Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM sudah disahkan dan sosialisasi sudah digulirkan. Namun, masih banyak keraguan dari mahasiswa terhadap pelaksanaannya. Akankah PPKS UGM berhasil mewujudkan ruang aman di kampus?
Pengesahan Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada 24 Januari 2020 menjadi sebuah ‘pemberhentian’ di jalan panjang untuk mewujudkan ruang aman dari kekerasan seksual di kampus. Pada mulanya, kasus Agni yang terjadi pada Juni 2017 mendorong wacana mengenai tanggung jawab universitas untuk melindungi civitas akademika dari kekerasan seksual. Setelah kasus tersebut, UGM membentuk tim perumus kebijakan mengenai kekerasan seksual pada awal 2019. Namun, karena respons universitas yang lambat, mahasiswa menggelar aksi pada perayaan Dies Natalis UGM ke-70 untuk menagih janji jajaran Rektorat.
Walaupun PPKS sudah disahkan, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan niatan awal Tim Perumus. Draf yang disusun Tim Perumus tidak serta merta diterbitkan sebagai peraturan, melainkan mesti melewati koreksi dari Rektor. “Ada beberapa bagian yang hilang seperti gender focal point dan pasal pengarusutamaan gender,” tutur Muhajir Darwin, Ketua Tim Perumus Kebijakan PPKS.
Muhajir melanjutkan bahwa gender focal point merupakan unsur penting dalam berjalannya PPKS karena berfungsi untuk mengorganisir civitas akademika yang peduli terhadap gender. “Harapannya mereka bisa menyosialisasikan gagasan kesetaraan gender, anti kekerasan seksual, dan bisa menjadi ‘peluit’ ketika kekerasan seksual itu terjadi,” tambah Muhajir.
Selain dua hal tersebut, Sri Wiyanti selaku Tim Perumus PPKS dari FH UGM menyebutkan perbedaan lainnya. Pada draf yang disusun Tim Perumus, Dewan Etik diusulkan bersifat tetap untuk jangka waktu tertentu. Namun gagasan tersebut ditolak oleh rektorat dengan alasan birokrasi dan administrasi. Lebih lanjut, Sri menandaskan bahwa yang terpenting saat ini adalah keseriusan dalam implementasi PPKS. “Memang ada yang berubah. Karena itu PR kita sekarang sebagai publik, termasuk mahasiswa, adalah mengawal pelaksanaannya,” imbuhnya.
Implementasi PPKS
Terhitung satu setengah bulan pasca disahkannya PPKS, belum ada manuver konkret dari UGM soal implementasi peraturan ini. Hal inilah yang mendasari Aliansi Mahasiswa UGM mengadakan konsolidasi pada 6 Maret 2020 dan menelurkan kesepakatan untuk mendesak penerapan PPKS. Setelah itu, melalui Forum Advokasi, digelar audiensi dengan Iva Ariani selaku Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM pada 11 Maret 2020. Hasilnya, terungkap bahwa saat audiensi dihelat, UGM baru sampai pada tahap pra-sosialisasi. Iva mengakui media sosialisasi seperti poster, video, dan buku saku sudah dalam tahap finalisasi. “Bahasa hukum agak sulit untuk diterjemahkan ke dalam komunikasi sehari-hari,” ungkap Iva terkait kendala penyusunan media sosialisasi.
Butuh satu setengah bulan, tepatnya pada 29 April 2020, UGM merealisasikan agenda sosialisasi. Salah satunya video dan grafik infografis disebar via akun Twitter @UGMYogyakarta. Buku saku PPKS juga sudah terbit, tetapi tidak disebarluaskan melalui kanal resmi yang dimiliki UGM. Iva mengakui pihaknya hanya membagikan buku saku kepada pihak internal seperti ke Ditmawa dan BEM KM. “Harapannya, BEM KM bisa membantu sosialisasi buku saku ke lapisan mahasiswa,” tuturnya.
