Isu sampah elektronik merupakan istilah yang belum familiar di telinga masyarakat Indonesia. Meskipun begitu, problematika sampah elektronik sudah menjadi keprihatinan dunia hingga saat ini. Pesatnya perkembangan teknologi disertai gaya hidup konsumerisme menjadi akar penyebabnya. Komunitas EwasteRJ merupakan salah satu pelopor dalam menanggapi permasalahan sampah elektronik di Indonesia.
EwasteRJ merupakan komunitas yang berfokus pada kampanye budaya pengelolaan sampah elektronik yang baik dan benar. Mereka melawan isu sampah elektronik dengan kampanye dan membuat sistem yang menyediakan wadah pembuangan sampah elektronik bagi masyarakat. Rafa Jafar, selaku pendiri dari komunitas EwasteRJ menjabarkan, bahwa komunitas yang telah memiliki lebih dari 20 agen pengumpul sampah di Indonesia ini, sudah cukup lama memperhatikan seriusnya permasalahan sampah elektronik. “Komunitas ini didirikan enam tahun yang lalu,” tambahnya.
Komunitas ini dahulu berdiri atas dasar inisiatif Rafa dalam mewujudkan kepedulian akan sampah elektronik dalam lingkup yang kecil. Adapun sebagai visinya dalam bekerja sekarang, Rafa memaparkan bahwa, EwasteRJ mengedepankan aspek campaign & collect. Aspek campaign berbicara mengenai edukasi masyarakat terhadap persoalan sampah elektronik. Hal itu dapat dilihat ketika mereka hadir di tengah masyarakat lewat webinar, ruang diskusi, ataupun kegiatan sebagai bentuk kampanye akan keprihatinan isu sampah elektronik. Adapun aspek collect menguraikan wujud nyata solusi EwasteRJ dalam mewadahi sampah elektronik masyarakat yang kian hari jumlahnya makin memprihatinkan. Aspek tersebut mereka buktikan dengan membangun sistem drop box yang merupakan wadah berbentuk kotak tersegel. “Drop box tersebut diletakkan di berbagai ruang komunal agar dapat dijangkau masyarakat,” jelas Rafa.
Rafa menjelaskan, bahwa EwasteRJ hanya mengumpulkan sampah tersebut, kemudian mereka menjalin kerjasama dengan perusahaan pendaur ulang sampah elektronik. Komunitas ini mengumpulkan sampah elektronik yang berasal dari berbagai drop box dan kiriman paket sampah, kemudian sampah tersebut disortir di gudang mereka. Setelah sampah tersebut berjumlah 800 kg sampai 1 ton, mereka mengirimnya ke perusahaan pendaur ulang sampah elektronik. Hal itu disebabkan perusahaan pendaur ulang tidak menerima jumlah sampah berintensitas kecil. Sekali mendaur ulang sampah elektronik, perusahaan pendaur ulang membutuhkan energi dan dana yang besar.
Joko Wintoko, ahli Pengolahan Air dan Limbah Industri dari Departemen Teknik Kimia UGM menjelaskan bahwa, sampah elektronik adalah segala jenis peralatan yang mempergunakan listrik atau baterai yang sudah dibuang. Dia juga menjelaskan, sampah elektronik memiliki jenis beragam. Jenis tersebut dapat dibedakan berdasar sumbernya, misalnya yang berasal dari rumah tangga seperti mixer, kulkas, oven, mesin cuci, water heater, dan lainnya. Kemudian yang berasal dari alat telekomunikasi seperti charger, HP, televisi, radio, DVD Player, dan laptop. Selain itu, sampah elektronik sendiri dapat bersumber dari peralatan medis yaitu thermo gun, tensimeter digital, elektrokardiogram, ventilator, dan DC Shock.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014, sampah elektronik termasuk dalam kategori limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) sehingga pengelolaan limbah elektronik ini tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Joko menambahkan, bahwa materi yang tersusun dalam pembuatan barang-barang elektronik ini tidak bisa terurai sehingga jenis sampah ini memenuhi sebagian besar TPA. “Apabila terus terakumulasi dan dibuang di alam begitu saja, sampah elektronik dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi logam berat pada alam,” tegas Joko.
Joko juga berpendapat bahwa regulasi yang mengatur persoalan ini cakupannya masih terlalu umum, seperti UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Sependapat dengan Joko, Rafa juga menjelaskan bahwa efek samping yang ditimbulkan sampah elektronik ini bersifat jangka panjang, sehingga baru akan terasa dampaknya lima sampai sepuluh tahun mendatang. Hal ini bisa terjadi apabila sampah elektronik tidak dikelola dengan tepat, misalnya dibakar ataupun ditimbun ditanah.
“Jika dibiarkan saja, akumulasi sampah elektronik tersebut akan berkarat dan mencemari lingkungan sekitar,” jelas Joko. Selain itu, pengelolaan yang tidak tepat juga bisa menyebabkan terjadinya kebocoran zat beracun yang terkandung di dalam sampah elektronik tersebut. Zat beracun yang dimaksud antara lain seperti timbal, kromium, beryllium dan zat beracun lainnya yang membahayakan tubuh karena dapat mengakibatkan kerusakan otak, kecacatan, penyakit jantung serta resiko kesehatan lainnya.
