Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) menggelar aksi bertajuk “Ruang Rakyat: Semua Adalah Warga” pada Selasa (20-10) di Bundaran UGM. Aksi tersebut tidak hanya menghadirkan mereka yang berunjuk rasa. Seiring berjalannya aksi, banyak tokoh yang terlihat kontras berada di sana. Hadirnya mereka di sana mewarnai segala aktivitas yang dilangsungkan massa aksi. Mereka adalah para pedagang kaki lima, tim medis, dan juga warga negara asing.
“Sebagai sesama rakyat mari dilariskan dagangan para pedagang yang ada di sini!” Merupakan seruan di antara orasi yang diteriakkan dari panggung aksi. Mereka yang berdagang di antaranya pedagang asongan, pedagang sate, pedagang minuman dingin, pedagang es krim, dan pedagang kacang rebus. Walaupun tidak tergabung dalam massa aksi, para pedagang tetap mendukung tuntutan yang dibawa oleh massa aksi. Samadi Abdullah, seorang pedagang es krim menyampaikan bahwa aksi ini sangat berpihak kepada masyarakat. “Aksi mahasiswa di Jogja itu selalu berawal dari kepentingan rakyat kecil,” ujar Samadi.
Di sebelah barat Bundaran UGM, terlihat sebagian massa aksi berkumpul dan mendirikan posko medis. Ega dari tim medis ARB, menjelaskan bahwa keikutsertaan teman-teman tim medis karena ingin membantu para massa aksi. Latar belakang sebagai mahasiswa dari jurusan medika merupakan salah satu alasan dari Ega dan teman-temannya untuk menjadi tim medis di tengah aksi. Ega menceritakan bahwa menjadi tim medis dalam sebuah aksi massa ada baik dan buruknya. Pada satu sisi lebih aman daripada massa aksi, tapi pada sisi lain dapat terkena imbasnya kalau situasi berubah ricuh. “Pasti ada persiapan untuk menghadapi kericuhan, walaupun niatnya aksi damai tapi tidak ada yang tahu,” tambah Ega.
Dari mereka yang terlihat berbeda dari massa aksi, mungkin kehadiran Pablo menjadi yang paling kontras. Pablo merupakan seorang warga negara Polandia yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Airlangga. Dirinya mengaku tertarik dengan apa yang disampaikan oleh mahasiswa pada aksi ini. “Permasalahan UU Cipta Kerja ini menurut saya letak kekurangannya ada pada partisipasi publik, jadi mahasiswa merasa kalau mereka kurang mendapat dialog,” ujar Pablo.
Mereka yang berbeda dari massa aksi menjadi bukti dari aksi kali ini yang membawa semangat keterbukaan. Sebagaimana dinyatakan oleh Samadi, aksi massa di Yogyakarta selalu dimulai dari inisiatif yang arif dan bijaksana. Kerusuhan yang terjadi pada aksi tanggal 8 Oktober 2020 lalu di DPRD menurut Samadi bukan disebabkan oleh massa aksi, terutama mahasiswa. “Kerusuhan yang terjadi sebelumnya bukan disebabkan oleh mahasiswa, tetapi para pecundang,” tutupnya.
Foto oleh Ananta Widi Rayhan
Kurator: Rizky Ramadhika
Reporter: Affan Asyraf, Alysia Noorma Dani, Bangkit Adhi Wiguna, dan Isabella
Teks: Affan Asyraf
Penyunting: Rizal Zulfiqri