Sembari menuntun sepeda ontel kuno kesayangannya, seorang pria muda mendatangi kami di sebuah warung kopi di Kasihan, Bantul, DIY, Sabtu (31-10). Tampil bergaya nyentrik, berbalut baju lurik dan jarik, lengkap dengan ikat kepala khas Abdi Dalem Keraton Yogyakarta mengindikasikan bahwa pria ini adalah Gibran yang bukan calon walikota. Dialah seorang dalang muda asal Jakarta, yang saat ini menempuh pendidikan di program studi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Tepat 19 tahun yang lalu, pria bernama lengkap Gibran Nicholau Papadimitriou ini lahir dan dibesarkan dari rahim sineas kondang Indonesia, Nia Dinata. Serta Ayah berdarah Yunani, keturunan dari Kakeknya seorang kolektor lukisan sejak 1960-an. Alih-alih meneruskan profesi orang tua yang memiliki prospek yang menggiurkan, Gibran justru mantap untuk terjun dalam dunia pewayangan. “Tidak ada latar belakang keluarga dalang, pun juga setetes darah Jawa sedikitpun, akan tetapi saya dapat mengaktualisasikan diri melalui wayang,” ucap Gibran.
Meskipun demikian, Gibran mengaku bahwa Ibu Nia memiliki peran besar dalam awal mula perjumpaannya dengan wayang. Kala itu, menginjak bangku SMP, ia sempat mengalami krisis religi yang membuatnya bertanya-tanya tentang keberadaan Tuhan. “Selama fase krisis, tiba-tiba Ibu saya mengajak menyaksikan pertunjukan wayang dalam perayaan Malam Satu Suro di Yogyakarta, dan saat itulah saya merasakan sosok Tuhan dalam bayang-bayang wayang,” saut Gibran.
Tak sampai di situ saja, Gibran lantas bersemangat mengikuti ritual-ritual kebudayaan Jawa. Mulai dari ritual nyadran, semedi, hingga larung sesaji. Menurutnya, dari kegiatan-kegiatan itulah ia dapat menemukan ketenangan. Selain itu, berkat bantuan ilmu kawruh dari Darwin Tse, saudaranya yang merupakan penghayat kepercayaan Kejawen, Gibran juga berhasil memaknai filosofi pewayangan. “Hidup ini ternyata gilir gumanti, seperti layaknya seorang dalang dalam pertunjukan wayang. Demikianlah, saya memutuskan untuk menjadi dalang,” paparnya, sambil menghisap rokok tingwe di tangan kirinya.
Perjalanan untuk menjadi seorang dalang, diakui Gibran tidaklah mudah, tetapi ia tetap berusaha untuk mengasah. Yakni, dengan cara belajar sendiri dan berguru kepada para senior yang ahli dalam hal pedalangan. “Guru pertama saya, Ki Agustinus Sardjono Hadisurjo, bersama beliau banyak belajar tentang suluk, voice acting, dan sastra,” jelas Gibran. Selain Mbah Sardjono, menurutnya juga ada beliau Ki Radyo Harsono, Pak Haryo, dan Pak Eko Sunyoto. “Serta Ki Margiono Bagong yang mengajari saya tentang cengkok untuk menemukan ciri khas dan identitas diri seorang dalang,” lanjutnya.
Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, Gibran dikukuhkan sebagai dalang muda dengan sematan nama Ki Kawipujo Permadi oleh Mbah Sardjono. Meskipun demikian, menurut Gibran, sematan itu hanyalah nama panggung yang ia gunakan ketika mementaskan pertunjukan wayang. Ia tidak sedikitpun merasa jumawa ketika disebut sebagai seorang dalang. “Mau panggil saya dalang, seniman, atau wong edan sekalipun, inggih monggo, intinya saya akan terus belajar dan berkarya mengembangkan nilai tradisi yang progresif,” kata Gibran.
Karya panggung terakhirnya sebelum pandemi COVID-19 melanda, yakni saat pagelaran wayang kulit memperingati Hari Wayang Nasional tahun 2019. Digelar di Museum Seni Jakarta, malam itu, Ki Kawipujo Permadi berhasil membius ratusan penonton yang hadir dengan lakon “Nakula Sadewa Murka”. Sebelumnya, ia juga pernah mementaskan wayang dalam beberapa kesempatan, di antaranya dalam peringatan Hari Santri Nasional di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Bogor dan dalam acara peluncuran dan pembacaan buku “Anatomi Rasa” di Jakarta. Ia juga pernah menjadi pembicara dalam acara “Generasi Kini Bicara Tradisi” yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud.
