
©Riri/Bal
Jumat (29-5) sampai Senin (1-6), rangkaian acara bertajuk “Sidang Rakyat” diselenggarakan oleh gerakan Bersihkan Indonesia beserta jejaringnya. Setidaknya terdapat 36 organisasi dari seluruh penjuru Indonesia, seperti Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan Auriga. Sidang Rakyat tersebut dimaksudkan sebagai respons atas keputusan DPR bersama pemerintah yang telah mengesahkan revisi Undang Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) pada 12 Mei lalu. Sidang yang berlangsung secara daring tersebut dihadiri oleh puluhan peserta dari Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Jawa.
Mereka yang berasal dari kalangan petani, nelayan, aktivis lingkungan, mahasiswa, hingga akademisi memberikan pandangannya terkait praktik pertambangan di daerah masing-masing. Menurut Sumiati Subakti, aktivis Sumatra Terang untuk Energi Bersih, pertambangan selalu berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat. “Kerusakan lingkungan akibat tambang menyebabkan mata pencaharian kami hancur dan kesehatan terganggu,” jelasnya. Dilansir dari situs Jaringan Advokasi Tambang, tercatat ada 3.033 lubang tambang yang belum direklamasi. Angka tersebut dicatat sebagai mayoritas, di Kalimantan Timur sendiri menunjukan 70 persen lubang tambang yang menganga mengakibatkan 140 korban jiwa yang didominasi anak-anak.
Sebagai wilayah dengan beragam konsesi tambang batu bara, ancaman serius terhadap keberlangsungan ekologi terjadi di area Sumatra. Perwakilan warga dari Desa Sijantang Koto, Sumatra Barat menuturkan bahwa pembuangan limbah dari PLTU Ombilin telah menyebabkan sungai yang digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari menjadi tercemar. Selain itu, muncul pula gangguan kesehatan yang dialami warga akibat polusi udara dari PLTU. “Lingkungan kami sudah dicemari seluruhnya dengan abu batubara,” keluhnya. Hamidin, Koordinator Posko Langit Biru, Teluk Sepang, Bengkulu, mengungkapkan bahwa limbah PLTU yang dibuang ke laut juga menyebabkan puluhan hektare hutan bakau mengalami kerusakan. Hal tersebut telah mengikis penghasilan warga yang mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan mencari udang dan kepiting. Selain itu, ia juga mencatat terdapat 28 ekor penyu yang mati saat uji coba PLTU.
Selain persoalan kesehatan, hadirnya PLTU juga berdampak pada mata pencaharian penduduk setempat. Yusmanilu, Kepala Desa Pondok Bakil, Bengkulu Utara menyebut hasil panen warganya berkurang dari 10—12 ton menjadi 5 ton. Perwakilan nelayan dari Pangkalan Susu, Sumatra Utara juga mengaku terpaksa beralih profesi menjadi petani lantaran hasil tangkapannya menurun drastis setelah PLTU Pangkalan Susu beroperasi. Sementara itu, Hamidin mengungkapkan praktik penggusuran lahan perkebunan sawit di daerahnya yang dilakukan pada malam hari tanpa tanpa pemberitahuan sebelumnya. “Setelah digusur baru dipanggil untuk ganti rugi, ini tidak manusiawi,” ujarnya.
Berbagai penyimpangan dan dampak buruk praktik pertambangan tersebut menjadi luka lama yang terus mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Luka itu kembali dan terus ada seiring hadirnya revisi UU Minerba yang telah disahkan DPR untuk merevisi UU No. 4 Tahun 2009. Refly Harun, ahli hukum tata negara, menyebut regulasi tersebut bermasalah secara prosedural dan substansial. Secara prosedural, UU Minerba tidak disertai pembahasan daftar inventaris masalah sebagai persyaratan carry over dari DPR periode sebelumnya. Hal ini diperparah dengan absennya partisipasi publik dalam proses pembahasan. Di sisi lain, Refly mengatakan bahwa UU Minerba juga dinilai bermasalah secara substansial karena berpeluang memberikan peluang yang lebih besar terhadap swasta untuk menguasai tambang. “Aturan baru bertujuan untuk memastikan kontrak karya perjanjian pengelolaan batu bara agar tetap bisa dikuasai the giant,” jelasnya.
Mendukung pernyataan Refly, Laode Muhammad Syarif, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan bahwa sejak sebelum revisi pun regulasi tidak dapat membendung peluang korupsi. Peluang korupsi bisnis proses SDA ada dalam tahapan perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan. “Kementerian ESDM tidak pernah berhasil menyidik pelanggaran regulasi tambang,” ungkapnya. Laode juga menambahkan bahwa renegosiasi kontrak karya belum terlaksana, penataan Izin Usaha Pertambangan belum selesai, dan negara defisit karena korupsi. Sehingga, menurutnya Revisi UU Minerba tidak menjawab masalah lingkungan, korupsi, perizinan, dan konflik kawasan dengan warga.
Berdasarkan persoalan dan realitas yang telah dipaparkan selama tiga hari berturut-turut, peserta Sidang Rakyat sepakat untuk menolak revisi UU Minerba. Penolakan tersebut diwujudkan dalam enam putusan sidang. Pertama, menyatakan bahwa sidang paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 tidak mencapai kuorum dan koruptif. Kedua, Menyatakan bahwa sidang paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 curang karena memanfaatkan situasi pandemi Covid-19. Ketiga, UU Minerba adalah produk gagal dan ilegal serta dinyatakan batal demi hukum, atas nama kedaulatan rakyat dan demi keselamatan rakyat. Keempat, seluruh kontrak, perjanjian, dan izin yang diterbitkan berdasarkan undang-undang ini batal demi hukum. Kelima, mengembalikan sepenuhnya hak ruang hidup rakyat dengan demikian rakyat memiliki hak veto untuk menyatakan tidak dan menolak kegiatan pertambangan. Keenam, negara, khususnya pemerintah, melakukan pemulihan atas kerugian yang telah dialami rakyat dan kerusakan lingkungan karena aktivitas pertambangan selama ini.
Namun perjuangan masyarakat tidak berhenti pada keenam putusan tersebut. Seperti yang dipaparkan oleh Widodo dari Paguyuban petani Lahan Pantai Kulon Progo, bahwasannya perlawanan dilakukan dengan cara dan keseharian masing-masing. Sehingga, para petani berusaha melawan dengan cara terus bertani. “Karena pemerintah tidak bisa dipercaya untuk mendengarkan, maka lahan harus dilindungi dengan cara mandiri,” pungkasnya.
Penulis: Alfredo Putrawidjoyo dan Han Revanda Putra
Penyunting: Anis Nurul Ngadzimah
Ilustrator: Estri Mastuti