunia komedi, terdapat suatu kode etik informal yang berpegangan bahwa seorang komedian semestinya mengarahkan intensi komedinya kepada mereka yang memiliki posisi yang mendapatkan keuntungan dari hierarki sosial. Hal ini disebut dengan “punching up”. Tidak hanya itu, seorang komedian juga tidak seharusnya melakukan “punching down”, yaitu menjadikan mereka yang secara historis telah termarjinalkan sebagai target dari komedinya. Praktik ini mengharuskan seorang komedian untuk lebih sadar akan posisi sosio-ekonomi dan privilese yang dimilikinya. Penerapan kode etik ini menyebabkan komedi memiliki standar “political correctness” tertentu. Political correctness merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan bahasa dan tindakan yang dimaksudkan untuk sebisanya tidak menyerang atau melukai perasaan pihak marjinal. Keberadaan hal ini kemudian menghasilkan pro dan kontra di antara para komedian.
Caren Holmes berpendapat bahwa budaya “political correctness” yang mengelilingi komedian ini tidak membentuk sebuah sensor yang melanggar kebebasan berpendapat individual. Hal ini justru merefleksikan tingginya permintaan masyarakat akan komedi berkualitas yang menantang norma sosial dibandingkan dengan komedi yang hanya menyerang tanpa tujuan. Permintaan untuk adanya “political correctness” ini mungkin bukan hasil dari rasa sensitif masyarakat yang berlebihan, melainkan permintaan untuk komedian agar mengedukasi dirinya tentang subjek yang ingin dibahasnya. Seorang komedian diharapkan untuk dapat mempertanggungjawabkan lelucon yang dibawakannya. Komedian tetap memiliki kebebasan untuk membuat lelucon mengenai apapun sesuai keinginannya, tetapi masyarakat juga memiliki kebebasan untuk mengkritik leluconnya.
Mengkritik dengan Komedi di Indonesia
Budaya untuk menjadikan komedi sebagai sarana kritik sosial juga diterapkan oleh beberapa komedian di Indonesia. Salah satu pelopornya adalah grup lawak legendaris, Warkop DKI. Kritik sosial yang disampaikan dapat terlihat dalam berbagai film komedi yang mereka bintangi, seperti Mana Tahaan, Pintar-pintar Bodoh, Depan Bisa Belakang Bisa, Gengsi Dong, Setan Kredit, Sama Juga Bohong, dan Pokoknya Beres yang mengungkapkan adanya krisis ekonomi yang tak kunjung usai. Melalui film-film tersebut, krisis ekonomi digambarkan dengan banyaknya perampok dan penculikan anak-anak kecil, penipuan yang merajalela, serta petani tidak bisa panen di waktu panen karena padi diserang hama.
Contoh lain di era yang lebih terkini adalah Pandji Pragiwaksono. Ia merupakan sosok komedian yang sering membawakan materi lawak mengenai berbagai keresahan masyarakat Indonesia seperti pendidikan, kerukunan umat beragama, politik, dan permasalahan sosial budaya. Selain Pandji, Indonesia juga sempat diramaikan oleh seorang komedian muda bernama Bintang Emon yang memberi kritik dalam bentuk lawakan terkait putusan 1 tahun penjara terhadap kasus penyiraman air keras Novel Baswedan.
Keberhasilan komedian-komedian ini membangun kesadaran masyarakat umum di Indonesia bahwa komedi bukan hanya tentang canda tawa semata, tetapi juga berbicara tentang kebebasan berpendapat. Namun, di era demokrasi saat ini justru terdapat sebuah undang-undang yang memberikan rasa tidak aman kepada para komedian dan berpotensi untuk mencederai demokrasi di Indonesia.
UU ITE Sebagai Ancaman terhadap Komedi
Indonesia memiliki sebuah undang-undangyang salah satu pasalnya berkontradiksi dengan kode etik punching up dan punching down, yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE adalah dokumen legislasi yang banyak menuai kontroversi. Undang-undang ini diperkenalkan dan disahkan pada tahun 2008 untuk mengantisipasi kejahatan di dunia maya. Akan tetapi, pada saat ini UU ITE kerap menjadi alat yang digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat.
