Status ilegal ganja tidak memiliki dasar ilmiah yang jelas dan mengabaikan potensi pemanfaatannya untuk keperluan medis. Sayangnya, stigma negatif terhadapnya terus diwariskan.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rafli mengusulkan agar ganja dilegalkan menjadi komoditas ekspor. Pendapat komisi IV DPR tersebut disampaikan kepada Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam rapat kerja. Menurutnya, stigma mengenai ganja sebagai narkotika yang paling berbahaya merupakan “konspirasi global”. Hingga hari ini, wacana yang disampaikan Rafli masih menuai kontroversi karena perbedaan pendapat antara kelompok pro dan kontra.
Wacana mengenai legalisasi ganja sudah menjadi sah di berbagai negara, sebut saja Belanda, Jerman, Kanada, Argentina, Meksiko, Spanyol, Brazil, dan Amerika Serikat di beberapa negara bagian. Negara-negara tersebut, meski telah melegalkan penggunaan ganja, akan tetapi juga menetapkan regulasi untuk mengatur batas maksimum pemakaian. Di Asia Tenggara, negara seperti Thailand sudah melegalkan pemakaian ganja untuk keperluan medis dan Malaysia sudah menuju ke arah yang sama. Sedangkan di Kanada, kebijakan legalisasi ganja ditetapkan untuk memberantas praktik perdagangan gelap.
Sementara itu, di Indonesia ganja masih menempati status narkotika golongan satu. Status tersebut menunjukkan ganja adalah narkotika dalam golongan berbahaya karena kandungan zat adiktif yang sangat tinggi. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan: masih tepatkah ganja diilegalkan di Indonesia?
Pemanfaatan Ganja dalam Sejarah
Pemanfaatan ganja di dunia dapat ditarik balik hingga berabad-abad lalu. Hukum pertama mengenai ganja yang berlaku di Amerika Serikat dibuat oleh Dewan Rakyat Virginia pada 1619. Hukum tersebut mewajibkan seluruh petani untuk membudidayakan ganja demi keperluan pembuatan layar dan rangka kapal, juga untuk dijual. Kurang lebih dua setengah abad setelahnya, ganja menjadi bahan utama obat migrain, rematik, dan insomnia. Penggunaannya pun terekam dalam salah satu dokumentasi lengkap mengenai khasiat ganja ditulis oleh Sir William Brooke O’Shaughnessy pada tahun 1839. Dalam karyanya yang dipublikasikan di Journal of the Asiatic Society of Bengal, Shaughnessy merekam keberhasilannya menyembuhkan rematik serta menahan rasa sakit dengan ganja.
Di Indonesia, sejarah penggunaan ganja di Aceh mendominasi pemanfaatan ganja di Indonesia, utamanya tercatat dalam kitab Tajul Muluk. Manfaatnya beragam, mulai dari ritual keagamaan hingga pengobatan diabetes. Hingga kini, pemanfaatan ganja masih mengakar kuat di masyarakat Aceh, baik dalam makanan maupun praktik pertanian. Khasiat serupa dirasakan oleh masyarakat Ambon, yang mana ganja digunakan untuk mencapai trans saat bermeditasi seperti tercatat dalam Herbarium Amboinense karya Rumphius.
Tidak hanya masyarakat tradisional, pemerintah Hindia Belanda kerap memuat advertorial mengenai ganja di koran pada awal abad 19. Rokok ganja dipromosikan sebagai obat berbagai macam penyakit, seperti gangguan tidur dan berbagai macam penyakit pernapasan. Bahkan, ganja berperan sebagai salah satu penyumbang kas pemerintah dalam jumlah besar.
Perjalanan Regulasi Ganja Internasional
Legalitas ganja di Indonesia dilatarbelakangi oleh pembatasan secara masif dengan terbitnya Konvensi Opium Internasional pada 1925. Pada Bab 4 konvensi tersebut, distribusi ganja yang disebut Indian hemp diatur dengan mekanisme sertifikasi. Lebih lanjut, konvensi ini menekankan pengawasan ketat untuk mencegah distribusi internasional yang ilegal.
