Rabu (30-9), puluhan massa aksi berkumpul di depan gerbang pintu masuk UGM. Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UGM tersebut menggelar aksi bertajuk “September Hitam”. Aksi yang berlangsung sejak pukul 16.30 WIB dimulai dengan penyampaian orasi, penyalaan lilin, dan ditutup dengan doa bersama.
Victorius W Christianson, sebagai Koordinator Lapangan menyampaikan bahwa aksi tersebut bukan hanya untuk memperingati detik G30S saja. Akan tetapi, menjadi aksi untuk menyikapi berbagai isu yang terjadi belakangan ini. “September Hitam” merupakan akumulasi dari semua tragedi HAM yang terjadi di Bulan September sepanjang sejarah Indonesia. Mulai dari Tragedi Semanggi I, Tragedi Semanggi II, Tanjung Priok, Genosida Intelektual UGM dan tragedi pelanggaran HAM lainnya. “Banyak hal yang terjadi di bulan September, dengan itu kami namai September Hitam,” terang Victor.
Dalam rilis persnya, latar belakang pelaksanaan aksi ini ialah dampak peristiwa ‘65 yang juga belum mendapatkan titik terang. Pasalnya, pada tahun 2012, Komnas HAM telah menyatakan bahwa kejahatan manusia berat pada rentang waktu 1965-1966 merupakan pelanggaran HAM berat. Namun, pada Januari 2019 lalu, Jaksa Agung mengembalikan berkas penyelidikan dengan alasan bahwa syarat formil dan materiil dari peristiwa tersebut dinilai masih belum cukup. Penyerahan kembali berkas penyelidikan pun terjadi pada kasus Semanggi I dan Semanggi II, setelah kemudian dinyatakan sebagai bukan kasus pelanggaran HAM berat.
Selain itu, Aliansi Mahasiswa UGM juga menyoroti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Meskipun Pollycarpus telah divonis bersalah, namun hingga saat ini aktor intelektual di balik kasus pembunuhan tersebut masih belum diadili. Ditambah lagi, terdapat ancaman daluwarsa terhadap kasus tersebut. Ancaman yang dimaksud termuat dalam pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup dapat daluwarsa setelah delapan belas tahun. Sehingga, delapan belas tahun sejak kasus tersebut, tepatnya pada tahun 2022, kasus pembunuhan Munir tidak dapat diusut lagi.
Reandy Summa Justitio, salah satu peserta aksi, mengungkapkan bahwa seharusnya pelanggaran HAM berat menjadi tanggungan seumur hidup. Sebab, menurut Reandy HAM merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari manusia dan kehidupan bermasyarakat. “Pelanggaran HAM berat tidak mengenal waktu, tidak mengenal daluwarsa!” teriak Reandy dalam orasinya.
Terlepas dari kasus pelanggaran HAM berat, Aliansi Mahasiswa UGM tidak memungkiri semakin banyak isu sosial ekonomi yang terjadi sepanjang 2019-2020. Pada Oktober 2019 lalu, aksi Reformasi Dikorupsi membawa tujuh tuntutan. Oleh karena itu, pada aksi hari ini, ketujuh tuntutan tersebut dibawa kembali dengan satu tuntutan tambahan. Adapun tuntutan tambahannya yaitu pemerintah harus bertanggung jawab atas korban luka dan meninggal pada aksi Reformasi Dikorupsi tahun lalu. Aliansi menuntut adanya pembentukan tim penyelidikan independen di bawah naungan Komnas HAM atas kasus tersebut.
Menjelang waktu Magrib, pembacaan tuntutan dan orasi dihentikan. Beberapa peserta aksi terlihat melaksanakan sholat berjamaah. Setelahnya, massa aksi duduk berkumpul membentuk sebuah lingkaran di depan gerbang masuk UGM. Satu per satu lilin dinyalakan oleh setiap massa aksi. Dengan mengenakan pakaian berwarna hitam, mereka menyanyikan lagu Darah Juang. Aksi kemudian ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Muhammad Khaleed. “Semoga, yang kita upayakan bersama hari ini dapat memberikan manfaat dan jalan bagi ketidakadilan di negeri kita tercinta ini,” ujarnya dalam doa penutup.
Salah satu peserta aksi, Androhim Banyu Wibisono, mahasiswa Fisipol angkatan 2020 mengungkapkan kesannya mengikuti aksi sore itu. Menurutnya, saat ini cara pandang masyarakat tentang aksi masih negatif, padahal ia merasa bahwa aksi menjadi wadah untuk menyuarakan pendapat. Banyu merasa dengan bersuara dalam aksi, merupakan salah satu cara untuk menentang ketidakadilan. “Kita sebagai mahasiswa tidak boleh acuh atas ketidakadilan di negeri ini,” tegasnya.
Penulis: Anis Nurul Ngadzimah
Penyunting: Anggriani Mahdianingsih