Kenang-kenangan Emak
/1/
Setrika arang
Selepas subuh, anak-anak riuh mengaduh
Seragam sekolah kusut, paras mereka semrawut
Emak membakar biji-biji arang, menyalakan bara kasih sayang
Menyetrika sekeranjang pakaian dengan khusyuk
Dari mulutnya doa-doa terus bergemuruh
Memintakan keselamatan senantiasa berteduh
Di bawah atap rumah yang mulai rapuh
Pelupuk emak kian menghitam
Sebab ia harus lebih dulu turun dari ranjang
Sebelum pagi merangkak mendatangi siang.
Setrika arang, kepunyaan emak
Melicinkan kenangan masa silam.
/2/
Jarum dan benang
Rupanya di kolong kasur bersarang
Kaleng berisi jarum dan benang,
Sambil menunggui anak-anak pulang menangkap layang-layang
Emak menjahit robekan selendang bercorak kembang, pemberian bapak
Sebuah ikhtiar dalam mengasuh ingatan
Mengemasi perabot kesayangan sang zaman
Agar kenangan tak pikun menyusuri jalan pulang.
2020
Sebuah Perjalanan di Awal Tahun
: dari Kiaracondong menuju Kediri
Aku tabah duduk di atas kereta
Sambil menyeduh sedu yang tak kunjung teduh
Mengawasi segala raut para penumpang:
Ada yang bergegas pulang melepas kesayuan,
membantuni duri-duri kemelaratan
Di kampung halaman, ia menanam kembali butir-butir angan
Ada pula yang datang dari tanah kerinduan
Mau menjemput bunga hati biar merapat ke rangkulan.
Dari stasiun satu ke stasiun lainnya,
orang-orang riang berbincang
Tapi kesepian membubung di kepalaku
Nestapa yang pernah kau garitkan di sanubari,
telah mengusik tafakurku
Dalam dada, degup luka menyala-nyala
Padahal di balik jendela kereta,
Banyak kepermaian yang menyenangkan jiwa:
Burung-burung beramah-tamah di atas genteng rumah
Menyaksikan reranting rontok di tubuh pepohonan
Memandangi capung-capung bersayap rapuh
bermain di tiang-tiang listrik.
Kukira perjalanan ini akan memalingkan ingatanku
tentang kau,
namun sungguh tak semudah perkiraan.
2020
Usiamu Bertambah
: untuk adikku
Beberapa tahun silam mulutmu masih bau biskuit, dari pelupukmu
dapat kujumpai sejumput permintaan
berharap bisa berlarian menyusur gang
namun tubuhmu amat ringkih, tentu saja ibu melarang.
Saban malam ibu kurang pulas, napasnya gelisah
diam-diam ia pergi ke dapur meracik bawang merah
untuk dibalurkan ke punggungmu yang panas.
Kaus kaki berwarna hijau sirsak, kuning kunyit, dan
merah tomat senantiasa menyertai siang malammu
menghangatkan tumitmu.
Namun kini usiamu bertambah,
dan kau menjadi lebih kuat
tentu saja ibu gembira.
2020
Ismi Indriani,
lahir di Sukabumi, 28 November 1998. Sejak kecil telah menaruh hati pada sastra dan sejarah. Kini masih gemar menulis puisi, dan sedang berusaha merampungkan pendidikannya di prodi Ilmu Sejarah UNPAD. Dapat dihubungi melalui surel: ismiindriani2811@gmail.com
2 komentar
Setiap bait puisinya memberikan pesan terdalam sendiri suka suka deh sama puisi sahabatku sukses terus ya.
Untuk berkaryanya
Baca puisi ini, tak terasa air mataku menetes, ingat masa kecil yang telah kuterima dari ibu….