Iva menambahkan bahwa jalannya PPKS nantinya turut melibatkan elemen fakultas. Untuk itulah perwakilan dosen dan mahasiswa dari tiap fakultas diberikan pemahaman soal PPKS lewat rangkaian diklat yang bertajuk Training of Trainer (TOT). Rencananya, TOT digelar oleh Direktorat Sumber Daya Manusia (DSDM) dan pematerinya berasal dari Tim Kantor Hukum dan Organisasi (Hukor) UGM. “Sejauh ini kami sedang merumuskan kurikulum TOT-nya,” jawab Iva ditanya soal tahapan persiapan TOT.
Perihal penanganan kekerasan seksual, Unit Layanan Terpadu (ULT) yang diamanahkan sebagai pintu masuk pelaporan kasus sudah aktif sejak terbitnya PPKS. ULT sendiri bukanlah wadah yang baru, tetapi sejak sahnya PPKS salah satu fungsi ULT adalah menjadi tempat pelaporan kasus kekerasan seksual di kampus. Mekanismenya bisa daring ataupun langsung ke kantor ULT di Gedung Pusat lantai 1 sayap kanan. Berdasarkan keterangan Iva, sampai tanggal 27 Juni 2020 sudah ada dua laporan kasus yang masuk. Kasus pertama sudah diproses sementara kasus kedua mengalami sedikit kendala dalam penyelesaiannya karena penyintas belum banyak bercerita. “ULT harus mengakomodasi hak penyintas, termasuk hak untuk tidak langsung bercerita,” paparnya.
Selain menerima laporan, Iva menambahkan bahwa ULT juga berperan untuk mengakomodasi hak dan kebutuhan penyintas seperti fasilitas konsultasi dan tempat tinggal sementara. Perihal tindakan lanjutan akan diserahkan ke Sekretaris Rektor lalu diteruskan ke pihak yang berwenang untuk dibentuk tim penanganannya. Bila kekerasan seksual terjadi antarmahasiswa akan diurus oleh Wakil Rektor bidang Pengajaran, Pendidikan, dan Kemahasiswaan, sementara jika terjadi pada sesama pegawai ditangani oleh Wakil Rektor bidang SDM. Kasus akan ditangani oleh Rektor bila terjadi antara mahasiswa dengan pegawai.
Rupanya, sosialisasi PPKS yang dilaksanakan oleh UGM dinilai belum efektif. Kayla selaku Ketua Divisi Riset dan Advokasi Girl Up UGM, komunitas pegiat kesetaraan gender, menjelaskan bahwa sudah pernah mendengar soal Unit Layanan Terpadu (ULT) tetapi belum puas dengan informasi yang didapat. “Kami merasa belum mendapatkan penjelasan yang rinci. Jadi walaupun sudah ada peraturan tertulis belum merasa aman,” tutur Kayla. Bagi Kayla, ada dua keresahan yang mendasari ketidakpuasannya tersebut. Pertama, perlu ada penjelasan rinci siapa yang menangani aduan korban serta rekam jejaknya, hal tersebut guna untuk membangun kepercayaan. Kedua, UGM belum melaksanakan upaya pengarusutamaan gender dan narasi anti kekerasan seksual secara sempurna. Menurutnya, dua hal tersebut akan memperlihatkan posisi UGM terhadap kekerasan seksual terlebih dari mengesahkan peraturan.
Begitu pula dengan Nadine, pegiat gerakan keperempuanan sekaligus mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Ia menganggap sosialisasi PPKS masih kurang masif. “Para penyintas yang bercerita kepada saya tidak mengetahui adanya regulasi baru ini,” ungkapnya. Dia menyarankan agar pihak kampus lebih giat menggandeng elemen mahasiswa untuk turut menyebarkan informasi tentang PPKS UGM ini.
