Sepanjang 2011—2019, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat sebanyak 46.698 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal maupun publik. Beberapa di antaranya, terdiri dari 2.851 kasus pelecehan seksual dan tidak sedikit yang terjadi di lingkungan institusi keagamaan. Hal tersebut diungkapkan oleh Maria Ulfah Anshor, Komisioner Perempuan dalam diskusi yang bertajuk “Agama dalam Pusaran Kekerasan Seksual” pada Selasa (25-08). Dalam diskusi yang digelar oleh Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM tersebut, hadir pula Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan Suzie Handajani, Dosen Kajian Gender dan Seksualitas Departemen Antropologi UGM. Diskusi ini dimoderatori oleh Sarah Amany Wisista, mahasiswa Antropologi Budaya UGM 2017.
Dari ribuan kasus pelecehan seksual, Maria mengungkapkan sulitnya penanganan karena beberapa faktor. Menanggapi hal tersebut, Suzie mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang menghambat penanganan kasus kekerasan seksual adalah kesalahan persepsi masyarakat terhadap seksualitas. Ia mengungkapkan bahwa kesalahan persepsi terjadi karena sukarnya mendefinisikan kasus kekerasan seksual dalam sistem hukum negara. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kekerasan seksual didefinisikan sebagai perbuatan perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan. Akibatnya, paradigma yang berkembang di masyarakat terkait pelecehan seksual hanya mencakup ketiga hal tersebut. Pasalnya, pelecehan-pelecehan lain, seperti cat-calling, meraba-raba, dan sebagainya masih sulit didefinisikan sebagai kekerasan seksual. “Padahal, secara umum, pelecehan selain dari tiga hal yang terdefinisi dalam KUHP lebih sering terjadi,” pungkas Suzie.
Selain faktor kesalahan persepsi masyarakat, Maria mengungkapkan bahwa faktor relasi kuasa juga menghambat penanganan kekerasan seksual. Relasi kuasa sebagaimana tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, dan/atau ekonomi. Menurut Maria, relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual sering kali membuat korban tidak berani melaporkan kasusnya kepada pihak yang berwenang.
Pada November 2019, Polres Depok, Jawa Barat, menerima laporan pelecehan seksual yang terjadi di sebuah pesantren di Bogor. Pelecehan tersebut dilakukan oleh seorang pemuka agama terhadap santriwati. Menurut penuturan Maria, korban diintimidasi agar tidak melaporkan kejadian tersebut karena santri harus patuh terhadap ustadz. Hal yang sama pun juga terjadi di Aceh pada sekitar tahun 2016 dan 2017. Pelaku yang merupakan petinggi pondok pesantren di Aceh dilindungi oleh masyarakat karena dianggap orang terhormat. “Bahkan, dalam kasus yang terjadi di sebuah pesantren di Pemalang, korban malah dikriminalisasi ketika menempuh proses pengadilan,” imbuh Maria. Menurutnya, kasus-kasus tersebut merupakan contoh bahwa relasi kuasa dalam institusi agama membuat korban pelecehan seksual sulit mendapat keadilan.
Senada dengan Maria, Franz Magnis-Suseno, yang akrab disapa Romo Magnis mengungkapkan bahwa kasus dengan pola yang serupa juga terjadi di institusi keagamaan lain, yaitu gereja. Romo Magnis mengungkapkan bahwa pihak Gereja Katolik Roma mulai menyadari adanya pelecehan di dalam gereja sejak 20 tahun silam. “Korbannya sering kali adalah perempuan, anak-anak, atau suster gereja, sedangkan pelakunya adalah para imam atau pastor,” imbuhnya. Ia menambahkan, terdapat hubungan hierarkis antara pastor dengan anak-anak dan perempuan yang merupakan jemaat gereja, begitu pula antara pastor dengan suster.
Melansir dari Tirto, kasus pelecehan seksual pernah terjadi di sebuah gereja katolik di Jakarta Barat dengan pelaku adalah seorang klerus, rohaniawan gereja katolik. Korban mengungkapkan bahwa pelecehan tersebut terjadi 27 tahun lalu saat ia berusia 11 tahun. Ibu korban sudah melaporkan pelecehan tersebut ke pihak gereja. Namun, hingga saat ini, klerus yang melecehkannya belum ditindak, bahkan masih melayani sebagai klerus di gereja tersebut. Dalam satu kasus, otoritas gereja berdalih bahwa pelaku tidak bisa dihukum karena sedang disiapkan untuk tugas tertentu.
Menurut Romo Magnis, relasi kuasa di gereja yang menempatkan posisi pastor lebih tinggi daripada jemaat atau suster menghambat penanganan kasus pelecehan seksual yang terjadi di gereja. Para korban tidak memiliki kuasa untuk melawan karena di dalam gereja mereka berada pada hierarki yang lebih rendah. Selain itu, mereka sering kali diminta tutup mulut mengenai kasus yang menimpanya tersebut atas dasar melindungi nama baik gereja. “Seharusnya bukan nama baik gereja yang harus dilindungi, melainkan korban yang dalam keadaan lemah,” pungkasnya.
Penulis: Bangkit Adhi Wiguna
Penyunting: Anis Nurul