Pelarangan konsumsi ganja tak bisa dilepaskan dari peran besar AS yang menempatkan dirinya sebagai musuh utama narkoba. Ketika negara-negara lain menolak menerapkan kontrol efektif atas narkotika pada Konferensi Opium Kedua 1925 dengan alasan tidak tercantum dalam agenda, delegasi AS mengundurkan diri dari Konvensi Opium 1925. Pada akhirnya, AS berhasil meloloskan agendanya dengan ditambahkannya adendum terhadap dokumen akhir konferensi yang mendesak penelitian mengenai cannabis dan merumuskan regulasi apabila dirasa perlu. Agenda ini akhirnya terwujud pada Konvensi Internasional Pembatasan Manufaktur dan Regulasi Distribusi Narkoba 1931 yang menjabarkan mekanisme jelas mengenai pelaporan produksi narkoba oleh negara-negara kepada Badan Pengawas Narkoba.
Rasisme mendorong gencarnya pemerintah AS meloloskan kebijakan tersebut. Menurut Eric Schlosser dalam bukunya Reefer Madness: Sex, Drugs, and Cheap Labor, gencarnya upaya AS dalam menginternasionalisasi pelarangan ganja sebagian besar dimotivasi imigrasi orang Meksiko ke AS sekitar Revolusi Meksiko 1910. Setelah imigran Meksiko membawanya ke perbatasan Texas peredarannya menjadi marak, bahkan dijual di apotek dan pasar swalayan atau dikirim melalui paket. Untuk menepis popularitas tanaman ini, aparat kepolisian di Texas menyebarkan informasi bahwa konsumsi ganja mendorong keinginan untuk melakukan tindak kriminal, membunuh, serta memberi penggunanya kekuatan manusia super. Bahkan, rumor beredar bahwa para imigran Meksiko mendistribusikan “ganja pembunuh” kepada anak-anak sekolah di AS. Penggunaan ganja diasosiasikan dengan musisi Jazz (yang mayoritas kulit hitam di Louisiana) dan kaum menyimpang sosial seperti PSK. Kampanye anti ganja diperkuat sentimen antimigran yang nyata selama masa Great Depression.
Aktivitas AS di ranah internasional bukan tanpa alasan. Wewenang substansial negara bagian yang lebih besar menyebabkan pemerintah pusat harus mencari cara agar hukum federal dapat dibuat. Salah satu cara yang paling memungkinkan adalah memanfaatkan kemampuan pemerintah federal untuk menerapkan kerja sama internasional. Konferensi internasional tersebut sesungguhnya didorong kepentingan AS. Mengilegalkan penggunaan ganja diharapkan dapat menyingkirkan ganja sebagai penunjang stamina para pekerja imigran serta bahan dasar utama pembuatan pakaian.
Seluruh kepanikan tentang ganja dapat dikatakan berawal dari Harry Anslinger, Kepala Biro Narkotika Nasional AS. Anslinger kerap menyebut ganja sebagai “ganja iblis” yang mendorong orang melakukan pembunuhan, kejahatan seksual, dan penyakit mental. Kampanye gencarnya membuahkan hasil. Bahkan, ia mendukung kampanyenya dengan menulis artikel “Marijuana: Assasin of Youth”.
Puncak sentimen terhadap tanaman ini adalah diloloskannya Marijuana Tax Act pada 1937, Undang-undang tersebut melarang kepemilikan ganja di seluruh AS. Undang-undang tersebut didasarkan pada logika bahwa ganja merupakan gerbang menuju ketergantungan heroin. Pelarangan ini dipantik oleh seorang dokter ternama di New Orleans yang menyalahkan konsumen ganja sebagai penyebab utama maraknya pencurian di kota itu.
