Jumat (14-08) sekitar seratus orang yang terdiri dari mahasiswa, buruh, petani, komunitas,
lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat sipil berkumpul di Bundaran UGM untuk
melancarkan aksi “Pandemi Dibajak Oligarki: Lawan Rezim Rakus, Gagalkan Omnibus Law!”
Aksi massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) kali ini merespon tindakan
DPR RI yang tetap melanjutkan pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang
(RUU) Cipta Kerja di masa reses. Mereka berupaya untuk “menjegal” RUU tersebut sampai
pemerintah berhenti membahasnya. Sambil menyanyikan lagu Darah Juang, massa aksi mulai
melangkahkan kaki menuju pertigaan Jalan Gejayan pada pukul 14.30 WIB.
Humas ARB, Lusi dan Revo, menyatakan bahwa aksi yang terkonsolidasi secara nasional ini
merespon sikap DPR RI yang mengingkari hasil audiensi bersama perwakilan buruh di Jakarta.
Lusi mengatakan, pada tanggal 16 Juli lalu, DPR berjanji akan menghentikan pembahasan
Omnibus Law RUU Cipta Kerja di masa reses, namun ternyata pembahasan tetap dilanjutkan.
Revo menambahkan, RUU yang disusun sebelum terjadinya pandemi ini tidak lagi relevan
dengan keadaan ekonomi global yang sedang terguncang pandemi COVID-19. Ia menampik
anggapan pemerintah bahwa RUU Cipta Kerja akan menguntungkan masyarakat karena
menciptakan banyak lapangan pekerjaan. “RUU Cipta Kerja hanya menguntungkan elit-elit
besar, dan menindas rakyat kecil, tani, buruh, maupun mahasiswa,” kata Revo.
Revo menyatakan, aksi ini dilakukan sebagai tandingan atas klaim pemerintah yang
menggunakan hasil survei untuk menunjukkan banyak masyarakat Indonesia menyetujui
Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Ia juga menanggapi tindakan pemerintah yang memanfaatkan
influencer untuk mengampanyekan tagar #IndonesiaButuhKerja di media sosial untuk
menggiring opini publik. Baginya, tindakan itu merupakan bentuk pesimisme pemerintah yang
tidak dapat meyakinkan rakyatnya. “Pemerintah sudah membohongi rakyatnya sendiri, dengan
cara-cara yang bagi kami tidak etis,” ucap Revo.
Revo menganggap bahwa selama ini pemerintah hanya membuka ruang-ruang formalitas
kepada publik. Lusi menambahkan, berdasarkan pengalaman aksi-aksi sebelumnya, massa
aksi selalu diajak audiensi untuk menyampaikan aspirasi. Namun menurutnya, upaya itu tidak
membuahkan hasil. Lusi menyatakan, gerakan ARB ini bertujuan untuk memberikan tekanan
politik kepada pemerintah. “Kami menyediakan ruang politik baru di jalanan, agar semua
masyarakat dapat terlibat langsung tanpa diwakilkan,” tutur Lusi.
Koordinator aksi dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Giyanto, menegaskan
bahwa KASBI menolak seluruh klaster di dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Ia menilai,
aturan ini lebih buruk daripada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebab,
menurutnya, Omnibus Law RUU Cipta Kerja semakin tidak berpihak pada kepentingan pekerja.
Ia juga mengatakan bahwa KASBI sudah berulang kali melakukan lobi dan mediasi dengan
DPR RI, namun selalu dibohongi. Ia menuturkan, KASBI juga menolak PHK massal di masa
pandemi. “Kami terus menuntut stop PHK dan beri lapangan pekerjaan bagi yang terdampak
PHK sesuai dengan harkat dan martabat manusia,” ungkap Giyanto.
“Saya juga kurang setuju dengan Omnibus Law, karena rakyat kelas bawah jadi makin
sengsara,” tutur Ali, salah satu pemilik usaha di Jalan Gejayan. Ia mengaku mendukung
gerakan Gejayan Memanggil karena menurutnya hukum di Indonesia semakin tajam ke bawah.
Ia juga menyatakan tidak merasa terganggu dengan adanya aksi massa. Justru, menurut Ali,
aksi perlu dilakukan karena pemerintah terkesan menyembunyikan persoalan-persoalan
bangsa, terutama di masa pandemi COVID-19. Ia menambahkan bahwa pemerintah sebaiknya
fokus menanggulangi pandemi COVID-19. Sebagai seorang pengusaha mikro, ia mengaku
kesulitan mendapatkan penghasilan semenjak terjadinya wabah.
Sempat terjadi kericuhan ketika massa aksi berada di pertigaan UIN Sunan Kalijaga. Menurut
keterangan tertulis dari ARB di akun media sosial Gejayan Memanggil, pada pukul 18.40 WIB
sekelompok orang tiba-tiba datang di pertigaan UIN Sunan Kalijaga menggunakan sepeda
motor dan melempari massa aksi menggunakan batu. Akibatnya, sejumlah masa aksi
mengalami luka di bagian kepala dan anggota tubuh lainnya. “Massa aksi juga beberapa kali
bergesekan dengan polisi beratribut lengkap yang mendorong massa aksi,” tulis ARB. Akhirnya,
massa aksi kembali ke Bundaran UGM dan menyatakan sikapnya menolak Omnibus Law RUU
Cipta Kerja, mendorong perluasan jaminan kesehatan, dan mengutuk represi aparat.
Penulis: Nadia Intan Fajarlie
Penyunting: Fahmi Sirma Pelu