Pada prinsipnya, UU ITE dapat digunakan untuk mencegah ujaran kebencian jika merujuk pada Pasal 28 Ayat 2 UU ITE. Kenyataannya, yang kini terjadi justru sebaliknya. Tidak sedikit kasus yang diajukan oleh aparat pemerintahan atau masyarakat kelas atas kepada masyarakat biasa, jurnalis, dan bahkan komedian. Tirto ID menyatakan bahwa dari total kasus pidana UU ITE sampai 2018, sebanyak 35.92% diajukan oleh aparat negara.
Ketika Setya Novanto diduga korupsi pada tahun 2017, masyarakat Indonesia di sosial media mulai menyampaikan pendapatnya. Mereka merespons dengan memberikan berbagai meme dan kritik pada politikus tersebut. Setya Novanto menyerang balik dengan mempidanakan sejumlah masyarakat yang merespons. Sebanyak 15 akun Twitter, 9 akun Instagram, dan 8 akun Facebook dikenai Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Walaupun pada akhirnya tidak ada yang dijatuhkan hukuman pidana, berbeda dengan kasus lain yang ternyata tidak beruntung. Pada tahun 2015, komedian Alvin/Febri Matondang dikenai pasal yang sama oleh artis papan atas pada saat itu, Sopina Rutami Nasution atau Bella Sophie. Matondang dianggap menghina Bella Sophie dalam penampilan video komedinya. Alvin mendapat hukuman pidana selama delapan bulan di penjara karena melakukan punching up.
Pasal yang Bermasalah
Masalah utama UU ITE terletak terutama pada Pasal 27 ayat 3, yaitu “pencemaran nama baik” sebagai tindakan yang dilarang. Pencemaran nama baik ini sering merujuk ke KUHP Pasal 310 dan Pasal 311, yang mengatur tentang perbuatan fitnah atau menuduh tanpa bukti. Pasal 310 menekankan bahwa suatu tindakan dapat disebut dengan penistaan apabila ada niat untuk merusak nama baik dan untuk menyiarkannya. Begitu pula pada Pasal 311 yang menekankan bahwa penistaan adalah perbuatan menista orang lain dalam bentuk lisan maupun tulisan dan tuduhannya tidak dapat dibuktikan secara benar. Definisi-definisi penistaan ini masih bersifat multitafsir; niat untuk merusak nama baik dan menyiarkannya bukan sesuatu yang dapat dibuktikan dengan bukti nyata.
Semisalnya dalam kasus Alvin Matondang dan Bella Shofie, Alvin tidak bisa dituduh memiliki niat untuk menjatuhkan Bella, karena keduanya tidak saling kenal secara pribadi. Posisi Bella sebagai seorang selebritas tentulah membuat dia lebih banyak mendapat kritikan dibandingkan orang awam atau orang yang dia tak kenal. Bahkan kata-kata yang diucapkan Alvin dalam videonya tidak dapat disebut sebagai tuduhan atau tindakan kriminal, karena Alvin memanggil Bella “kotoran hewan” atau “daki selangkangan”. Melakukan bully terhadap seseorang seperti itu juga bukan perlakuan menyebarkan informasi salah.
Masalah kedua di sini adalah UU ITE tidak memisahkan pencemaran nama baik dengan mengkritik. Bahkan, tidak ada undang-undang di Indonesia yang mengatur perbedaan penghinaan dengan kritikan. Artinya orang yang memberi kritikan tidak dapat pelindungan atas hak mereka berpendapat dan dapat diletakkan di ranah yang sama dengan penistaan, sesuka orang yang menggugat. Komedi sebagai bentuk kritikan juga mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, komedi dapat dikatakan lebih rentan karena komedi sering kali terkesan menghina, bukan kritikan konstruktif. Contohnya, seperti ucapan Alvin Matondang dalam videonya.
