Senin (19-10), Indoprogress mengadakan diskusi daring bertajuk “Gerakan Mahasiswa Tolak Omnibus Law: Sebuah Refleksi Kritis” yang disiarkan secara langsung melalui akun Youtube mereka. Jalannya diskusi ini dipandu oleh Coen Husain Pontoh, editor Indoprogress dengan menghadirkan tiga narasumber, yakni Edward Aspinall, profesor di Australian National University; Iqra Anugrah, peneliti di CSEAS Kyoto, Jepang; dan Muhammad Ridha, mahasiswa PHD di Northwestern University, Chicago. Salah satu bahasan diskusi tersebut adalah pola relasi gerakan mahasiswa dengan aktor lain dari masa ke masa.
Edward menganggap fenomena gerakan mahasiswa dalam rangka menolak Omnibus Law belakangan ini dilakukan mahasiswa secara independen. Baginya fenomena tersebut menandakan bahwa saluran pendapat masyarakat seperti partai politik tidak berfungsi secara baik. “Fungsi inilah yang kemudian diisi oleh mahasiswa,” jelas Edward.
Namun, menurut Ridha pola pergerakan mahasiswa secara independen berangsur-angsur mulai bergeser. Hal ini tampak dalam aksi demonstrasi beberapa tahun belakangan. Menurutnya saat ini mahasiswa tidak lagi berupaya memisahkan diri, tetapi melebur ke dalam aliansi rakyat bersama buruh dan pelajar. Keadaan ini kontras dengan gerakan mahasiswa yang memisahkan diri dari kelompok lainnya seperti buruh dalam demonstrasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2013. “Ini menunjukkan ada yang baru pada pola gerakan mahasiswa,” tambah Ridha.
Perihal pergeseran pola gerakan mahasiswa ini, Ridha mengungkapkan terdapat tiga faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, yaitu faktor ideologi. Keterbukaan informasi dan media sosial membuat banyak kanal-kanal pengetahuan kiri dapat diakses dengan mudah. Ridha menyebut fenomena ini sebagai kemunculan “kiri-isme” daring. “Radikalisme gerakan mahasiswa sekarang dipengaruhi pemikiran kiri hasil reproduksi media-media kiri daring,” imbuh Ridha.
Kedua, faktor struktur ekonomi yang membuat mahasiswa menyadari bahwa isu Omnibus Law berkaitan dengan masa depan mereka. Saat ini struktur perekonomian Indonesia telah terintegrasi dengan pasar global, salah satunya adanya persaingan dalam hal tenaga kerja. “Karena tidak semua mahasiswa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, tetapi beberapa dari mereka memutuskan untuk bekerja. Hal itu membuat mahasiswa merasa menjadi bagian dalam dinamika tersebut,” jelas Ridha.
Ketiga, yaitu faktor politik. Ridha melihat adanya keregangan relasi mahasiswa dengan elite-elite politik yang dimulai pada era SBY. Pada era Soeharto hubungan antara elite politik dan gerakan mahasiswa sangat intens karena mahasiswa ditarik ke dalam kekuasaan melalui Partai Golongan Berkarya (Golkar) atau badan-badan politik lain. Akan tetapi, pada masa SBY secara perlahan terjadi moderasi kekuatan politik yang berusaha merangkul semua oposisi. ”Hal itu membuat elit merasa tidak perlu mengakomodasi gerakan mahasiswa.” tutur Ridha.
Menyoal interdependensi gerakan mahasiswa, Iqra mempunyai pandangan yang lebih spesifik. Menurutnya, gerakan mahasiswa jangan hanya berhenti di jalanan, tetapi juga harus mampu memengaruhi agenda politik yang programatik. Iqra juga menambahkan, mengenai langkah awal yang dapat dilakukan, yaitu dengan mendorong dan mempertahankan mobilisasi independen dari gerakan mahasiswa, pelajar, dan buruh menjadi gerakan politik. “Dengan begitu, gerakan aliansi rakyat mampu mengintervensi ranah politik formal, mulai dari birokrasi hingga politik elektoral.” pungkasnya.
Penulis: Florencia Azella Setiajid, Naomi Nugraheni dan RR Natasya Nurputri Adiyana (Magang)
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Fotografer: Fairuz Azzura Salma (Magang)