Minggu (5-7), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar diskusi daring bertajuk “Apa Kabar Reformasi yang masih Dikorupsi?” untuk membahas dampak keputusan pemerintah yang tidak mengindahkan tuntutan aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019. Diskusi daring yang dipandu oleh Sasmito Madrim ini menghadirkan empat pembicara. Pertama, anggota Divisi Penggalangan Dukungan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Nisa Rizkiah Zonzoa. Kedua, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah. Ketiga, advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa. Keempat, Ketua Pengurus Harian Jakarta Feminist, Anindya Restuviani. Para pembicara memaparkan dampak pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) terhadap KPK, revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap masyarakat dan lingkungan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terhadap demokrasi dan pers di Indonesia, serta pencabutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari program legislasi nasional (prolegnas) prioritas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Nisa memaparkan data ICW terkait dampak pengesahan RUU KPK di tiga sektor. Pertama, sektor penindakan, upaya pemberantasan korupsi mengalami stagnasi. KPK kini tidak menyentuh perkara besar dan gagal melakukan tangkap tangan. Selain itu, KPK juga abai dalam perlindungan saksi. Kedua, sektor pencegahan, UU KPK hasil revisi justru menguatkan kultur impunitas di antara pejabat publik. Ketiga, sektor internal KPK, banyak terjadi gimmick politik. Dampak lain di internal KPK yakni terjadi upaya intervensi pemanggilan saksi, pengembalian paksa penyidik ke instansi asal, stagnasi transisi status pegawai, tertutupnya akses informasi kepada publik, dipertontonkannya tersangka dalam konferensi pers, serta tanda tanya mengenai peran Dewan Pengawas. “Kami merekomendasikan KPK untuk bersikap objektif dan independen ketika menangani kasus yang terafiliasi dengan wilayah politik,” kata Nisa.
“Tujuh desakan yang disebutkan dalam aksi #ReformasiDikorupsi, termasuk mencabut RKUHP dan juga omnibus law, ternyata tidak ada yang dijalankan penguasa kita,” tutur Mustafa. Di tahun 2020, represi terhadap aktivis dan jurnalis justru menguat. Muncul serangan-serangan terhadap aktivis berupa teror melalui telepon, serangan siber, dan peretasan akun media sosial. LBH Pers juga menilai campur tangan pemerintah dalam mengatur kehidupan pers berpotensi mengubah prinsip UU Pers yang independen. Mustofa mengatakan bahwa UU Pers merupakan regulasi yang mengatur dirinya sendiri. Sehingga, adanya revisi UU Pers di dalam RUU Omnibus Law dapat menggerus demokrasi di Indonesia.
Tindakan represif juga menyasar warga yang menolak korporasi tambang di sejumlah daerah. Merah mengatakan bahwa UU Minerba bukan berangkat dari tujuan mengatasi masalah masyarakat dan lingkungan, melainkan melayani kepentingan oligarki. Merah mengkritisi dampak UU Minerba yang baru disahkan. Menurutnya, UU tersebut justru melanggengkan ketergantungan terhadap batu bara. Padahal banyak negara menyadari bahaya batu bara sebagai penyebab utama krisis iklim. Selain itu, Merah juga melihat banyak pasal titipan para oligarki di dalam UU Minerba yang baru. “UU ini 99% lebih cocok disebut sebagai memo karena isinya cuma jaminan terhadap pengusaha,” tegas Merah.
Selanjutnya, Vivi, sapaan akrab Anindya Restuviani, menjelaskan keresahan terkait nasib RUU PKS. Meski sudah masuk ke tujuh tuntutan koalisi masyarakat sipil di aksi #ReformasiDikorupsi, Vivi melihat masih banyak massa aksi yang belum melihat kekerasan seksual sebagai urgensi. Pada pertengahan Juni lalu, DPR RI mencabut RUU PKS dari prolegnas prioritas. Vivi mengatakan bahwa keputusan tersebut memancing kemarahan masyarakat, khususnya para penyintas kekerasan seksual. Apalagi selama bertahun-tahun jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat. Selain itu, impunitas pelaku kekerasan seksual masih sangat tinggi karena instrumen hukum yang ada saat ini masih sangat terbatas. “Kami menuntut DPR RI untuk membuka ruang diskusi bersama masyarakat sipil serta mengembalikan RUU PKS ke dalam prolegnas prioritas dan segera mengesahkannya,” ujar Vivi.
Diskusi yang dihadiri oleh 57 orang ini diakhiri dengan tanya jawab. Salah satu peserta diskusi, Ayub, menanyakan tentang polemik RUU PKS yang dikhawatirkan akan melegalkan transgender di Indonesia. “RUU PKS menekankan perlindungan dari kekerasan seksual tanpa memandang gender, karena siapa saja bisa jadi korban maupun pelaku,” jawab Vivi.
Penulis: Nadia Intan Fajarlie
Penyunting: Maheswara Nusantoro
Illustrator: Inggrid D. Wijaya