Pada Desember 2020 mendatang, Indonesia akan kembali melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk meregenerasi struktur pemerintahan. Akan tetapi, pelaksanaan pilkada serentak ini banyak menuai pro dan kontra di masyarakat. Apa yang membuat pemerintah bersikukuh mengadakan pilkada di tengah pandemi? Bagaimana kesiapan negara dalam melaksanakan pilkada ketika kasus positif virus korona belum melandai?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Mada Sukmajati. Ia adalah pengamat politik sekaligus Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM. Ia juga pernah menjadi Ketua Tim Panitia Seleksi Anggota Panwas Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo untuk Pemilihan Walikota Yogyakarta dan Bupati Kulon Progo tahun 2017. Dalam wawancara ini, Mada memberikan pandangannya mengenai pelaksanaan pilkada serentak di tahun 2020.
Bagaimana pendapat Anda mengenai pelaksanaan pilkada serentak di tengah pandemi?
Pelaksanaan pilkada serentak di tengah pandemi bukanlah suatu hal yang unik, karena Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menyelenggarakannya. Meskipun demikian, ada delapan puluh negara yang tetap melaksanakan pemilunya, termasuk Korea Selatan, Selandia Baru, beserta Jerman.
Bagaimana status pandemi di negara-negara tersebut saat dilaksanakan pemilu? Apakah memungkinkan bagi Indonesia untuk menyelenggarakan pemilu dalam situasi seperti ini?
Amerika Serikat memiliki jumlah kasus Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang tinggi. Selandia Baru pada saat penyelenggaraan pemilu pun tingkat kasus COVID-nya menurun, tetapi kembali muncul gelombang kedua dari kasus COVID-19. Padahal, pemerintah Selandia Baru sendiri sering menjadi model karena dapat mengelola pandemi. Untuk Indonesia, perlu dipetakan dahulu sisi pro dan kontranya.
Mengapa pemerintah bersikeras mengadakan pilkada serentak di tengah situasi seperti ini?
Terdapat dua alasan bagi pemerintah untuk tetap menyelenggarakan pilkada di tahun 2020. Hal tersebut dapat ditafsirkan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pertama, dimensi ketidakpastian dari berakhirnya pandemi COVID-19. Kedua, stabilitas politik pemerintahan dalam negeri. Hal ini berkaitan dengan tujuh ratus daerah yang akan mengganti pimpinannya, baik gubernur maupun bupati/wali kota.
Selain itu, pandemi COVID-19 yang tidak dapat dipisahkan dengan resesi ekonomi bagaikan dua sisi dalam sebuah koin. Pilkada diharapkan dapat membangkitkan pertumbuhan ekonomi, terutama di tingkat lokal. Pilkada juga sebagai wadah bagi calon kepala daerah untuk menawarkan visi misi program yang konkret terkait penanganan pandemi.
Bagaimanakah kestabilan pemerintah yang dikhawatirkan?
Hal ini menyangkut kekosongan jabatan dari 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada. Akan ada delapan provinsi yang tidak memiliki gubernur, 224 kabupaten yang tidak memiliki bupati dan 37 kota yang tidak memiliki wali kota. Padahal, dalam situasi pandemi dan resesi ekonomi seperti sekarang, dibutuhkan kepemimpinan terutama di tingkat lokal. Diharapkan kepala daerah dapat andil dalam pengambilan kebijakan publik yang strategis. Misalnya pengalokasian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi.
Bagaimana reaksi masyarakat mengenai pelaksanaan pilkada serentak 2020?
Tentu terjadi gejolak. Beberapa waktu lalu, PolGov, Pusat Riset Politik dan Pemerintahan, Departemen Politik dan Pemerintahan UGM mengumpulkan respons warganet dari Twitter. Pada saat itu, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merekomendasikan untuk menunda pilkada ke tahun depan. Berdasarkan analisis data, terjadi lonjakan kurang lebih 52.000 cuitan yang sehubungan dengan isu tersebut. PolGov mencatat ada beberapa tagar yang sering disebutkan dan di-tweet ulang di antaranya #pilkadamaut, #stoppilkadamaut, dan #pilkadabencana, yang nuansanya sangat negatif. Hal tersebut menunjukkan kekhawatiran masyarakat apabila pilkada diselenggarakan di saat pandemi. Alasan NU dan Muhammadiyah tentu saja kemanusiaan, kesehatan publik, kemaslahatan publik, dan lain sebagainya. Namun, fenomena mengenai penundaan pilkada ini tidak berlangsung lama. Hanya ramai dibicarakan selama dua sampai tiga hari kemudian turun drastis lagi.
