Selasa (27-10), Greenpeace Indonesia menyelenggarakan webinar bertema “Perjuangan Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di Kapal Ikan Asing Jarak Jauh”. Webinar ini menghadirkan beberapa pembicara di antaranya Ardi Ligantara, mantan ABK Ikan asal Indonesia; Fr. Ansensius Guntur, Direktur Stella Maris Kaohsiung; Azizah Nur Hapsari, Juru Kampanye Environmental Justice Foundation (EJF); Yuyun Wahyuningrum, Perwakilan Indonesia di ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR); dan Japar Malik, Kasi Kerjasama Lembaga Dalam Negeri Direktorat Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN). Webinar ini dipandu oleh Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia; dan Salsa Nofelia Franisa, Koordinator Departemen Advokasi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Webinar yang disiarkan di laman Facebook SBMI ini mengangkat isu perbudakan ABK.
Afdillah, sebagai pembuka diskusi, menuturkan bahwa perlindungan terhadap ABK yang bekerja di kapal ikan asing masih sangat lemah. ABK seringkali mendapat jam kerja berlebih serta kekerasan verbal dan fisik; yang tidak sebanding dengan upah yang mereka terima. “Ini adalah sebuah rangkaian dari sebuah bisnis global yang besar dan terstruktur,” ungkap Afdillah dalam pengantarnya.
Hal ini diamini oleh Ardi yang merupakan mantan ABK di kapal ikan Taiwan. Selama bekerja, ungkap Ardi, para ABK kerap mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dan dituntut untuk memenuhi jam kerja yang eksploitatif. “Kebutuhan sehari-hari terpenuhi, tetapi perlakuan terhadap ABK lebih buruk dari cara memelihara binatang,” jelasnya. Alih-alih mendapatkan hak upah atas kerja mereka, ABK diminta untuk membayar “hutang” yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan selama proses keberangkatan.
Di sisi lain, kapal-kapal tempat terjadinya perbudakan tersebut juga melakukan praktik Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing). IUU Fishing meliputi aktivitas-aktivitas seperti penggunaan bahan destruktif seperti bom, racun dan listrik; penangkapan ikan di wilayah terlarang atau tanpa izin; hingga pemalsuan data hasil tangkapan. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Azizah, memiliki keterkaitan dengan tingkat perbudakan ABK Ikan selama bekerja di atas laut. Tingginya angka IUU Fishing berpengaruh terhadap langgengnya eksploitasi ABK. “Regulasi pemerintah yang lemah berimplikasi pada eksploitasi ABK oleh agen awak kapal untuk mendapat keuntungan yang lebih banyak,” tambah Azizah.
Menurut Ansensius Guntur yang kerap disapa Pater Yance, perlakuan yang diterima oleh ABK tidak sebanding dengan kontribusi mereka bagi perekonomian. Selain itu, perlindungan dari pemerintah Indonesia terhadap ABK di luar negeri belum memadai. “Kadang pemerintah itu terlalu terpaku dengan aturan, sampai kehilangan rasa sensitif untuk kemanusiaan,” kata Pater Yance mengenai penanganan masalah ABK yang dilakukan oleh KBRI Taiwan. Menurutnya, pemerintah Indonesia kurang sigap dan seringkali salah fokus dalam menangani permasalahan ABK.
Yuyun menyatakan bahwa pemerintah yang lamban dalam menegakkan regulasi terkait persoalan ABK berpotensi mencederai hak asasi manusia. Menurutnya, hak asasi masih terpusat di daratan dan belum menjamah laut dan merupakan tugas baru untuk memfokuskan perhatian HAM bukan hanya di darat tapi juga di lautan. “Hal tersebut masih menemui tantangan seperti mengidentifikasi pelanggaran HAM, jarak yang jauh dan terisolasi, komunikasi, menentukan siapa yang bertanggung jawab, dan mahal,” jelasnya.
Sementara itu, Japar menambahkan langkah penanganan oleh pemerintah Indonesia terhadap isu perbudakan ABK. Negara anggota ASEAN telah bersama-sama menandatangani Konsensus ASEAN untuk perlindungan pekerja migran pada tahun 2017. “Selanjutnya, dari konsensus tersebut akan dibuat rencana aksi,” imbuh Japar. Beberapa di antaranya adalah kampanye publik yang memberikan informasi penunjang bagi para pekerja migran, penelitian dan pengembangan hak-hak pekerja migran, dan lokakarya untuk meningkatkan kualitas program pelatihan bagi calon pekerja migran. Namun, tambah Japar, seringkali rencana aksi ini mengalami hambatan, karena muncul ketidaksepakatan di tingkat bilateral.
Permasalahan terkait perlindungan ABK diyakini kompleks dan berlapis. Terkait dengan permasalahan hak asasi ABK, Yuyun menawarkan tiga alternatif. Pertama, regulasi yang ketat dan tegas. Kedua, kesadaran dari berbagai pihak mengenai hak dan kewajiban masing-masing aktor. Ketiga, diadakannya wadah sebagai tempat kritik, saran, dan komplain (grievance mechanism).
Penulis: Antonella, Jacinda Nuurun Addunyaa, dan Salsabila Safa Hanan (Magang)
Penyunting: Salsabella Adista
Fotografer: Vito Purnama (Magang)
1 komentar
Berita soal ‘ABK’ Kapal (terutama kapal ikan) menjadi perhatian serius saya atas kasus HILANGNYA 3 MANTAN SISWA SMKN 1 SANDEN (dan saya mengirim surat pada PRESIDEN JOKO WIDODO bahwa, NEGARA MEMILIKI KEWAJIABAN MENEMUKAN 3 MANTAN SISWA SMKN 1 SANDEN BANTUL itu, mereka hilang atau mungkin telah meninggal dalam status sebagai pelajar dan mereka adalah sedang melakukan BELA NEGARA (tapi negara TIDAK MEMBELA 3 MANTAN SISWA SMKN 1 SANDEN ITU, dengan membentuk tim khusus dari KEPOLISIAN DAN JUGA INTEL). Mohon wartawan ‘balairung press UGM’ bertanya pada PRESIDEN JOKO WIDODO atas masalah HAM termasuk hilangnya 3 mantan siswa SMKN 1 Sanden. Belum pernah kan wartawan mahasiswa ke istana negara dan bertemu JOKO WIDODO?