Minggu (25-10), Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta mengadakan diskusi daring bertema “Evaluasi Bidang Hukum dan Demokrasi”. Dalam diskusi ini, LP3ES Jakarta menghadirkan empat pembicara yaitu Jimly Asshiddiqie, Ketua MK RI pertama; Wijayanto, Direktur Center for Media Democracy, LP3ES; Malik Ruslan, Senior Editor LP3ES; dan Geradi Yudhistira, Peneliti LP3ES. Jalannya diskusi dipandu oleh M. Ichsan Loulembah selaku moderator dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube LP3ES Jakarta. Diskusi ini membahas keterkaitan antara demokrasi dan hukum di Indonesia.
Sebagai pembuka diskusi, Jimly memaparkan beberapa faktor yang menyebabkan penurunan demokrasi global. Pertama, kuatnya parameter pertumbuhan ekonomi sebagai kemajuan negara. Ia kemudian menyebut keberhasilan negara China yang mampu menumbuhkan ekonomi tanpa demokrasi. “Banyak yang kemudian berpikir bahwa demokrasi tidak perlu karena sudah ada ekonomi,” jelasnya.
Kedua, maraknya gejala diskriminasi rasial. Jimly kemudian menyebut bahwa white supremacy sangat membudaya di Eropa dan Amerika. Budaya tersebut disebutnya sebagai penyebab banyaknya partai menjadi anti imigran, islamophobia, dan ultranasionalis, yang kemudian membuat masyarakat buta terhadap permasalahan yang sebenarnya. “Padahal, adanya imigran merupakan hasil dari ketidakadilan ekonomi global,” tuturnya.
Ketiga, bercampurnya kepentingan politik dan ekonomi di parlemen. Hal itu disebutnya sebagai akibat dari tidak ada regulasi yang jelas mengenai relasi antara pejabat dengan bisnisnya. Ia kemudian menyebut Amerika Serikat sebagai contoh negara yang tidak mewajibkan presiden untuk lepas dari bisnisnya. “Keadaan yang demikian membuat parlemen rentan dibajak kepentingan bisnis,” tutur Jimly.
Keempat, pemilihan elektoral tanpa adanya pergantian kekuasaan. Hal tersebut dijelaskan Jimly melalui pengalamannya menjadi pengamat pemilu di Kamboja dan Rusia. Menurutnya, negara tersebut menganggap pemilihan umum sebagai agenda formalistik sebab tanpa ada pergantian kekuasaan. “Pola tersebut yang kemudian hendak ditiru berbagai negara,” jelasnya. Jimly kemudian menyebut nama Xi Jinping yang telah mengukuhkan jabatan seumur hidup dalam konstitusionalnya.
Melanjutkan Jimly, beberapa pembicara mengungkapkan indikator penurunan demokrasi di Indonesia. Menurut Gerardi indikator pertama berangkat dari larangan pemerintah kepada masyarakat untuk berserikat dan berkumpul semasa pandemi. “Berkumpul empat orang saja sudah disebut-sebut klaster baru oleh pemerintah,” ungkapnya. Hal itu disebutnya dapat berpengaruh terhadap pemberitaan media. Sedang indikator kedua adalah alokasi wewenang kekerasan terhadap kelompok atau individu yang merupakan masyarakat sipil. Ia kemudian memberi contoh kasus diskusi Constitutional Law Society FH UGM mengenai pemakzulan rezim Jokowi Ma’ruf yang diancam oleh ormas.
Sementara itu, Wijayanto menangkap empat hal yang dapat dijadikan indikator penurunan demokrasi di Indonesia. Pertama, banyaknya akun robot yang berperan sebagai alat propaganda agenda pemerintah. Hal tersebut disebutnya membuat suara organik tenggelam. Kedua, teror siber yang menyerang alat komunikasi aktivis, akademisi, dan masyarakat sipil. Ketiga, kekerasan dan penangkapan terhadap aktivis dan jurnalis. Keempat, kooptasi terhadap kampus dan sekolah. Ia kemudian mengelaborasikan indikator demokrasi dengan ketidakadilan penegakan hukum. “Kasus yang melawan pemerintah mudah sekali dicekal, sedangkan aktivis yang keselamatannya terancam lambat sekali prosesnya,” katanya.
Lebih lanjut Jimly menyebut bahwa penurunan demokrasi menyebabkan negara rentan mengalami politisasi hukum. Ia memaparkan bahwa hal yang nampak jelas menggambarkannya adalah pembentukan dan pengesahan lima produk hukum yang dilakukan tanpa menggaet aspirasi masyarakat. Produk hukum yang dimaksud Jimly adalah UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Minerba, UU MK, Perppu no 1/2020/UU No 20 tahun 2020. “Bagi pemerintah, yang penting formalitas ketok palu sudah terpenuhi,” jelasnya.
Jimly kemudian menyebutkan salah satu pasal dalam UU No 2/2020 yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dipidana dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian investasi. Ia menilai bahwa pasal tersebut berpotensi menyebabkan konflik antar lembaga pemerintahan. Sebab, tambahnya, lembaga pemerintah lain tidak mendapat imunitas serupa.
Sementara itu, Malik menyoroti UU KPK. Ia mengambil pasal 19 UU KPK yang menyatakan bahwa KPK tidak lagi bisa membuka kantor perwakilan di tiap provinsi. Padahal, tambahnya, korupsi sudah menjalar dari sabang sampai Merauke. Pasal tadi dianggapnya sebagai salah satu bentuk pelemahan peran KPK dalam memberantas korupsi. “KPK seperti diamputasi tangan dan kakinya,” jelas Malik.
Meskipun demikian, ujar Jimly, pemerintah mengatasnamakan setiap produk hukum demi kesejahteraan masyarakat dan kemuliaan. Wijayanto menilai bahwa hal tersebut menyebabkan masyarakat buta terhadap buruknya demokrasi di Indonesia. Gejala tersebut disebut Wijayanto juga banyak dialami negara lain. Ia kemudian mengutip jurnal terbaru Larry Diamond. “Seorang populis yang terpilih secara demokrasi, perlahan-lahan memunggungi demokrasi,” pungkasnya.
Penulis: Latifah Nirmala dan Aji Sugiantoro (Magang)
Penyunting: Muhammad Fadhilah
Fotografer: Zia Ulil Albab (Magang)