
©Anas/Bal
Perkembangan teknologi dan informasi melalui upaya digitalisasi melahirkan berbagai platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Kemunculan media sosial tersebut telah merombak sistem komunikasi publik yang semula satu arah menjadi lebih interaktif. Dengan tingkat popularitasnya yang tinggi, media sosial mulai dimanfaatkan untuk memuluskan agenda besar politik dan bisnis. Salah satunya dengan menggiring opini publik menggunakan jasa buzzer. Lantas, bagaimana praktik buzzer dapat mempengaruhi opini publik dan bagaimana menjaga prinsip jurnalisme tetap ditegakkan? Sehubungan dengan hal itu, Selasa (28-7) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyelenggarakan diskusi daring yang bertemakan “Jurnalisme, Buzzer, dan Demokrasi”.
Webinar ini merupakan diskusi daring kedua dari enam serial webinar yang diselenggarakan oleh AJI Indonesia. Selain dalam rangka memperingati hari ulang tahunnya ke-26, tujuan utama dari diskusi ini untuk memberikan edukasi kepada publik khususnya kepada para pegiat media agar selalu berhati-hati dalam mengonsumsi dan memproduksi berita. Webinar ini dimoderatori oleh Joni Aswiraputra dari pengurus AJI Indonesia, serta mengundang tiga pemateri utama. Ketiga pemateri itu ialah Nezar Patria, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post; Ika Karlina Idris, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina; dan Pepih Nugraha, penulis sekaligus Pendiri Kompasiana.
Ika memaparkan gagasannya mengenai beberapa istilah tentang buzzer itu sendiri. Ia menyampaikan sejumlah perbedaan antara buzzer dengan para pelaku media sosial lain, seperti opinion leader atau influencer, humas, pengiklan, dan propagandis. Menurutnya, untuk membedakannya cukup dengan melihat tujuannya. Kalau tujuan pesannya untuk menyebarkan keraguan, tipu daya, dan menutup kritik itu jelas merupakan propagandis. Namun, ia menuturkan bahwa kecenderungan masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai buzzer ketimbang propagandis. “Kita perlu menyamakan persepsi terlebih dahulu bahwa sejatinya buzzer ini merupakan praktik propagandis, memiliki agenda yang lebih serius tak hanya untuk memviralkan pesan,” imbuhnya.Â
Mengutip dari buku yang berjudul The Marketplace of Attention, Ika membeberkan alasan mengapa buzzer ini ada dan bisa melakukan sejumlah agenda. Dari buku tersebut ia mengambil kesimpulan bahwa perhatian audiens sekarang di media sosial tidak hanya cukup dari pesan yang kuat, tetapi membutuhkan struktur like, comment, dan share. “Buzzer memanfaatkan struktur itu untuk memviralkan pesan, agenda, atau propaganda mereka agar menjadi perhatian publik,” jelas Ika. Sepakat dengan hal itu, Pepih menambahkan jika praktik buzzer ini sudah menjadi ajang bisnis bagi segelintir pihak. “Ada beberapa pihak, agen, atau orang yang sengaja membayar para buzzer, tetapi saya tidak tahu persis siapa mereka, yang jelas ini sudah menjadi fenomena,” terangnya.Â
Fenomena buzzer ini bagi Pepih sudah sangat mengkhawatirkan. Baginya, adanya buzzer ini telah menguasai ruang percakapan publik dan mendegradasi karya jurnalistik media arus utama. Hal tersebut dibenarkan oleh Nezar yang sampai saat ini masih menjadi bagian dari pegiat media arus utama. Ia tidak bisa menampik akan kelebihan dari platform media sosial yang jauh lebih menarik ketimbang media arus utama. “Jika media sosial terus disalahgunakan oleh para buzzer, maka itu akan berbahaya bagi demokrasi,” ujar Nezar. Menurutnya, kerja buzzer di media sosial relatif hanya membenturkan opini publik dan menutup kritik, serta tidak menjamin informasi yang diberikan memuat kebenaran. “Berbeda dengan media arus utama yang harus melewati proses kurasi, seleksi, pengeditan, klarifikasi, verifikasi, dan sebagainya,” tegasnya.
Celakanya, aksi yang dilakukan buzzer ini sudah semakin majemuk tidak hanya sebatas penggiringan opini saja. Nezar mencontohkan ketika pejabat publik yang merasa terganggu oleh salah satu liputan media, lalu dengan bantuan buzzer media itu dihajar dengan melakukan doxing terhadap wartawan. “Tindakan yang seperti inilah yang berbahaya dan bisa mencederai kebebasan pers di Indonesia” tegas Nezar. Oleh karena itu, Ika menawarkan beberapa solusi untuk setidaknya meredam aksi buzzer. Pertama, media arus utama harus menyusun agenda setting yang jelas dan perlu dikawal bersama. Kedua, media aktif untuk meminta tanggung jawab terhadap platform media sosial yang menyebarkan berita bohong. Ketiga, memperkuat divisi fact checking dan membangun kolaborasi lintas media.
Penulis: Haris Setyawan
Penyunting: M. Rizqi Akbar