Kamis (24-9), massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Gerakan 24 September melakukan aksi yang bertajuk “Rakyat Bersatu Menuntut Keadilan Agraria: Tolak Reforma Agraria Ala Rezim Jokowi dan Dampak Pembangunan Jateng-Jogja”. Aksi ini dilakukan untuk memperingati Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September. Massa aksi berkumpul di Taman Parkir Abu Bakar Ali kemudian melakukan longmars di sepanjang jalan Malioboro, Yogyakarta.
Rusdi, koordinator lapangan aksi, menjelaskan bahwa massa aksi berangkat dari Taman Parkir Abu Bakar Ali pada pukul 13.00 WIB kemudian singgah di Gedung DPRD DIY dengan tujuan menyampaikan aspirasinya secara langsung pada perwakilan rakyat di gedung tersebut. Sayangnya, permintaan tersebut ditolak dengan dalih seluruh anggota DPRD sedang rapat dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di luar Gedung DPRD DIY. Massa aksi kemudian melakukan orasi di depan Gedung DPRD DIY selama satu jam. Selain di Gedung DPRD, massa aksi juga singgah dan berorasi di Pasar Beringharjo selama 20 menit. Kemudian longmars dilanjutkan kembali sampai ke Titik Nol Kilometer.
Dalam aksi ini, Rusdi mengatakan ada sepuluh tuntutan dari massa aksi yang diharapkan akan didengar pemerintah. Sepuluh tuntutan tersebut adalah cabut undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960; hapus Sultan Ground dan Pakualaman Ground; sejahterakan masyakarat terdampak pembangunan Bandara YIA; lahan, modal, dan teknologi pertanian untuk petani penggarap; tolak liberalisasi pertanian dan berikan akses pasar bagi petani; kembalikan sistem pertanian organik; stop intimidasi dan kriminalisasi petani; tolak pembangunan pertambangan Quarry di Wadas; gagalkan omnibus law; dan berikan perlindungan terhadap masyarakat adat dan sahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Sepuluh tuntutan yang dilayangkan peserta aksi berangkat dari keresahan mengenai UUPA yang sudah 60 tahun ditetapkan tetapi tidak kunjung membuat kesejahteraan kaum tani dan rakyat membaik. Rusdi menjelaskan bahwa massa aksi mengkritik reforma agraria ala Jokowi yang kurang sesuai dengan undang-undang No.5 Tahun 1960. “Seharusnya dia (Jokowi) tidak hanya berbicara soal bagi-bagi sertifikat, tetapi juga bagaimana distribusi dan pemanfaatan lahan yang diperuntukkan untuk masyarakat,” tukasnya.
Selain mengkritik reforma agraria ala Jokowi, Rusdi menjelaskan bahwa massa aksi juga mengkritik penggusuran lahan dan kriminalisasi terhadap petani. Ia mencontohkan hal tersebut terjadi di Kinipan dan NTT. Andika, seorang peserta aksi, mengaku prihatin dengan penggusuran lahan pertanian dan kriminalisasi terhadap petani. Ia pun tergerak untuk mengikuti aksi karena berasal dari keluarga petani di Sulawesi Selatan dan turut merasakan jerih payah petani dalam menghasilkan sumber pangan. “Keluarga saya memang tidak merasakan penggusuran, tetapi saya tahu pentingnya lahan bagi petani,” ujarnya. Rusdi juga menegaskan bahwa semestinya tanah adalah untuk rakyat yang bisa dikelola bersama dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.
Terkait dengan tuntutan massa aksi yang berkenaan dengan masyarakat adat disetujui oleh Mutia, seorang peserta aksi yang berasal dari Papua. “Konflik yang berhubungan dengan masyarakat adat terjadi hampir setiap hari di daerah saya,” akunya. Ia menambahkan bahwa konflik agraria yang terjadi di daerahnya biasanya menyangkut kepemilikan tanah adat. Konflik ini melibatkan masyarakat adat dengan pemerintah atau investor. Ia berharap konflik agraria di Indonesia dapat segera selesai tanpa menindas rakyat kecil. Selain itu, ia juga berharap payung hukum mengenai masyarakat adat dapat secepatnya dibentuk dan memihak kepada rakyat.
Penulis: Maghvira Arzaq Karima
Penyunting: Rizal Zulfiqri