Sayangnya, kampanye ini tidak didasari bukti ilmiah kuat. Ketika New York Academy of Medicine menerbitkan penelitian yang menyatakan bahwa ganja tidak menyebabkan keinginan melakukan kekerasan, kelainan mental, ataupun ketergantungan, Anslinger menolak mentah-mentah hasil penelitian ini dan melabeli para penelitinya “berbahaya” dan “aneh”. Sikap serupa ditunjukkan kepada riset dari Public Health Service Hospital Lexington, Kentucky, yang menghasilkan kesimpulan sama.
Perjuangan menuju legalisasi ganja mengalami tantangan karena ada intervensi kapitalis dalam kebijakan medis. Hambatan penggunaan ganja sebagai obat yang dipelopori AS masih berlangsung hingga hari ini. Larangan penggunaan ganja selalu dilatarbelakangi oleh kepentingan beberapa golongan, termasuk salah satunya industri farmasi. Dengan menihilkan ganja sebagai salah satu sumber pengobatan, obat-obatan resep didistribusikan untuk kebutuhan medis masyarakat. Alih-alih menjadi alternatif yang tepat, obat-obatan resep pada sebagian besar kasus justru lebih berbahaya. Gary Null, dkk. menemukan fakta mengejutkan mengenai sistematika kebijakan kesehatan yang ada di AS sangat berbahaya, dan kasus-kasus ini terjadi setiap tahun. Kasus salah resep obat terjadi sebanyak 2,2 juta kasus per tahun. Jumlah penggunaan antibiotik yang digunakan pasien–yang sebenarnya tidak perlu diresepkan–mencapai 20 juta per tahun. Angka statistika datang dari jumlah kematian akibat obat-obatan konvensional sebanyak 783.936 kasus per tahun. Bahkan, demi kepentingan para kapitalis di bidang farmasi, obat-obatan alami yang umum digunakan masyarakat diserang dengan pemberitaan miring agar tidak lagi menjadi saingan yang berarti bagi obat resep milik industri farmasi.
Perubahan Status Legalitas Ganja di Indonesia
Landasan hukum paling baru mengenai ganja adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang ini menggolongkan ganja dalam kategori Narkotika Golongan I. Pasal 8 UU tersebut menyatakan bahwa narkotika golongan I tidak boleh digunakan untuk keperluan medis, namun dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam jumlah terbatas.
Proses transisi status ganja menjadi ilegal di Indonesia, utamanya irasionalitas di baliknya, sesungguhnya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tingkat internasional. Pengawasan terhadap pemanfaatan ganja baru dilakukan setelah Konferensi Opium Internasional tahun 1912. Tindakan ini diambil berdasarkan adendum yang menyatakan pentingnya studi ilmiah mengenai pemanfaatannya dengan tujuan utama melakukan pelarangan apabila perlu. William G. Boorsma, Kepala Laboratorium Farmakologi Departemen Agrikultur pada masa kolonial, ditugaskan meneliti pemanfaatan tumbuhan cannabis di Indonesia. Alih-alih pelarangan total, studi ini hanya mendorong pemerintah kolonial untuk meningkatkan pengawasan terhadap budidaya ganja yang marak di Aceh dan Sumatera Barat.
Langkah mengilegalkan penggunaan ganja pada akhirnya dilakukan agar sejalan dengan perkembangan di dunia internasional, yakni dengan diterbitkannya Dekrit Narkotika/Verdoovende Middelen Ordonnantie pada 1927, dua tahun setelah Konvensi Opium Internasional. Dari fakta sejarah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa penetapan status ilegal terjadi semata-mata karena mengikuti konvensi internasional, alih-alih lahir dari inisiatif sendiri berupa riset ilmiah.
