Rabu (15-07), puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UGM dan Aliansi Mahasiswa Pascasarjana UGM (Asmara) melakukan aksi dengan tajuk “Melayat Gadjah Mada”. Aksi yang dilakukan di Balairung UGM merupakan kelanjutan dari audiensi Direktorat Kemahasiswaan (Ditmawa) bersama Asmara UGM yang berujung buntu. Aksi kali ini membawa enam tuntutan mengenai isu Uang Kuliah Tunggal (UKT), transparansi keuangan kampus, dan realokasi keuangan UGM untuk menunjang akademik selama pandemi.
Han Revanda selaku koordinator lapangan mengungkapkan isu mengenai UKT ini telah dipantik sejak awal Mei 2020. Revan menilai SK Nomor 792/UN1.P/KPT/HUKOR/2020 tentang Keringanan UKT Bagi Mahasiswa UGM tidak menjawab permasalahan yang ada. Revan juga menambahkan bahwa mekanisme penurunan UKT dalam SK tersebut tidak relevan pada saat seperti ini. Hal ini dikarenakan mekanisme dalam SK tersebut sama seperti mekanisme penurunan UKT sebelum keadaan pandemi. Selain itu, Aliansi menilai biaya operasional yang dikeluarkan kampus seharusnya lebih sedikit dari keadaan sebelum pandemi. “Kita juga tidak menikmati fasilitas kampus sebagaimana biasanya,” tambah Revan.
Kronologi Aksi
Massa aksi mulai melakukan longmars dari kantin Plaza BI menuju Bunderan UGM dengan membawa spanduk bertuliskan “Universitas Gemar Money”. Selain itu, mereka juga membawa replika peti mati bertuliskan “RIP Kerakyatan UGM 1949—2020”. Gilang Passasi sebagai koordinator umum aksi menjelaskan peti mati melambangkan matinya hati nurani petinggi kampus yang tidak kunjung menurunkan UKT selama pandemi. “Peti mati ini adalah simbol matinya nilai kerakyatan di UGM,” ujar Gilang.
Massa aksi kembali melakukan longmars menuju Balairung UGM setelah melakukan orasi di Bundaran UGM. Sesampainya di Balairung, massa aksi melakukan orasi dan menyampaikan enam tuntutannya. Tak lama kemudian, perwakilan Ditmawa menemui massa aksi dan berusaha mengajak agar melakukan audiensi secara daring. “Jajaran rektor berusia di atas 60 tahun dan berisiko terinfeksi COVID-19,” jelas Suharyadi.
Menanggapi pernyataan tersebut massa aksi merasa kecewa.“Jika seperti itu untuk apa adanya protokol kesehatan yang memungkinkan kita audiensi luring,” tegas Revan. Agustinus Ali Marco, Humas Asmara juga menyampaikan kekecewaannya serta merasa haknya sebagai mahasiswa dikesampingkan.
Massa aksi kembali mendesak agar dapat dilakukan audiensi secara luring saat itu juga, karena massa aksi mempertimbangkan hasil-hasil audiensi sebelumnya yang dinilai tidak sesuai dengan tuntutan. Sempat terjadi gesekan antara massa aksi dengan Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus UGM (SKKK). Gesekan tersebut dipicu oleh massa aksi yang mencoba menerobos memasuki Balairung untuk menyegel kantor rektor. “Aksi penyegelan tersebut sebagai bentuk kekecewaan kami karena rektor tidak kunjung menemui massa aksi untuk beraudiensi,” jelas Revan.
Setelah menunggu kurang lebih satu jam, akhirnya massa aksi menyetujui untuk melakukan audiensi secara daring pada pukul 20.00 WIB. “Kami menyetujui audiensi daring untuk menyampaikan satu tuntutan yaitu audiensi secara luring,” jelas Revan. Revan juga menambahkan, Aliansi tidak menghendaki adanya pembahasan enam tuntutan mengingat setelah beberapa kali audiensi secara daring tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
Audiensi Daring
Sesuai kesepakatan pada pukul 20.00 WIB jajaran wakil rektor dan Ditmawa menggelar audiensi yang dihadiri oleh Aliansi Mahasiswa UGM dan Asmara secara daring melalui platform Webex. Audiensi dihadiri oleh Djagal Wiseso selaku Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pembelajaran, dan Kemahasiswaan, serta Supriyadi sebagai Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Sistem Informasi. Audiensi juga dihadiri perwakilan Ditmawa, Sindung Tjahyadi dan Satgas COVID-19, Rustamadji.
Menanggapi tuntutan Aliansi, Supriyadi menjelaskan bahwa pemotongan UKT secara universal justru dinilai tidak menyentuh mahasiswa yang ekonominya benar-benar terdampak. Supriyadi melanjutkan bahwa mekanisme penurunan UKT telah dirancang sedemikian rupa melalui SK tentang Keringanan UKT Untuk Mahasiswa UGM. Bagi Supriyadi, dampak COVID-19 berbeda pada setiap orang sehingga pemotongan UKT tidak bisa sama rata.“Dengan mekanisme yang akuntabel diharapkan tidak ada ketimpangan karena dampak COVID-19 berbeda pada setiap orang,” ujar Supriyadi.
Dalam audiensi ini, Aliansi menyampaikan tuntutan jangka pendek yaitu audiensi secara luring. Hal ini dikarenakan audiensi secara daring tidak menjawab tuntutan mereka. “Kami meminta audiensi secara luring dan transparansi keadaan keuangan kampus,” ujar Sulthan Farras, salah satu peserta audiensi.
Namun, dalam audiensi tersebut Wakil Rektor dan Ditmawa kembali menolak permintaan audiensi luring. Djagal berpendapat bahwa audiensi secara luring sangat beresiko sehingga tidak mungkin dilakukan. “Keselamatan adalah yang utama, selagi masih bisa secara daring mengapa tidak? ” jelas Djagal. Rustamadji juga menambahkan bahwa protokol kesehatan tidak menjamin pergerakan virus COVID-19.
Menanggapi hal tersebut, Aliansi meninggalkan ruangan audiensi secara sepihak sebagai bentuk kekecewaan dari tuntutan agar diadakannya audiensi secara luring. Agustinus juga menambahkan bahwa Aliansi tidak akan melakukan audiensi secara daring lagi karena merasa tuntutannya tidak didengar dengan baik. “Kemungkinan kami akan melakukan aksi lanjutan,” tegas Agustinus.
Erata: Sebelumnya peran narasumber, Han Revanda, tertulis sebagai “koordinator aksi”, diganti menjadi “koordinator lapangan”.
Penulis: Salwa Azzahra Fadilah
Penyunting: Ayu Nurfaizah