Sabtu (24-10), Purwono Yusgiantoro Center (PYC) menyelenggarakan seminar daring berjudul “The Ensight: Rethinking Energy-Climate Relations in Indonesia”. Seminar yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube PYC ini dipandu oleh I Dewa Made Raditya Margenta dan dibuka oleh Filda C. Yusgiantoro, selaku Ketua PYC. Seminar ini menghadirkan Tiza Mafira, Asisten Direktur Climate Policy Initiative dan Beni Suryadi, Manajer Proyek ASEAN Climate Change and Energy Project (ACCEPT) sebagai narasumber. Seminar daring ini dihadiri oleh total 202 audiensi dari berbagai kalangan. Topik yang dibahas adalah tentang perkembangan pengembangan energi dan aksi iklim di Indonesia terkini, keterkaitan problematika energi dan isu iklim, koherensi kebijakan energi-iklim, dan yang terakhir adalah realitas penetapan regulasi harga karbon terhadap target pengurangan emisi di Indonesia.
Manusia memerlukan energi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, energi yang digunakan manusia itu dapat meninggalkan gas emisi yang berujung pada pemanasan global. Menurut Beni, berdasarkan artikel Our World in Data tahun 2016 bertajuk “Global Greenhouse Gas Emissions by Sector” tercatat bahwa emisi gas rumah kaca dunia sekitar 49,4 miliar ton karbon dioksida ekuivalen. Ditemukan juga bahwa kira-kira 73,2% sumbangannya berasal dari sektor energi. “Maka dari itu, sektor energi sangat vital dan krusial dalam menimbulkan emisi global,” tambahnya.
Beni menerangkan bahwa faktor tingginya gas emisi rumah kaca dari sisi energi 80% lebih dari bauran energi saat ini adalah bahan bakar fosil. Dampak dari pembakaran bahan bakar fosil yaitu pelepasan emisi karbon yang tentunya dapat menyebabkan kerusakan udara, lalu berujung terjadinya perubahan iklim. “Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, gas alam, minyak, dan diesel adalah suatu sumber energi yang mendominasi dari emisi antropogenik gas rumah kaca dan transisi menuju energi terbarukan merupakan kunci sukses dari mitigasi perubahan iklim ini,” ujarnya.
Untuk mengatasi peningkatan emisi, dapat dilakukan dengan mentransformasi sumber energi yang awalnya berupa bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan. Menurut Tiza, pada kenyataannya negara kita masih memberikan subsidi untuk bahan bakar fosil. Meskipun begitu, pengurangan konsumsi dan subsidi bahan bakar fosil sudah diupayakan sejak tahun 2014 silam.
Di sisi lain, Filda menyatakan bahwa salah satu kebijakan ekonomi yang sering disebut untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah kebijakan harga karbon. “Bila didesain dengan tepat, kebijakan ini dapat mendorong pembangunan berkelanjutan yang rendah karbon,” ujarnya. Menurut Beni, dengan dibatasinya harga karbon, prosesnya akan mengakibatkan pola positif seperti perubahan sumber bahan bakar, dan perubahan konsumsi dapat terjadi. Pendapatan yang didapatkan dari program harga karbon ini dapat digunakan untuk membangun panel surya atau energi terbarukan lainnya. “Konsep ini sangatlah menarik untuk bisa diaplikasikan dan dijadikan pekerjaan serius bagi pemerintahan di Indonesia,” tambah Beni.
Tiza mengungkapkan bahwa Indonesia punya target bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025, tetapi saat ini Indonesia baru bisa mencapai 13%. Para analis pesimis target tersebut dapat terwujud karena kurangnya investasi. Saat ini, pemerintah belum menerapkan hendak memilih skema apa untuk masuk ke era penetapan harga karbon. “Yang pasti, pemberian pajak karbon dirasa akan sulit secara politis sehingga kemungkinan besar pemerintah akan memilih skema market, antara ‘perdagangan karbon’ atau ‘pelunasan karbon’ atau bahkan keduanya,” jelas Tiza.
Emisi dari penggunaan energi dapat datang dari berbagai sektor yang berkontribusi dalam emisi global. Menurut Beni, walaupun sudah dilakukan perubahan sumber bahan bakar, masih banyak potensi sektor-sektor yang “kesulitan” dalam mereduksi atau menghentikan konsumsi karbonnya. “Dari sini, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada solusi simpel untuk mengatasi perubahan iklim,” tambahnya. Yang terpenting, kita berada dalam permasalahan yang sama, berada di atas kapal yang sama.
Penulis: Fauzi Ramadhan, Muhammad Alfimansyah, dan Verena Anindhita (Magang)
Penyunting: Aufa Fathya
Fotografer: Winda Hapsari (Magang)