Penolakan keras terhadap ganja tetap bertahan hingga kini. Sikap antipati tersebut dapat diamati dari pernyataan pihak-pihak terkait yang enggan menyentuh ganja bahkan untuk sekadar meneliti manfaatnya. Kepala Puslab BNN Mufti Djusnir bersikeras menihilkan manfaat ganja. Ia mengklaim para peneliti telah menemukan bahwa zat dalam ganja akan mengikat oksigen pada otak dan mematikan sel-sel di dalamnya. Kini, ganja diklasifikasikan sebagai narkotika tingkat I. Ketika terjadi penangkapan Fidelis– suami yang menanam ganja untuk pengobatan istrinya yang mengidap penyakit langka– pada 2017, pemerintah menekankan bahwa “pasti ada obat lain”. Senada dengan itu, Kepala BNN Drs. Heru Winarko, S. H. bersikeras bahwa ganja tidak dapat digunakan, dibudidayakan, ataupun dimanfaatkan untuk pengobatan. Ia menyatakan alasan pelarangan ganja adalah potensinya menyebabkan kebodohan karena mengikat oksigen di otak. Lebih lanjut, Kepala Puslab BNN menyatakan bahwa alasan tersebut telah dibuktikan oleh “para peneliti”.
Tidak ada riset resmi mengenai ganja yang dilakukan Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Deputi Pemberantasan BNN Arman Depari yang yakin bahwa klaim tentang manfaat ganja terhadap kesehatan adalah keliru dan “tidak berdasar”. Ia pun menyatakan bahwa hingga hari ini tak ada penelitian yang meneguhkan klaim tersebut. Sebuah proposal riset pernah lolos, yakni yang pernah diajukan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan pada 2014. Penelitian tersebut diajukan oleh Yayasan Sativa Nusantara untuk mendalami manfaat cannabis untuk menyembuhkan diabetes. Empat bulan setelah proposal diajukan, surat izin terbit. Sayangnya, eksekusinya tidak pernah terjadi. Balitbangkes tidak kunjung membentuk tim peneliti yang dapat melanjutkan penelitian tersebut. Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek pun menyatakan bahwa penelitian ganja yang membutuhkan dana 360 juta rupiah hanya akan membuang uang dan tidak seharusnya menjadi prioritas.
Meski diatur dalam UU no. 35 tahun 2009, upaya penelitian ganja tetap terhambat. Pasal tersebut menyatakan bahwa ganja masuk kategori narkotika kelas I dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan izin dari menteri melalui rekomendasi ketua Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Adanya UU yang mengatur penelitian ini sesungguhnya menunjukkan bahwa nihilnya riset adalah murni hasil keengganan pemerintah, bahkan ketika proposal sudah lolos. Keengganan tersebut berdampak pada ketertinggalan Indonesia dalam memanfaatkan khasiat medis ganja karena pihak yang melakukan penelitian terkait khawatir terjerat hukum dan ditangkap aparat.
Kampanye tentang buruknya ganja yang selama ini dikampanyekan pemerintah dan sanksi berat bagi penggunanya menyebabkan ganja jarang dikaji lebih mendalam dari segi budaya, tradisi, dan manfaatnya di bidang medis. Bahkan, informasi mengenai sejarah dan budaya penggunaan ganja di Indonesia mayoritas berasal dari penelitian, jajak pendapat, dan wawancara peneliti dari Belanda dengan penduduk lokal yang kini tersimpan di arsip Belanda.
Kata Riset Ilmiah tentang Ganja
Efek penggunaan ganja sangat dipengaruhi oleh dua zat utama yang terkandung didalamnya, yaitu kandungan cannabidiol (CBD) dan tetrahydrocannabinol (THC) yang memiliki pengaruh besar terhadap kekuatan efek penggunaan ganja. THC merupakan komponen yang bersifat psikoaktif. THC dapat mengurangi nyeri akibat luka, mendorong nafsu makan, mengurangi rasa mual dan muntah, dan meningkatkan kelenturan otot. CBD dapat mengatasi gejala epilepsi pada anak-anak seperti sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut. Padahal, obat antikejang tidak dapat mengatasi kedua sindrom epilepsi tersebut, sedangkan CBD dapat mengurangi kejang dan pada beberapa kasus mampu menghentikan kejang secara total. CBD juga digunakan untuk mengatasi kecemasan dan mengatasi gangguan tidur insomnia. Menurut WHO, CBD tidak menunjukkan indikasi yang dapat menyebabkan penyalahgunaan atau potensi ketergantungan.