Menurut Anda, bagaimana sebaiknya cara Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan penyelenggaraan pilkada sesuai dengan protokol kesehatan?
Sampai sejauh ini, KPU sudah menyiapkan berbagai strategi untuk mempersiapkan pilkada 2020 sehingga diharapkan tidak menghasilkan klaster baru COVID-19. Hal itu juga sudah dituangkan dalam berbagai keputusan Sasaran Kinerja Pegawai KPU, misalnya membatasi kampanye tatap muka maksimal dihadiri lima puluh peserta, dan mendorong kampanye daring. Menurut saya, kampanye daring belum berjalan secara maksimal sehingga peserta lebih mengandalkan pada kampanye tatap muka. Dalam tahapan kampanye, harus ada pemantauan dan evaluasi. Tidak perlu menunggu hingga tahapan kampanye selesai. KPU telah merencanakan persiapan teknis lainnya sehubungan dengan pemilih yang rentan dan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tidak maksimal. Di TPS akan disediakan masker dan hand sanitizer. Hal yang dilakukan KPU tersebut merupakan bentuk kesiapan dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang baik dan benar. Meskipun belum sepenuhnya dapat meyakinkan publik untuk menggunakan hak pilihnya.
Hal yang perlu dilakukan oleh KPU adalah kampanye terus-menerus kepada masyarakat bahwa mereka sudah mengantisipasi dan mempersiapkan pilkada seoptimal mungkin. Kekhawatiran masyarakat pun diharapkan dapat berkurang, sehingga tingkat partisipasi tidak menurun secara drastis.
Apakah ada prediksi mengenai tingkat partisipasi masyarakat?
Ada kekhawatiran terhadap penurunan tingkat partisipasi, meskipun ada spekulasi akan tinggi karena adanya politik uang. Partisipasi yang dimaksud tidak hanya dalam penggunaan hak suara, tetapi juga dalam seluruh tahapan, seperti pembentukan panitia Ad Hoc dan kampanye. Di banyak daerah, tahapan ini harus diperpanjang. Artinya, tidak mudah bagi KPU untuk merekrut penyelenggaraan Ad Hoc. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, seperti pandemi, rendahnya honor, tuntutan pekerjaan yang besar. Partisipasi anak muda tidak terlalu menjadi fokus bagi KPU bahkan bagi peserta pilkada. Padahal, partisipasi generasi muda sangat krusial.
Sejauh ini, adakah alternatif yang digunakan KPU dalam pelaksanaan pilkada 2020?
E-voting dan early voting melalui pos sudah tidak mungkin menjadi alternatif. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pemungutan suara sudah pasti tidak dapat dilakukan. Namun, KPU sudah merancang pemanfaatan teknologi terkait rekapitulasi suara sehingga prosesnya dapat efektif dan efisien dengan mengandalkan TPS. Selain itu, terdapat wacana bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara untuk mendatangi pemilih yang tidak dapat datang ke TPS.
Apakah ada peraturan yang mengatur pelaksanaan pemilu pada saat genting seperti sekarang?
Sudah ada UU yang mengatur pemilu dan pilkada dalam keadaan genting yaitu bencana alam. Namun, belum ada peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu dan pilkada di situasi pandemi seperti sekarang.
Menurut Anda, siapakah pihak yang paling bertanggung jawab ketika terjadi lonjakan kasus positif COVID-19 setelah diselenggarakannya pilkada ini?
Pemerintah selaku penyelenggara dapat dikatakan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Bukan hanya presiden, melainkan juga DPR yang bertindak sebagai pengesah UU. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi secara berkesinambungan terkait penyebaran COVID-19. Pada tahapan kampanye perlu diadakan evaluasi mengenai lonjakan kasus di daerah yang menyelenggarakan kampanye. Hal ini menunjukkan bahwa tahapan pilkada sangat berkontribusi terhadap penyebaran virus. Namun, faktor penyebaran virus tidak dapat dinilai dengan mudah. Sejauh ini, belum terdapat metode yang akurat untuk membuktikan sejauh mana dampak dari tahapan pilkada terhadap peningkatan kasus. Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pilkada tahun 2020 akan ditunda lagi.
Penulis: Zhafira Putri Salsabila, Amarapallevi, Achmad Hanif Imaduddin (Magang)
Penyunting: Syifa Hazimah H.A.
Ilustrator: Dwi Nanda Renaldy (Magang)