Rafa memaparkan bahwa, pergeseran kehidupan masyarakat menuju era digitalisasi adalah salah satu sebab utama meningkatnya intensitas sampah elektronik. Pergeseran ini membuat permintaan akan barang-barang elektronik pun meningkat, sehingga otomatis sampah elektronik yang dihasilkan pun bertambah. EwasteRJ dalam setiap kegiatan atau sosialisasi yang dilakukan selalu mendorong setiap produsen elektronik agar mau menerima sampah-sampah atas produk mereka sendiri. “Tingginya permintaan akan barang-barang elektronik di pasar berbanding lurus dengan sampah elektronik yang nantinya dihasilkan,” tambah Rafa.
Rafa berpendapat, dalam menggunakan barang elektronik, masyarakat cenderung terjebak dalam pola pikir mengutamakan harga yang murah dibanding kualitas yang baik. Hal ini berdampak pada semakin banyaknya sampah elektronik yang dihasilkan karena barang elektronik yang digunakan tersebut relatif cepat rusak. Untuk itu, EwasteRJ hadir untuk merubah pola pikir masyarakat akan hal ini. EwasteRJ juga secara aktif mengenalkan masyarakat dengan konsep circular economy, di mana konsep ini mengedepankan penjagaan pada material yang bermanfaat agar dapat terus menerus dipakai dan didaur ulang untuk mengurangi limbah.
Sementara itu, untuk rencana EwasteRJ ke depan, Rafa dan timnya memiliki fokus untuk terus menambah mitra, agen serta rekan kerjasama seperti perusahaan-perusahaan. EwasteRJ juga mengusung konsep baru sebagai upaya untuk mencapai tujuan di masa depan, antara lain aktif mendorong konsumen elektronik yang bijak, pintar, serta bertanggung jawab dalam penggunaan alat elektronik, aktif dalam mengadvokasi pemerintah dan perusahaan, menciptakan ekonomi sirkuler serta mendorong budaya daur ulang sampah elektronik dengan benar.
Menurut Rafa, beberapa orang menganggap sampah elektronik sebagai barang bernilai tinggi, maka keamanan drop box perlu dijaga. Untuk menjamin keamanan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, mulai dari diameter lubang yang kecil, kotak yang harus terkunci hingga peletakannya yang tak bisa sembarangan seperti kotak sampah pada umumnya. “Pastinya kita juga berharap untuk terus menambah titik drop box dan agen,” lanjut Rafa lagi. Untuk menghasilkan drop box yang banyak, tentu dibutuhkan dana yang banyak pula. Sebagai organisasi nirlaba, terkait masalah pendanaan, Rafa mengatakan bahwa beberapa waktu lalu EwasteRJ mendapatkan donasi dari perusahaan dan berdampak besar terhadap progres EwasteRJ.
Pada 2018, Athirra dan Fidelia menyetorkan sampah elektronik mereka melalui drop box EwasteRJ yang terdapat di SMP Labschool Kebayoran, Jakarta Selatan. Athirra dan Fidelia mengaku pertama kali mengetahui tentang EwasteRJ karena melihat drop box yang terdapat di sekolahnya saat itu. Fidelia mengungkapkan alasannya menyetorkan sampah elektronik lewat EwasteRJ adalah karena kebetulan ia memiliki sampah elektronik dan melihat EwasteRJ sebagai media yang tepat untuk membuangnya. Fidelia dan Athirra menyetujui bahwa EwasteRJ membawa dampak yang positif. Athirra merasa bahwa salah satu barang bekas yang paling sering menumpuk di rumah secara tidak sadar dan akhirnya menjadi sampah adalah barang elektronik bekas. “Kesadaran saya akan pentingnya pengelolaan sampah elektronik secara tepat meningkat dengan hadirnya EwasteRJ ini,” jawab Athirra.
Berbicara mengenai kehadiran komunitas sampah elektronik, Rafa berharap EwasteRJ dapat memiliki mesin daur ulangnya sendiri agar tidak terus bergantung. Rafa juga bercita-cita agar suatu saat, EwasteRJ tidak hanya menerima sampah elektronik dalam skala rumah tangga, namun juga mencakup skala perusahaan. Selain itu, menurut Rafa, pemerintah juga memegang peranan penting untuk mendorong perusahaan produsen dalam pengadaan program pengelolaan sampah elektronik yang dihasilkan oleh konsumen mereka. “Perlu adanya kerja sama yang bersinergi antara pemerintah dan perusahaan produsen dalam rangka pengelolaan sampah elektronik,” pungkasnya.
Penulis: Albertus Arioseto, Ridha Mukti Inayah, Akhmad Fadhilah (Magang)
Penyunting: Salwa Azzahra
Fotografer: Fairuz Azzura (Magang)