Salah satu peneliti ganja dari Universitas Syiah Kuala, Prof. Musri Musman, sangat menyayangkan bahwa ganja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan di Indonesia. Penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Indonesia seperti diabetes, menurutnya, dapat diobati menggunakan akar ganja. Lagi, tuturnya, semua bagian dari tanaman ganja memiliki manfaat. Sekitar 1.262 senyawa kimia dalam tanaman ganja bermanfaat bagi kesehatan manusia. Akan tetapi, fokus yang selalu disoroti oleh regulasi adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC). Sementara itu, senyawa lain yang bersifat ekonomis dan bermanfaat tidak diperhatikan potensinya.
Dalam survei ilmiah tim peneliti Universitas Harvard pada tahun 1990 menemukan bahwa 54% ahli kanker AS mendukung penggunaan ganja secara terkontrol sebagai pengobatan. Bahkan, 44% di antaranya pernah menyarankan pasien untuk memperoleh ganja secara ilegal. Penelitian ini menunjukkan bahwa kalangan medis non-pembuat kebijakan medis mendukung penggunaan ganja sebagai obat. Namun, kalangan medis tersebut tentu tidak memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan medis. Apalagi, lawan yang harus dihadapi adalah elit industri farmasi yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi daripada kemaslahatan manusia (Lingkar Ganja Nusantara, 2011).
Regulasi pelarangan penggunaan ganja dengan dalih alasan kesehatan tidak konsisten apabila dibandingkan dengan regulasi peredaran alkohol. Magdalena Cerda, seorang psikolog dari Duke University and the Institute of Psychiatry at King’s College London, UK menyatakan bahwa alkohol lebih membahayakan kesehatan tubuh jika dibandingkan dengan penggunaan ganja. Akan tetapi, konsumsi ganja memiliki dampak kerugian finansial yang jauh lebih besar dibandingkan dengan konsumsi alkohol. Alkohol memberi dampak yang buruk bagi kondisi otak jika dibandingkan dengan konsumsi ganja.
Konsumsi alkohol dalam jangka panjang dapat mengakibatkan perubahan pada materi putih dan materi abu-abu pada otak. Materi abu-abu berpengaruh dalam proses pembelajaran terkait ingatan, perhatian, dan pemikiran, sedangkan materi putih mempengaruhi kecepatan penyampaian informasi antar neuron otak. Sementara, konsumsi ganja dalam jangka panjang tidak mempengaruhi hal tersebut. Kampanye yang dilakukan pemerintah selama ini mengenai bahaya ganja yang dapat mengakibatkan kecanduan terkesan berlebihan dan paranoid. Padahal, menurut penelitian Piomelli dan rekan-rekannya dari Universitas California, Irvine yang dimuat dalam majalah Nature Neuroscience April 1999 melaporkan bahwa cannabinoid, salah satu zat yang terkandung dalam ganja memiliki potensi yang sangat rendah untuk menyebabkan adiksi. Hingga saat ini, belum ada bukti ilmiah yang membuktikan bahwa THC pada ganja dapat menyebabkan efek candu secara kimia dan fisik (Lingkar Ganja Nusantara, 2011).
Penetapan ganja sebagai barang ilegal nyatanya lahir dari irasionalitas semata. Rasisme Amerika Serikat yang berhasil diinstitusionalisasikan dan dipropagandakan secara global berhasil menyebarluaskan ketakutan terhadap tanaman penuh manfaat ini. Secara empiris, bukti yang dapat mendukung keyakinan akan bahaya ganja yang begitu besar, bahkan diklaim melebihi manfaatnya, sebenarnya minim. Sayangnya, keyakinan tak berdasar mengenai ganja terus diwariskan. Ketakutan yang terus dipupuk mengekang Indonesia, hingga negara bahkan tidak memiliki niat untuk menyelenggarakan riset yang layak untuk membuktikan klaim tersebut.
Penulis: Medisita Febrina, Irma Hidayah
Penyunting: Safira Rizky Mayla Aziz
Ilustrator: Samuel Johanes
Referensi:
Tim LGN, Hikayat Pohon Ganja: 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.