Kamis (27-08), lembaga swadaya masyarakat Combine Resource Institution (CRI) mengadakan diskusi publik secara daring bertajuk ‘Keamanan Digital Perempuan di Masa Pandemi’. Dengan dimoderatori oleh Idha Saraswati dari CRI, diskusi mengundang tiga orang pembicara, yaitu Ellen Kusuma, Anggota Divisi Keamanan dan Keselamatan SAFEnet; Kathleen Azali, Pendiri PERIN+IS; dan Lamia Putri, Fasilitator Keamanan Digital CRI. Diskusi ini membahas secara mendetail terkait keamanan perempuan di dunia digital, terutama selama pandemi COVID-19.
Berdasarkan pernyataan Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Bidang Kebijakan Digital, Dedy Permadi, yang dihimpun CRI, perempuan memenuhi porsi 42 persen dari seluruh pengguna internet di dunia. Data ini menunjukkan kesenjangan perempuan dari segi akses infrastruktur digital. Meskipun perempuan menjadi minoritas pengguna internet, menurut Lamia, justru perempuan lebih banyak mengalami ancaman kejahatan siber. Berdasarkan data yang dikumpulkannya, sebanyak 43 persen perempuan tidak mengetahui akan adanya malware di ponsel. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan persentase laki-laki, yaitu sekitar 23 persen. Dia menambahkan, rendahnya pengetahuan ini disebabkan peran perempuan, khususnya Ibu Rumah Tangga (IRT), yang harus mengambil beban ganda. “Karena mengurusi pekerjaan domestik, mereka tidak punya waktu luang untuk mempelajari keamanan digital,” kata Lamia.
Kathleen menambahkan, ketika bekerja di rumah (Work From Home/WFH), semua infrastruktur mulai dari internet hingga listrik adalah milik pribadi. Hal ini membuat pekerja rumahan tidak bisa mendapat bantuan layaknya pekerja kantoran, sehingga bekerja di rumah memiliki risiko keamanan yang tinggi. Sementara itu, data pekerjaan dan data pribadi biasanya tidak dipisahkan. “Jadi ketika data ini diserang, semua kena,” tuturnya. Dengan demikian, Kathleen menjelaskan bahwa, selain memegang beban domestik, perempuan juga harus menanggung beban dan risiko struktural.
Lamia menyatakan bahwa, kejahatan siber sebenarnya dapat menyerang laki-laki atau identitas gender lainnya. Meskipun demikian, dia menambahkan, perempuan lebih rentan karena kejahatan siber sering menyerang identitas gender perempuan itu sendiri. Menurut Ellen, kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh budaya masyarakat Indonesia. “Kekerasan sebenarnya tidak memandang gender, tetapi karena masyarakat memegang budaya patriarki, maka perempuan lebih rentan” Jelas Ellen. Ia juga menambahkan bahwa, kekerasan umumnya menyangkut objektifikasi tubuh perempuan.
Menurut Ellen, angka kekerasan gender meningkat sangat drastis di masa pandemi. “Sudah lebih dari tiga kali lipat kalau dihitung,” jelasnya. Fakta ini didukung oleh data WHO yang disampaikan oleh Kathleen. Secara keseluruhan, serangan siber meningkat lima kali lipat selama pandemi.
Ellen mengemukakan, dalam survei bersama Never Okay Project, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) selama WFH terdiri dari 9 bentuk pelecehan yang terjadi secara multi-platform. Pelecehan yang terutama terjadi adalah candaan seksual. “Jadi, derajat KBGO berbeda-beda, dari ringan sampai yang paling tinggi,” tutur Ellen. Contoh KBGO yang meningkat selama pandemi, berdasarkan tuturannya, yaitu penyebaran konten intim, doxxing, impersonating, hingga digital exhibitionism.
Berkaitan dengan ini, Lamia menyayangkan cara media dalam mendemonisasi perempuan, terutama IRT. Lamia menyatakan bahwa, banyak media berita yang memarjinalkan IRT dalam framing beritanya. “Di balik itu semua terdapat struktur, infrastruktur, dan budaya yang harus diubah,” terang Lamia. Dalam sesi lain, Kathleen menambahkan bahwa, media terlalu menormalisasi surveillance dan penyadapan ke perempuan. Dia menyesalkan bagaimana media menggambarkan surveillance terhadap perempuan sebagai sesuatu yang sah.
Ellen juga menyorot media massa dalam daruratnya situasi KBGO di Indonesia. Alasannya adalah karena adanya tendensi media untuk menormalisasi atau memonetisasi KBGO, tanpa mempertimbangkan empati atau sensitivitas gender. “Bisa jadi media justru menjadi pelaku dari KBGO itu sendiri atau menambah beban korban,” jelas Ellen.
Penulis : Tariq Fitria Aziz
Penyunting : Deatry Kharisma Karim