Pernyataan kesanggupan untuk memberikan perlindungan terhadap mahasiswa korban doxing sudah dilontarkan pihak universitas. Namun, sampai saat ini transparansi proses perlindungannya belum sampai ke telinga mahasiswa. Lalu, akankah perlindungan ini benar-benar diberikan atau hanya sekedar wacana penyejuk saja?
Mahasiswa UGM bernama Azhar Jusardi Putra menjadi korban pelanggaran data pribadi atau doxing. Ia dituduh sebagai provokator kerusuhan dalam aksi massa pada tanggal 8 Oktober 2020 di Gedung DPRD DIY melalui poster âwantedâ yang tersebar melalui media sosial. Sebelum kasus ini, pada bulan Mei 2020, juga telah terjadi kasus penyiksaan siber yang menimpa panitia dan narasumber diskusi Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM.
Menurut Fatia Maulidiyanti selaku Koordinator dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), penyiksaan siber (cyber torture) merupakan sebuah terminologi baru dalam isu penyiksaan yang diakibatkan beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh negara, aktor nonnegara, serta penjahat terorganisir melalui media digital. Dampaknya cenderung menyerang psikis para korban, berbeda dengan yang ditimbulkan dari penyiksaan fisik. âKita melihat bahwa korban mengalami trauma dan rasa takut, sehingga mereka tidak mendapatkan kebebasan seperti semula,â jelas Fatia. Penyiksaan tersebut dapat berupa doxing, peretasan, stigma, diskriminasi, dan lain sebagainya yang mengakibatkan beberapa kesakitan baik secara fisik maupun secara mental, seperti trauma, rasa takut, stres.Â
Kasus doxing yang dialami Jusardi ini bermula dari akun Twitter @demoanarki yang mulai mengunggah data pribadi korban berupa foto yang disertai dengan keterangan nama lengkap, fakultas, NIM, tahun angkatan, daerah asal serta provokasi untuk mengambil sikap keras atas yang bersangkutan. Kemudian unggahan ini juga diteruskan oleh akun Twitter @NCI4NKRI dan merambah ke Instagram melalui akun  @sewordofficial_. âKronologinya dimulai dari akun demo anarki, kemudian lanjut ke nasionalis cyber Indonesia dan masuk ke seword,â ujar Jusardi.
Jusardi juga menjelaskan bahwa kejadian tersebut terjadi setelah aksi di Malioboro pada tanggal 8 Oktober 2020. Unggahan tersebut tersebar dengan cepat pada 19 Oktober 2020. Tepatnya, satu hari sebelum aksi lanjutan di bunderan UGM yang dilaksanakan pada 20 Oktober 2020. Bahkan sebelum di-take down, pada tanggal 20 Oktober akun Instagram @sewordofficial_ mengunggah sebuah video berisi tuduhan yang menyatakan bahwa korban merupakan seorang ‘ateis-marxis’. Selain beredar melalui Twitter dan Instagram, konten ini juga disebarkan secara masif dan provokatif melalui WhatsApp.
Sebagai korban doxing, banyak sekali kerugian yang diterima Jusardi. Tidak hanya menimpa dirinya sendiri, keluarga dan teman terdekat pun turut terkena imbasnya. Dampak tersebut berupa terganggunya aktivitas dan pekerjaan kedua orang tuanya, serta timbul gunjingan dari orang-orang yang terhasut oleh hoax tersebut. âMedia sosial ibu dan ayah saya dikata-katai serta teman-teman dekat saya di UGM juga kena,â jelas Jusardi.
Dengan adanya kasus ini, Jusardi merasa dirinya juga mengalami banyak kerugian, terutama secara psikis. Mentalnya terguncang, akibat banyak sekali beredar ancaman dan tuduhan yang tidak benar. Bahkan, banyak masyarakat yang percaya dan terhasut oleh hoax tersebut. Hal ini turut aktif dalam mengasung penghakiman yang menyebabkan pembunuhan karakter. âBeredarnya fitnah di medsos dan akun-akun influencer ini cukup membuat syok,â ungkap Jusardi terkait dampak yang ia terima.
