
©Mayong/Bal
Rabu siang (17-06), Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM menggelar diskusi kelima dari rangkaian Diskusi Seputar Korupsi (Diksi). Diskusi daring tersebut fokus membahas lahirnya ketidakadilan, ditinjau dari perspektif konstruksi hukum pidana nasional dalam kasus penyiraman air keras kepada Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, 11 April 2017 silam. Diskusi dihadiri oleh enam pembicara, di antaranya Novel Baswedan, Penyidik KPK; Kurnia Ramadhana, Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW); Suparman Marzuki, Ketua Komisi Yudisial 2013-2015; Sri Wiyanti Eddyono, Dosen Fakultas Hukum UGM; Maradona, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga; dan Yuris Rezha, Peneliti PUKAT UGM.
Diskusi diawali dengan pemaparan Novel mengenai serangkaian kejanggalan proses pengusutan kasus yang menimpanya. Ia menguraikan beberapa keganjilan mulai dari proses penetapan tersangka, tahapan penyiapan pasal sangkaan, upaya penghapusan barang bukti, indikasi penggiringan fakta persidangan oleh hakim, hingga abainya jaksa terhadap keterangan saksi-saksi kunci. “Kejanggalan yang terdapat pada setiap proses, kami protes secara terbuka kepada publik”, terang Novel membuka pemaparannya.
Berangkat dari penetapan tersangka, Novel memaparkan bahwa penyidik, selaku pihak yang mewakili kepentingannya dalam kasus tidak kooperatif. Menurutnya, proses penetapan tersangka seakan-akan dilandasi oleh dasar-dasar ataupun bukti penyidikan yang tidak cukup kuat. “Pertanyaan saya tentang apa yang menjadi dasar bukti penetapan tersangka, tidak pernah dijawab oleh penyidik”, keluhnya.
Lebih lanjut dalam pemaparannya, Novel menyatakan bahwa mulanya penyidik berniat menggunakan pasal 170 KUHP dengan sangkaan pidana atas pengeroyokan. Anggapan tersebut didasari atas paradigma dalam hukum pidana, bahwa pengeroyokan hanya dapat terjadi apabila dilakukan oleh minimal dua orang, di mana keduanya aktif berbuat. Ia menambahkan pasal yang seharusnya disangkakan penyidik dan didakwakan Penuntut Umum adalah pasal percobaan pembunuhan berencana (340 KUHP juncto pasal 53 KUHP), dengan subsidair pasal 355 ayat 2 juncto pasal 356 KUHP tentang penganiayaan menimbulkan luka berat disertai dengan pemberatan. “Meski demikian, Jaksa kemudian mengakomodir pendapat saya, untuk menggunakan pasal 355 ayat 2 sebagai dakwaan primair”, terang Novel.
Novel meyakini beberapa ciri air yang disiramkan kepadanya adalah air keras dan bukan air aki. “Salah seorang hakim ketika bertanya kepada saya, dia sudah menyatakan bahwa (penyerang, menyiram menggunakan) air aki”, pungkasnya. Novel menambahkan bahwa pada barang bukti berupa air siraman yang ditemukan dalam botol, terdapat bau yang sangat menyengat. Baju yang dikenakan Novel saat penyerangan terjadi pun diakui oleh beberapa saksi sesaat terasa panas.
Ungkapan Novel akan barang bukti utama seperti botol yang digunakan untuk menyimpan air keras, tidak menjadi barang bukti baik di berkas perkara maupun berkas persidangan. Barang bukti lain berupa baju yang dikenakan oleh Novel saat kejadian pun seakan disabotase dan berusaha untuk dimusnahkan. Ia menjelaskan dalam pemaparan penutupnya, bahwa seharusnya Jaksa Penuntut Umum membebaskan terdakwa apabila ragu dan tidak memiliki cukup bukti yang kuat. “Tidak boleh kemudian jaksa berkompromi dengan menghukum ringan, sebab mereka harus menganut proses standar pembuktian yang benar, yakni beyond reasonable doubt standard,” tutupnya.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan Sri yang menjelaskan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tekanan pada perlindungan masih berorientasi kepada terdakwa. Menurutnya, sistem peradilan pidana Indonesia, sama sekali tidak memberikan ruang bagi hak-hak korban untuk diakomodasi. Sistem peradilan pidana Indonesia yang bersifat retributif, disebut oleh Sri menjadi dasar tidak terpenuhinya secara optimal hak-hak dasar korban pada kasus kejahatan. “Bangunan sistem hukum pidana kita, bahkan konsep keadilannya memang tidak memasukkan korban sebagai salah satu hal yang dilihat dalam keadilan”, paparnya.
Sri memaparkan bahwa perlu untuk memikirkan konsep peradilan pidana yang bersistem restoratif dengan pendekatan utama pada perlindungan hak-hak korban sebagai pihak yang dirugikan dalam proses kejahatan. Sri kemudian mengatakan dalam penutupnya, bahwa hak-hak korban dalam kasus Novel yang dirasa tidak dipenuhi, berakar masalah pada sistem pidana retributif yang termaktub dalam KUHAP pada konstruksi hukum pidana Indonesia. “Hukum Acara Pidana perlu dikawal ke depan, agar perspektif korban yang jadi persoalan dapat terpenuhi, sebab jika masih dengan sistem ini, Novel justru dianggap sebagai trouble maker dan bukan korban dalam penegakan hukum”, ungkapnya.
Penulis : Mochamad Akmal Prantiaji Wikanatha
Penyunting : Deatry Kharisma Karim