Rabu (21-10), forum Science Day Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) mengadakan diskusi daring berjudul “Perempuan dalam Jaringan Ekstremisme Kekerasan.” Diskusi tersebut mengundang Dyah Ayu Kartika selaku analis dari Institute of Policy Analysis of Conflict (IPAC) sebagai narasumber. Jalannya diskusi dipandu oleh Yuni Nurhamida selaku moderator dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Laboratorium Psikologi Politik UI.
Topik utama yang dibahas pada diskusi ini adalah perubahan posisi perempuan dalam isu ekstremisme kekerasan dan faktor yang menarik perempuan untuk masuk dalam kegiatan ekstremisme. Selain itu, diskusi juga membahas mengenai peran perempuan dalam isu ekstremis dan intervensi dengan pendekatan personal terhadap perempuan yang terlibat dalam aksi ekstremisme kekerasan. Pada awal diskusi, narasumber yang kerap disapa Katy memaparkan data grafik yang menampilkan perkembangan penangkapan perempuan ekstremis dalam periode per lima tahun dari rentang tahun 2000 hingga 2020. Data ini kemudian dibandingkan dengan data penangkapan ekstremis laki-laki. “Kalau kita lihat perbandingannya, memang terkesan perempuan itu tidak seaktif laki-laki dalam melakukan aksi-aksi terorisme,” jelas Katy.
Katy juga menerangkan bahwasanya terdapat peningkatan signifikan yang membuat kedudukan perempuan dalam isu ekstremisme kekerasan ini patut diperhitungkan. Alasannya ialah karena adanya peningkatan terhadap penangkapan perempuan yang terlibat dalam ekstremisme kekerasan pada 2014 hingga 2016. Katy menambahkan bahwa peningkatan tersebut terjadi karena adanya keterlibatan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) di Suriah. Disahkannya UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme juga membuat penangkapan oknum gerakan ekstremis bisa dilakukan secara lebih persisten.
Berdasarkan grafik yang disajikan, Katy berkata bahwa perempuan sebenarnya sudah terlibat dalam jaringan ekstrem sejak tahun 1980-an, sedari adanya Darul Islam. Lalu, peran perempuan semakin terlihat pada masa kejayaan Jamaah Islamiyah (JI). Beberapa nama seperti Munfiatun dan Putri Munawaroh merupakan perempuan-perempuan Jamaah Islamiyah yang tertangkap karena tergabung dalam jaringan ekstremisme. Mereka ditangkap karena mengikuti suami mereka dalam merencanakan aksi teror.
Berdasarkan keterangan Munfiatun dan Munawaroh, Katy menarik argumen bahwa perempuan-perempuan ini justru menyukai apa yang mereka lakukan dan mereka ingin berpartisipasi secara sukarela. Namun, lain kisah dengan Deny Carmelita, istri Pepi Fernando, ia mengetahui rencana ekstremisme yang dilakukan suaminya sehingga membuat dirinya ditangkap dan diadili akibat tidak melaporkan perbuatan suaminya.
Berlanjut ke arah pembahasan faktor yang mendorong dan menarik perempuan untuk terjun ke dalam kegiatan ekstremis. Katy menjelaskan berdasarkan perspektif ISIS bahwa hadirnya perempuan dapat memicu keaktifan laki-laki. Katy berargumen bahwa laki-laki akan merasa maskulinitasnya akan tertekan akibat hadirnya perempuan dalam gerakan ekstremisme sehingga mereka akan merasa dikalahkan. “Secara natural perempuan dianggap damai, asumsinya perempuan tidak suka kekerasan dan lebih cenderung menghindari konflik,” tambah Katy.
Di akhir diskusi, Katy lantas memaparkan mengenai pendekatan personal yang perlu dilakukan terhadap perempuan yang terlibat dalam aksi ekstremisme kekerasan guna menyadarkan perempuan yang terlibat dalam kegiatan tersebut untuk tidak kembali terlibat dalam jaringan ekstremisme. “Pendekatan ke perempuan harus lebih personal yang lebih mengandalkan rasa percaya satu sama lain,” tutur Katy. Ekstremis perempuan yang sudah tertangkap dan berada di lembaga pemasyarakatan perlu diberikan pendekatan psikologis yang lebih intensif, sehingga diharapkan mereka tidak kembali terlibat dalam jaringan ekstremisme kekerasan tersebut setelah bebas dari hukuman nanti.
Penulis: Annisa Shafa Regia, Lisa Rahim, Sofiana Martha Rini (Magang)
Editor: Isabella
Fotografer: Vito Darian Putra Purnama (Magang)