PPKS di Hadapan Kasus Masa Lalu
ULT dikatakan sigap menyanggupi laporan yang masuk. “Asal dilaporkan, kasus yang terjadi sebelum terbitnya PPKS tetap bisa diproses,” jawab Iva mengenai sifat retroaktif atau kemampuan menindak kasus lampau oleh PPKS. Penjelasan lebih komprehensif tentang sifat retroaktif PPKS datang dari Hukor UGM. Hendry, Kepala Bagian Organisasi Hukor UGM, menyatakan bahwa peraturan bisa saja diberlakukan retroaktif, termasuk PPKS. Namun, penerapannya mesti berpedoman pada asas hukum terkait yaitu Lex Favor Reo bahwa jika ada perubahan peraturan maka dipakai peraturan yang lebih meringankan terdakwa.
Veri, Kepala Kantor Hukor UGM, menambahkan bahwa dalam menindak kasus lampau, PPKS mesti menjadi acuan dalam mekanisme penanganannya. Pernyataan ini lantas ditimpali oleh Endri, Kepala Bagian Hukum Hukor UGM, bahwa PPKS dibuat untuk memperjelas mekanisme penanganan kekerasan seksual. “Tidak banyak perbedaan antara Keputusan Rektor terdahulu dengan PPKS ini. Hanya saja PPKS menawarkan mekanisme yang lebih jelas terkait penanganan kasus kekerasan seksual,” jelasnya. Sebelum adanya PPKS, penanganan kekerasan seksual di UGM diatur dalam Keputusan Rektor UGM No. 1699/UN1.P/SK/HUKOR/2016.
Salah satu contoh penanganan menggunakan Keputusan Rektor UGM No. 1699/UN1.P/SK/HUKOR/2016 adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh EH, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) UGM pada tahun 2016. Berdasarkan keterangan Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala DIHI, ada dua penyintas yang melapor secara resmi ke departemen. Namun, imbuhnya, masih ada laporan-laporan kasus yang bersifat tidak resmi kepada dosen yang dianggap dekat oleh para penyintas.
Nurhadi selaku Wakil Dekan Bidang Keuangan dan Sumber Daya Manusia Fisipol UGM menjelaskan EH sudah tidak diberikan wewenang mengajar sejak November 2018. Selain itu, EH diminta untuk melakukan konseling di Rifka Annisa Women’s Crisis Center. Selanjutnya, pada Maret 2019, EH diproses secara administratif dan dikembalikan penanganannya kepada universitas. “DSDM telah menanyakan proses penanganan EH, tetapi terhambat transisi dari Kemenristekdikti ke Kemendikbud,” jelas Ratminto, Direktur DSDM UGM. Ratminto menambahkan bahwa saat ini EH masih berstatus aktif PNS karena belum diberhentikan oleh kementerian terkait.
Satu tahun setelah penanganan diserahkan ke universitas, adakalanya EH masih ditemukan di lorong kantor gedung BC Fisipol lantai 5. “Minggu lalu saya lihat dia di lorong BC,” kesaksian Diah, Ketua Prodi S1 DIHI UGM, saat ditemui di kantornya pada 11 Maret 2020, sebelum pemberlakuan work from home akibat pandemi COVID-19. Menurut Yunizar Adiputera, Mantan Sekretaris Prodi S1 DIHI UGM periode 2018-2020, hal tersebut menjadi problematis karena urusan EH dengan kasus kekerasan seksual yang dilakukannya belum selesai.
Diah juga menjelaskan DIHI tidak merekomendasikan pencabutan hukuman skorsing yang dijatuhkan pada EH. Menurutnya, hal ini dikarenakan catatan dari konselor bahwa yang bersangkutan tidak sepenuhnya kooperatif sehingga dinilai gagal dalam proses konseling. Di samping itu, Rachmat menambahkan bahwa EH juga dilaporkan melakukan kembali tindakan kekerasan seksual. “Penyitasnya adalah staf FISIPOL UGM,” jelasnya.
Menurut Diah, ada tiga hal yang memberatkan posisi EH untuk tetap menjadi pengajar di DIHI. Pertama, EH dinilai tidak menyesali perbuatannya. Kedua, konselor mendapati bahwa EH tidak kooperatif dalam proses konseling. Ketiga, ada residivisme yang menandakan perilaku EH bukan sekadar khilaf. Yunizar berharap EH tidak lagi beraktivitas di lingkungan kampus. “Untuk mengurangi potensi terulangnya kejadian yang sama, dosen pelaku kekerasan seksual harus dikurangi kesempatannya untuk bertemu dengan mahasiswa,” tambah Yunizar.
