Jumat (14-08), massa aksi yang tergabung dalam aliansi Solo Raya Bergerak (Sorak) menghelat longmars dari Sriwedari hingga Bundaran Gladak. Spanduk-spanduk seperti “Tolak Omnibus Law!” dan “Hapus Militerisme!” turut meramaikannya. Peserta aksi terdiri dari berbagai elemen masyarakat seperti Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), mahasiswa, hingga masyarakat rentan.
Beberapa massa aksi terlihat berkumpul di depan stadion Sriwedari pukul 2 siang. Mereka menunggu massa UNS serta mobil bak. Sembari menunggu, beberapa orang pidato dan memimpin massa menyanyikan lagu “Buruh Tani” hingga lagu satir “Kolam Susu”. Pada pukul setengah 3, massa yang ditunggu akhirnya datang sambil menabuh gendang. Longmars dimulai pukul 3 sore, setelah ratusan peserta aksi menunggu beberapa orang sembahyang.
Selama longmars, massa berhenti sebentar di dua titik, yaitu pada perempatan Ngargoyoso dan perempatan Sriwedari. Persis di tengah perempatan, mereka membentuk lingkaran besar dengan memblokade jalan. Meskipun suara klakson riuh, orasi tetap dilaksanakan. Selain itu, tidak ada adu hantam dengan aparat kepolisian dan brimob, meskipun beberapa kali sahut-sahutan terdengar. Hingga jam setengah 6 sore, aksi berlangsung damai. Massa aksi kembali ke titik kumpul dengan pengawalan aparat.
Melalui selebaran yang dibagikan pada pukul 2 siang, aliansi Sorak menyerukan beberapa tuntutan. Pertama, gagalkan Omnibus Law. Kedua, sahkan RUU PKS. Ketiga, gratiskan biaya kuliah dan sekolah selama pandemi. Keempat, tolak TNI-POLRI menempati jabatan sipil. Kelima, tolak militerisme. Keenam, buka ruang demokrasi seluas-luasnya. Ketujuh, hentikan kriminalisasi aktivis. Delapan, tolak kenaikan, tuntut transparansi, dan sehatkan birokrasi BPJS.
Benny Darusman, juru bicara aliansi Sorak, mengatakan bahwa aksi ini merupakan respons dari pembahasan RUU bermasalah di DPR seperti Omnibus Law, RUU Cipta Kerja, RUU Pemasyarakatan, dan lain-lain. “Jangan sampai RUU tersebut disahkan,” tegasnya. Sebab, tambahnya, mereka hanya akan membuat masyarakat semakin sengsara.
Sementara itu, Ramadhan Dwi Saputro, seorang buruh pabrik kayu, menganggap bahwa tidak akan ada bedanya sebelum dan setelah Omnibus Law. Sebab, tambahnya, realita saat ini sudah menggambarkan peraturan tersebut. “Pemerintah hanya sedang berupaya untuk melegalkan keadaan yang demikian,” jelasnya.
Wagino dari KASBI kemudian memberi contoh makro dari pernyataan Ramadhan. Ia menceritakan pabrik di Sukabumi yang jabatan strukturalnya telah diisi oleh tenaga kerja asing. Masyarakat sekitar yang tidak terima, tambahnya, ramai-ramai mendemo perusahaan tersebut. “Wajar, sebab mereka hanya menjadi penonton di daerahnya sendiri,” jelas Wagino. Perusahaan yang demikian, lanjutnya, masih ada di Jakarta dan Bogor.
Sementara itu, contoh dalam lingkup mikro diceritakan oleh Ramadhan melalui keadaan kerjanya. Ia bertutur bahwa pabrik sering memaksanya menambah jam kerja dengan alasan kejar proyek. Namun, tambahnya, lemburannya dibayar dengan penambahan hari libur alih-alih digaji. “Pandemi digunakan pabrik sebagai alasan,” jelasnya.
Di tengah tekanan kondisi kerja tersebut, Ramadhan telah berupaya melakukan protes terhadap perusahaannya. Namun, timpalnya, mandor sering kali menghalaunya dan mengancam untuk memecatnya. “Saya terpaksa bertahan sebab cari kerja pun sedang susah-susahnya,” sebutnya.
Sugeng Ariyadi Dwi Wibowo dari GSBI mengalami kondisi yang serupa. Ia menuturkan bahwa perusahaan di tempatnya bekerja tidak memberinya Tunjangan Hari Raya. Ia menambahkan bahwa perusahaannya berbuat demikian dengan alasan pandemi. “Padahal saya melihat mereka tetap melakukan ekspor kain ke beberapa negara,” tukas Ariyadi atau yang akrab disapa Ari.
Sementara itu, dalam keterhimpitan buruh oleh keadaan, Wagino menganggap kebijakan pemerintah untuk mengatasinya tidak efektif. “Seperti kebijakan kartu prakerja yang keluar pada masa pandemi ini, itu aneh,” keluhnya. Sebab, tambahnya, buruh bukannya mendapat modal untuk membuat usaha kecil-kecilan, tetapi malah diminta melihat video-video pelatihan. Selain hanya menguntungkan perusahaan start-up, tuturnya, buruh harus repot-repot membeli kuota untuk melihat video tersebut.
Ramadhan kemudian bicara soal bantuan sosial yang menurutnya tidak efektif. Sebab, tuturnya, persyaratan yang dibutuhkan terlalu banyak, belum lagi pengurusan di dinas yang bertele-tele. “Kami merasa seperti diseleksi untuk mendapatkan bantuan tersebut,” jelasnya.
Dengan demikian, tutur Ari, menolak Omnibus Law saja sebenarnya tidak cukup. Ia kemudian menceritakan bahwa GSBI sendiri telah mempunyai proyeksi mengenai hukum yang harus ditetapkan. “Bernama UU Pro Buruh, yang salah satunya menyatakan bahwa pembangunan industri harus melalui persetujuan masyarakat,” tukasnya.
Sementara itu, aksi ini, tutur salah seorang orator di mobil bak, berupaya untuk menyadarkan masyarakat. Ia menambahkan bahwa agenda alternatif akan terbentuk seiring dengan tersadarkannya mereka. “Maka, saat ini, hanya ada satu kata: lawan!” tegasnya sembari mengutip puisi Wiji Thukul.
Penulis: Muh Fadhilah
Penyunting: Rasya Swarnasta