Terik matahari di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak mengurungkan niat ratusan orang dari berbagai elemen masyarakat untuk melancarkan aksi “Ruang Rakyat: Semua Adalah Warga” di Bundaran Universitas Gadjah Mada (20-10). Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) berangkat dari empat titik, yakni Universitas Teknologi Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Berbeda dari aksi sebelumnya di depan Gedung DPRD DIY yang berakhir represi, jumlah massa aksi kali ini tidak lagi masif. “Kemungkinan sebagian massa aksi itu trauma, karena kemarin [8 Oktober 2020] belum apa-apa kita udah digebukin,” jelas Ridho, salah satu massa aksi dari UMY.
Humas ARB, Revo dan Lusi, menjelaskan bahwa aksi ini sama dengan aksi-aksi sebelumnya, yakni menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Namun, kali ini aksi ARB harus melawan anggapan miring dari narasi-narasi yang menyebutkan bahwa aksi ARB ditunggangi dan ricuh. Menanggapi hal ini, Lusi mengatakan bahwa tindakan massa aksi, yang dianggap rusuh, sebenarnya hanyalah gambaran kecil dari reaksi warga atas kekerasan yang dilakukan oleh negara. Menurut dia, tindakan warga yang marah tersebut wajar dalam merespons penindasan yang telah dilakukan secara struktural dan besar-besaran oleh elite negara. “Ya, aksi kami memang ditunggangi, tapi ditunggangi oleh kepentingan rakyat Indonesia,” tegas Lusi.
“Aksi yang diwarnai kericuhan merupakan hal yang wajar,” kata seorang seniman jalanan, Leo Bambang Heru Prasetyo. Pria 66 tahun ini mengimbau agar massa aksi tidak perlu acuh pada anggapan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa aksi ARB buruk. Bambang justru mengingatkan, agar gerakan rakyat ini dilanjutkan. Sebab, menurut dia, aksi ini tidak akan berarti kalau berhenti sampai di sini. Mantan aktivis yang turut dalam aksi Reformasi tahun 1998 ini mengaku bahwa dirinya termotivasi untuk mengikuti aksi ARB kali ini karena melihat semangat para pemuda yang peduli terhadap kepentingan rakyat Indonesia.
“Saya malah senang kalau ada aksi begini karena suara saya dapat tersampaikan dan penjualan saya juga meningkat,” tutur Tio, penjual es dawet yang berjualan di tepi Bundaran UGM. Dia mengatakan, kericuhan dalam sebuah aksi merupakan risiko yang wajar. Hal yang sama juga dirasakan oleh Samadi Abdullah, seorang pedagang es krim yang menjajakan dagangannya ketika aksi tengah berlangsung. Dia berpendapat bahwa aksi kali ini sangat berpihak kepada rakyat kecil. Menurut dia, aksi mahasiswa di Yogyakarta selalu berawal dari kepentingan rakyat kecil. Dia juga berpendapat bahwa mahasiswa di Yogyakarta selalu arif dan bijaksana dalam melakukan aksi. Menurut Samadi, berbagai kerusuhan yang terjadi pada aksi sebelumnya tidak dilakukan oleh mahasiswa, melainkan para pecundang.
Revo mengatakan bahwa aksi ARB adalah ruang bagi seluruh rakyat. Dia menyayangkan larangan kampus terhadap mahasiswa untuk mengikuti demonstrasi. Selain itu, dia juga mengkritik kriminalisasi terhadap massa aksi yang berstatus pelajar. Revo menganggap, pemerintah seolah-olah menilai para pelajar tidak memiliki akal dan budi. Anggapan tersebut direspons oleh perwakilan pelajar yang berorasi di hadapan massa aksi. Dia mengatakan bahwa pelajar juga merupakan warga negara yang berhak menyampaikan aspirasi. “Kalau kami dikatakan kurang berilmu, maka negara lah yang gagal mencerdaskan kami,” teriak perwakilan pelajar di atas panggung aksi.
Reporter: Affan Asyraf, Alysia Noorma Dani, Bangkit Adhi Wiguna, Isabella
Penulis: Nadia Intan Fajarlie
Penyunting: Rizal Zulfiqri