Hukum dan Jaminan Ruang Aman
Perihal penanganan EH yang stagnan, Sri merasa disahkannya RUU PKS akan membantu mengentaskannya. Hal ini dikarenakan disiplin PNS, sebagaimana yang dijelaskan Ratminto, tidak mengatur secara spesifik mengenai tindakan kekerasan seksual sehingga butuh aturan yang lebih jelas. “RUU PKS menawarkan definisi yang jelas tentang kekerasan seksual dan bisa menangani runyamnya birokrasi penanganan kasus,” jelas Sri.
Selain penanganan kasus yang sudah ada, Sri juga berpendapat bahwa RUU PKS dapat mengakomodasi kehendak penyintas. Hal ini, ungkapnya, tidak lepas dari undang-undang yang memayungi wilayah hukum yang lebih luas, yakni nasional. “Tidak ada lagi stigmatisasi dan victim blaming terhadap penyintas. Pastinya rasa aman akan hadir,” tandasnya mendukung pengesahan RUU PKS.
Selaras dengan Sri, Kayla berpendapat bahwa mahasiswa juga akan lebih aman dengan disahkannya RUU PKS. Menurutnya salah satu faktor ketidakpercayaan terhadap kampus saat ini dikarenakan penanganan kasus kekerasan seksual sebelumnya masih kurang optimal. “Akarnya berasal dari bagaimana kekerasan seksual didefinisikan secara kurang jelas oleh hukum nasional,” ucapnya. Oleh karena itu, Kayla menandaskan bahwa RUU PKS sangat penting untuk disahkan karena berdampak pada peraturan institusi lainnya. Sayangnya, RUU PKS yang dianggap penting ini telah dicabut dari program legislasi nasional (prolegnas) DPR RI 2020 dan dialihkan ke prolegnas 2021.
Sementara itu, Nadine punya pendapat sebaliknya. Menurutnya, implementasi PPKS justru bisa dijadikan landasan untuk perumusan payung hukum yang lebih luas. Data penanganan kasus kekerasan seksual lewat PPKS UGM menurutnya mesti dihimpun dan diolah menjadi kajian. Berkaca dari keberhasilan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama menyusun Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, dia percaya PPKS UGM mampu memantik Dirjen Pendidikan Tinggi untuk melakukan hal serupa. “Bahkan PPKS UGM ini mampu mendorong pengesahan RUU PKS,” tukasnya.
Kembali ke ranah kampus, walaupun PPKS sudah disahkan, sebagai mahasiswa Kayla sendiri belum merasa aman. Menurutnya ada dua alasan kenapa pengesahan PPKS belum cukup untuk membuat kampus menjadi ruang aman dari kekerasan seksual. Pertama, lambatnya pengesahan PPKS menunjukan UGM masih belum serius dan tidak berpihak pada penyintas. Kedua, belum ada kepastian dari pihak UGM bahwa mereka sudah menginternalisasi nilai yang berpihak pada korban dan memastikan unsur-unsur patriarkis tidak muncul lagi. “Sampai mereka menunjukkan sebaliknya, saya tidak percaya pada mekanisme apa pun yang ditawarkan UGM,” tegas Kayla.
Senada dengan Kayla, Nadine pun masih menyangsikan status kampus sebagai ruang aman. Dia mengakui bahwa banyak penyintas yang enggan melapor ke kampus karena khawatir terkena victim blaming sementara pelakunya tidak ditindak tegas. “Selama penyintas masih takut melapor, selama itu pula kampus belum berhasil menjadi ruang aman,” tegas Nadine.
Penulis: Alfredo Putrawidjoyo dan Ardhias Nauvaly Azzuhry
Penyunting: Maghvira Arzaq Karima
Ilustrator: Ingga Amalia Dewi