Sebagai bentuk kepedulian kepada Jusardi, Aliansi Mahasiswa UGM menuntut pihak kampus untuk memberikan sikap serta perlindungan terhadap pembunuhan karakter atau doxing yang dialami Azhar Jusardi Putra. Sulthan Farras selaku perwakilan dari Aliansi Mahasiswa UGM, mengungkapkan bahwa tuntutan terhadap pihak kampus ini berlandaskan pada Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 711/P/SK/HT/2013Â Pasal 6 dan Pasal 10. Pasal 6, mengatur tentang hak mahasiswa mendapatkan rasa aman dan keselamatan selama melakukan kegiatan di universitas dan/atau yang berkaitan dengan tugas Universitas baik yang bersifat akademik maupun non akademik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan atau keputusan yang ditetapkan Universitas. Kemudian, Pasal 10 juga menyatakan dalam hal mendapatkan perlakuan secara tidak terhormat dan/atau tidak bermartabat dari masyarakat, setiap mahasiswa berhak mendapatkan perlindungan dari Universitas.
Pada 23 Oktober 2020, Aliansi Mahasiswa UGM melaksanakan audiensi bersama para jajaran pimpinan UGM. Tuntutan pada poin keempat, mengenai kasus doxing yang menimpa Jusardi, menghasilkan kesepakatan bahwa pihak universitas menyatakan sanggup untuk memberikan perlindungan yang dibutuhkan korban. âAkan kita periksa bersama, siapa yang membuat dan mengedarkan,â ujar Panut saat audiensi. Namun, seiring berjalannya waktu kasus ini masih belum dapat diselesaikan. Sulthan menjelaskan bahwa Jusardi sebagai pihak terkait belum mau berkomunikasi lagi.
Terulangnya kembali kasus penyiksaan siber dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ini, menurut Arif Nurcahyo selaku Kepala Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (PK4L), jelas membuktikan dua hal. Pertama, pihak kampus tidak belajar dari pengalaman sebelumnya. Kedua, pihak kampus terkesan menyepelekan kasus ini. âSaya katakan saja kenapa itu bisa terulang, karena pihak kampus memang tidak pernah melakukan upaya hukum yang serius,â tutur Arif Â
Arif menambahkan bahwa ia sendiri tidak mengetahui proses penanganan kasus sampai mana. Namun, ia yakin bahwa pihak kampus tidak akan tinggal diam membiarkan kasus ini terlalu lama. Entah apa hasilnya, menurut Arif yang terpenting adalah bagaimana sikap kepedulian kampus dalam melindungi mahasiswa yang telah menggunakan haknya dalam menyuarakan aspirasi. âProgressnya saya tidak mengikuti secara lengkap karena saya rasa itu sudah dilakukan koordinasi dari pihak kampus,â tuturnya menegaskan.
Sindung Tjahyadi selaku Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Organisasi dan Fasilitas Mahasiswa mengaku bahwa pihak kampus sudah melakukan koordinasi dengan Fakultas Filsafat terkait dengan kasus yang dialami salah satu mahasiswanya. âDari pihak fakultas katanya memang akan memproses secara hukum,â ungkapnya. Meskipun demikian, Sindung juga menegaskan bahwa sebelum bertindak tetap harus mempertimbangkan kehendak korban sehingga baru bisa ditentukan langkah yang tepat.
Jusardi mengaku belum memiliki kehendak untuk bekerja sama dengan pihak kampus. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi keluarganya. Apabila hal tersebut ditindak secara hukum, ia khawatir dapat memperbesar dampak yang akan diterima oleh keluarganya. âSebenarnya tidak menolak, saya hanya belum memberikan kepastian saja,â ujar Jusardi.Â
Terlepas dari kondisi korban yang ingin dilindungi atau tidak, menurut Fatia, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan mahasiswa, kampus tidak bisa membiarkan kasus ini begitu saja. Kampus tetap harus melakukan penanganan dan segera membuat kebijakan resmi sebagai upaya preventif. Selain itu, menurutnya kampus sangat berperan penting dalam menangani kasus doxing yang menimpa mahasiswanya. Sebagai wadah dan ranah akademik, kampus harus mengupayakan penanganan maupun pencegahan doxing. Karena kebebasan akademik seharusnya dijamin tidak hanya oleh negara, namun juga oleh pihak kampus sendiri. âKampus harus menyiapkan cara menangani orang-orang yang menyuarakan aspirasi,â pungkas Fatia.
Penulis: Nasywa Nur Athiyya, Fahmi Aryo Majid, Yeni Yuliati, Nabila Kusuma Winahyu (Magang)
Penyunting: Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer: Vito Darian Putra Purnama (Magang)