Media elektronik seharusnya menjadi wadah agar hak kebebasan berpendapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat dan menjunjung tinggi demokrasi. Walaupun UU ITE mengandung ayat yang berpotensi melindungi rakyat kecil dari ujaran kebencian, rakyat kecil juga sudah memiliki wadah untuk mengkritik komedian yang menggunakan panggungnya untuk punching down. Oleh karena itu, pengetahuan tentang punching up dan punching down penting sekali untuk diketahui oleh masyarakat. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat, ketika Dave Chappelle dan Ricky Gervais membuat lelucon yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap transpuan. Masyarakat yang sudah memahami punching up dan punching down dapat melakukan self-regulation. Kritikan mereka terhadap dua komedian ini cukup menimbulkan efek jera sehingga mereka meminta maaf kepada komunitas transpuan yang merasa terdampak.
Apabila Ricky Gervais, aktor dan komedian terkenal dan kaya raya dapat menggunakan UU ITE. Masyarakat yang berniat mengkritiknya tidak akan mendapat kesempatan karena sudah tergugat “pencemaran nama baik” terlebih dahulu. Sudah terbukti dalam penggunaannya UU ITE mengancam kebebasan berpendapat. Jika komedi dapat digolongkan sebagai bentuk menyampaikan pendapat, UU ITE juga membatasi kebebasan untuk tertawa. Komedi seharusnya bisa menjadi ruang untuk kebebasan berpendapat sebagaimana Aristophanes menggunakan komedi pada mulanya.
Penulis : M. Ihsan Nurhidayah dan Nabiyya Perennia (Magang)
Penyunting : Marshanda Farah Noviana
Illustrator : Zufar Marsa Elmy (Magang)
Referensi
Cartwright, Mark. “Ancient Greek Comedy.” Published March 25, 2013. https://www.ancient.eu/Greek_Comedy/
Gerintya, Scholastica. “Jerat UU ITE Banyak Dipakai oleh Pejabat Negara.” tirto.id, October 8, 2018. https://tirto.id/jerat-uu-ite-banyak-dipakai-oleh-pejabat-negara-c7sk
Holmes, Caren. “Laughing Against White Supremacy: Marginalized Performance of Resistance Comedy.” Senior Independent Study Theses, 2017.
Logan, Brian. “Dave Chappelle, Ricky Gervais and comedy’s ‘ironic bigotry’ problem.” The Guardian, April 3, 2017. https://www.theguardian.com/stage/2017/apr/03/dave-chappelle-ricky-gervais-standup-comedy-transgender
Major, Wilfred. The Court of Comedy : Aristophanes, rhetoric, and democracy in fifth-century Athen. The Ohio State University Press, 2013.
Nasution, Latipah. “Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Dalam Ruang Publik di Era Digital.” Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan 4, no. 3 (2020): 37-48. https://doi.org/10.15408/adalah.v4i3.16200
Nurhuda Heru C. “Kritik Sosial Dalam Film Komedi Warkop DKI Tahun 1980-1994.” Avatara 2, no. 3 (October 2014): 122-130.
Rosen, Ralph M. “Aristophanes, Old Comedy and Greek Tragedy.” University of Pennsylvania Repository, 2005. http://repository.upenn.edu/classics_papers/26
Safenet. “Daftar Kasus Netizen yang Terjerat UU ITE.” Last updated April 1, 2020. https://id.safenet.or.id/daftarkasus/
Siswanto, Angger, and Poppy Febriana. “Representasi Indonesia dalam Stand Up Comedy (Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough dalam Pertunjukan Spesial Pandji Pragiwaksono “Mesakke Bangsaku”).” Kanal 5, no. 2 (March 2017): 121-130. https://doi.org/10.21070/kanal
TED-Ed. “Why is Aristophanes called “The Father of Comedy”? – Mark Robinson.” Youtube, August 28, 2018. https://www.youtube.com/watch?v=arQ6U3ev5ic