Ditanya mana yang paling berkesan, Gibran menjawab dengan rasa rikuh bahwa momen yang paling berkesan adalah ketika memainkan peran Petruk yang menirukan gaya Bu Tejo di film pendek “Tilik”. “Celakanya, tuding Petruk tiba-tiba lepas dan tentu saja, semua penonton tertawa terbahak-bahak,” tutur Gibran. “Namun, itu cerita dahulu, dalam suasana pandemi sekarang ini, jangankan menggelar pementasan wayang, bertemu dengan sesama teman dalang pun susah,” tandasnya melanjutkan.
Akan tetapi, segala cara akan Gibran lakukan demi tujuan tulusnya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang lokalitas Nusantara, khususnya wayang. Melalui relasi yang dimiliki, ia berhasil tampil di sejumlah program stasiun TV, baik nasional atau swasta hanya untuk sekedar bercerita soal dunia pedalangan. “Niat tulus saya dalam mendalang bukan hanya untuk materi, tetapi berusaha menjadi anak muda yang melestarikan tradisi di tengah arus modernisasi,” tuturnya. Sehingga, cara-cara baru yang lebih kekinian ia lakukan agar budaya wayang yang terkesan kuno menjadi lebih diterima oleh generasi milenial.
Misalnya, melalui beberapa platform media sosialnya, seperti Instagram dan Facebook, Gibran rajin mengunggah konten-konten yang memuat informasi tentang wayang dan sebagian aktivitasnya sebagai dalang. Hal itu dilakukannya untuk mengampanyekan nilai-nilai tradisi yang dikemas secara sederhana dan kekinian kepada masyarakat secara luas. “Ini adalah wujud tindakan progresif dalam rangka mengembangkan nilai lokalitas yang mudah diterima oleh generasi milenial,” ucap Gibran.
Terbukti, Taruna Dharma Jati, salah satu teman Gibran di Facebook mengaku bahwa ia terinspirasi dengan beberapa postingan Gibran yang mengulas tentang tradisi. “Saya tidak menyangka sebelumnya, berkat Gibran, dari yang awalnya berteman dan saling bertukar ilmu di Facebook, sekarang menjadi teman satu prodi,” ujar Dharma. Menurutnya, Gibran adalah sosok yang berani melawan arus dan memiliki pemikiran tentang budaya yang luas dan kritis. “Usaha simbolisasinya melalui busana tradisi yang ia kenakan sehari-hari berhasil membuat sindiran halus kepada kami, suku Jawa asli,” ujarnya lagi.
Senada dengan hal itu, Jose Amadeus Krisna, teman dekat Gibran yang juga berprofesi sebagai dalang, juga sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Gibran. Menurut Jose, teman yang sudah dianggap saudaranya sendiri itu mampu merangkul banyak teman untuk mencintai tradisi, sebab ia konsisten dan total dalam menekuni gairahnya di bidang kebudayaan. “Pembawaanya dalam pakeliran juga sangat sederhana tanpa menghilangkan kaidah pedalangan, sehingga banyak anak muda yang tertarik,” tambah Jose saat kami hubungi melalui telepon.
Gibran yang sudah terlihat lihai dalam memainkan wayang, nyatanya masih terus belajar di sekolah pedalangan Keraton Yogyakarta, Habirandha. Sri Mulyono, S.Sn., akademisi sekaligus pamong di Habirandha berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Gibran selaras dengan pentingnya mengikat nilai tradisi ke generasi muda. “Seni pedalangan perlu lestari dan berkembang, namun semaju-majunya perkembangan jangan sampai meninggalkan nilai etika dan estetika, maka diperlukan proses belajar mendalam,” tuturnya.
Sri Mulyono, yang juga merupakan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta mengamati bahwa Gibran adalah wujud nyata generasi milenial yang mencerminkan nilai-nilai lokalitas Nusantara. Tekad Gibran yang kuat untuk mendalami budaya Jawa, yang dimulainya dengan jalan spiritual dan didukung pemikirannya yang luas, menurutnya merupakan bekal emas untuk menjadi dalang progresif di masa depan. “Masih banyak hal yang perlu dipelajari, semoga takdir Tuhan berpihak kepada Gibran untuk konsisten dalam seni pedalangan yang memberikan harapan akan kelestarian seni tradisi Nusantara,” pungkasnya.
Penulis: Abiyyu Genta Rijadianto, Amanda Diva Nareswari, Nisa Puspita Mawadati (Magang)
Penyunting: Haris Setyawan
Fotografer: Winda Hapsari (Magang)
1 komentar
Luar biasa.Apa yg digembar gemborkan orang bahwa wayang akan hilang dari peredaran ternyata tidak terbuktiSaya terharu dg loyalitas mas Gibran dg kesenian wayang.