Sabtu (24-10), Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) Universitas Diponegoro (UNDIP) bersama dengan Balai Bahasa Jawa Tengah mengadakan Webinar Kebahasaan Candramawa. Webinar ini bertajuk “Peran Bahasa dan Sastra dalam Kritik Sosial” sebagai salah satu dari rangkaian kegiatan Parade Bulan Bahasa (Parlansa). Jorgy Yusuf Alviano, selaku pewara ditemani Khothibul Umam sebagai moderator menyapa para peserta Webinar Kebahasaan Candramawa. Webinar kebahasaan ini mengundang dua narasumber dengan latar belakang bahasa dan sastra, yaitu Ahmad Tohari, sastrawan yang familier dengan karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk; dan Ganjar Harimansyah, Pimpinan Balai Bahasa Jawa Tengah.
Selain bertujuan memeriahkan bulan bahasa yang jatuh pada bulan Oktober, webinar ini juga menyajikan topik hangat demonstrasi massa mengenai penolakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang sempat menjadi kontroversi berbagai pihak. Selain itu, penyampaian kritik pada pemerintah yang masih menyalahi aturan penggunaan bahasa juga melatarbelakangi pihak KMSI UNDIP sebagai penyelenggara memilih topik hubungan bahasa dan sastra dengan penyampaian kritik sosial pada webinar kebahasaan ini.
Dalam sesi presentasi materi, Ganjar menyampaikan bahwa peran bahasa dan sastra tidak mungkin dipisahkan dari manusia, utamanya dalam penyampaian kritik sosial. Baginya, bahasa hanya dimiliki oleh manusia dan batas bahasa adalah batas dunia juga. Selain itu, manusia tidak bisa berkomunikasi kecuali dengan bahasa yang mereka kuasai atau secara lebih spesifik mengenai topik serta pemahaman yang mereka miliki. “Misalnya, jika kita menyampaikan kritik kepada DPR, kita juga harus menggunakan bahasa yang DPR pahami, itulah maksud batas bahasa juga merupakan batas dunia,” jelas Ganjar. Lebih lanjut, menurutnya, apabila bahasa dikaitkan dengan kritik sosial, bahasa memiliki peran sebagai sarana dalam penyampaian kritik sosial tersebut.
Senada dengan Ganjar, Ahmad Tohari juga menyampaikan mengenai kerancuan bahasa dalam penyampaian kritik sosial. Contohnya, dewasa ini banyak masyarakat yang menyampaikan aspirasi dan kritik melalui bahasa yang menyebabkan multitafsir bagi pembaca. Sebagai sastrawan dan budayawan, Ahmad Tohari juga menegaskan bahwa tembang-tembang Jawa yang memiliki kedekatan dengan masyarakat ternyata memiliki nilai-nilai sosial yang ditujukan sebagai kritik yang bersifat indirect (tidak langsung).
Peran bahasa dalam kritik juga terlihat dalam novel Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Peran bahasa dalam kritik sosial pada novel ini disampaikan di akhir cerita ketika Rasus mengunjungi kamp konsentrasi G30S/PKI dan melihat pembunuhan anggota PKI, serta penangkapan warga desa yang dicurigai sebagai anggota PKI, padahal mereka tidak mengetahui apapun. Dalam adegan ini tersirat kritik sosial dari Ahmad Tohari kepada Soeharto agar tidak terlalu kejam terhadap warga desa yang belum tentu bersalah.
Di penghujung webinar, Ganjar dan Ahmad Tohari menyampaikan tentang penggunaan bahasa yang baik dan pentingnya sastra dalam kritik sosial. Ganjar berpesan kepada peserta webinar agar lebih peka terhadap bahasa dan sastra dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam penyampaian kritik sosial. Selain itu, perlu diingat bahwa kritik tidak mungkin ada tanpa adanya peran bahasa di dalamnya. “Kesalahan berbahasa sering terjadi dalam masyarakat, tetapi kesalahan itu dibiarkan begitu saja sehingga lambat laun akan dijadikan pembenaran dalam berbahasa. Dalam konteks kritik sosial, penggunaan bahasa yang salah mencerminkan pola pikir manusia yang salah. Oleh karena itu, logika dalam berbahasa sangat dibutuhkan,” tambahnya. Menurut Ahmad Tohari, sastra sudah menjadi bagian dari kebiasaan yang ada di Indonesia dalam melakukan kritik sosial. “Kritik sosial itu kebiasan lama yang ada di Indonesia, kadang disampaikan samar atau perlambangan, dan dilakukan dengan jelas,” ungkapnya.
Penulis: Zahra Salsabila, Siti Nurjanah, Farah Ramadanti (Magang)
Penyunting: Anisa Azmi Nurrisky A
Fotografer: Fairuz Azzura Salma (Magang)