Rabu (21-10), Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang (UNNES) melangsungkan Seminar Nasional secara daring. Seminar tersebut disiarkan langsung melalui kanal Youtube Netra Sejarah Nusantara dengan tajuk “Strategi Baru Mengemas Masa Lalu.” Dengan Tsabit Azinar Ahmad dari UNNES sebagai moderator, diskusi ini menghadirkan Rieza D. Dienaputra, Pakar Sejarah Visual; Heri Priyatmoko, Kolumnis Sejarah; dan Hendri F. Isnaeni, Redaktur Historia.id. Webinar yang diikuti oleh 252 peserta dari berbagai kalangan ini secara khusus membahas pentingnya disrupsi sejarah secara kekinian dalam menjawab tantangan revolusi industri 4.0.
Rieza memantik diskusi dengan menyatakan bahwa esensi sejarah saat ini seharusnya mampu menjadi sebuah refleksi dalam menyongsong masa depan. Menurutnya, sejarah telah berkontribusi besar dalam mengemas identitas negara. Tanpa adanya sejarah yang diingat maka Indonesia bukanlah bangsa yang besar. “Sejarah harus menjadi sebuah kaca benggala untuk melihat masa lalu, masa kini, dan untuk membangun masa depan yang lebih baik,” lontarnya.
Bagi Rieza, sejarah dihadapkan dengan permasalahan bagaimana menjadikannya tetap dan selalu diperlukan oleh bangsa Indonesia. Menilik bahwa sejarah sangat lekat dengan dimensi konvensional, maka dibutuhkan suatu inovasi dalam mengemasnya. “Kita sudah berada di era 4.0, jika kita masih bertahan dengan cara konvensional, kita semua terpaksa akan menyatakan innalillahiwainnailaihirojiun kepada ilmu sejarah,” pungkas Rieza.
Karena pendekatan yang konvensial ini, Rieza berpendapat bahwa sejarah, saat ini hanya untuk komunitas sejarah. Dengan demikian, dibutuhkan pendekatan baru untuk menjangkau di luar komunitas sejarah. Hal tersebut dilakukan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya sejarah. “Tugas kita sekarang, bagaimana membuat sejarah dapat diapresiasi oleh masyarakat yang bukan merupakan sejarawan ataupun komunitas sejarah,” ucap Rieza.
Disrupsi sejarah, dalam pendapat Rieza, dapat menjawab permasalahan tersebut. Ia mengatakan disrupsi sejarah adalah suatu metode yang memiliki karakteristik substansial, adanya inovasi dalam melakukan kajian terhadap masa lalu. Inovasi tersebut mencakup tataran sumber sejarah dan cara merekonstruksi sejarah sebagai peristiwa menjadi sejarah sebagai kisah. “Sumber sejarah perlu di disrupsi secara kekinian, kita perlu mengakrabkan diri dengan sumber lain yang lebih menarik dan sesuai realitas masa kini, yaitu seperti sumber visual melalui ranah internet,” jelas Rieza.
Menurut Dinda, mahasiswa FIB UGM, salah satu peserta webinar, menyebutkan bahwa metode disrupsi sejarah dalam mengemas masa lalu secara kekinian sangat relevan dengan perkembangan zaman. Ia berpendapat bahwa metode visual secara digital lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat luas. “Tidak hanya sekedar efektif saja, tapi juga dapat memudahkan akses dalam proses mempelajari sejarah itu sendiri,” terangnya.
Selanjutnya, sebagai salah satu pelaku industri media digital, Hendri menyatakan bahwa selama ini yang telah ia lakukan bersama Historia.id merupakan upaya disrupsi sejarah sesuai dengan realitas masa kini. “Kami memiliki produk ‘History in One Minute’ yang di dalamnya merangkum informasi sejarah hanya dalam satu menit,” ujar Hendri. Menurutnya, konten video sejarah dengan durasi yang singkat ini diharapkan mampu memantik rasa penasaran warganet untuk tertarik membaca sejarah lebih mendalam.
Sejalan dengan hal tersebut, Hendri menyatakan bahwa bentuk adaptasi di masa kini dalam penulisan sejarah harus memiliki keberagaman tema. Hal tersebut dilakukan untuk menarik pembaca yang beragam. “Keragaman tema tersebut meningkatkan persebaran pembaca sejarah menjadi semakin luas,” tuturnya.
Dari pendekatan-pendekatan secara kekinian, Hendri menyatakan bahwa penyampaian sejarah dengan metode tersebut menunjukkan dampak positif. Di mana target pembaca Historia.id adalah pembaca dengan rentang umur 18-24 tahun. “Pembaca didominasi rentang umur 18 sampai 24 tahun dengan jumlah sepertiga dari keseluruhan pembaca,” ungkapnya.
Namun, Hendri juga memaparkan bahwa masih terdapat hambatan dalam mengemas sejarah secara kekinian. Masalah yang biasanya dihadapi oleh para penulis adalah penentuan tema. “Ini menjadi sebuah tantangan tersendiri, mengingat kita memadukan riset sejarah dengan pendekatan jurnalistik,” imbuh Hendri.
Penulis: Nasywa Nur Athiyya, Fahmi Aryo Majid, Yeni Yuliati (Magang)
Penyunting: Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer: Vito Darian Putra Purnama (Magang)